Movies

TANTANGAN YANG DIHADAPI ‘LARA ATI’, FILM ROMCOM SUROBOYOAN

Setelah sukses dengan film ‘Yowis Ben’, Bayu Skak kembali dengan film terbarunya yang masih mengadopsi dialog boso jowoan, berjudul ‘Lara Ati’. Apa kendala dari film ini?

title

FROYONION.COM - Setelah sukses dengan film Yowis Ben, Bayu Skak kembali lagi dengan film terbarunya berjudul Lara Ati. Dan kali ini pun Bayu Skak selaku penulis dan sutradara film ini, masih mengusung konsep yang sama yaitu dengan memakai dialog bahasa Jawa, utamanya bahasa Suroboyoan.

Dari segi cerita dan konflik yang diangkat, film ini lumayan klise. Film ini berkisah soal seorang pria dewasa-muda bernama Joko yang baru ditinggal nikah oleh pacarnya. Di tengah kegalauannya itu, Joko bertemu kembali dengan teman masa kecilnya bernama Ayu yang lagi marahan sama pacarnya.

Lewat pertemuan itu, perlahan  Joko dan Ayu menyadari kekurangan mereka masing-masing dan menyadari apa yang sebetulnya mereka inginkan. Sejak awal pertemuan mereka, bahkan lewat trailer film ini, kita sudah bisa menduga Joko dan Ayu pada akhirnya ditakdirkan buat bersama. Sederhana, 'kan?

BACA JUGA: FILM LARA ATI: MENGHADAPI KRISIS IDENTITAS YANG TIDAK MEMANDANG USIA

Ya, film Lara Ati memang bisa dibilang memiliki formula genre film romcom pada umumnya. Yaitu cerita yang sederhana dan joke komedi yang melimpah. Namun yang kemudian membedakan film ini dengan film romcom lainnya, sebut saja film-film bikinan Raditya Dika misalnya, adalah diangkatnya lokalitas di film ini.

Lokalitas yang diangkat di film ini adalah lokalitas Jawa Timuran, khususnya Surabaya yang menjadi set di film ini. Lokalitas yang akrab dengan budaya ludruknya, budaya nyangkruk (nongkrong), dan juga misuh (umpatan).

Lokalitas yang dibawa oleh Bayu Skak di film ini nggak sebatas menaruh dialog bahasa Suroboyoan. Melainkan juga bagaimana Bayu Skak mendesain film ini seperti pertunjukkan ludruk namun dalam bentuk yang lebih modern. Ini jugalah alasan ada Cak Kartolo dan Cak Sapari di sana yang merupakan dua ikon ludruk. Hasilnya, dialog di film ini pun penuh dengan celetukan komikal khas ludruk bahkan sejak menit pertama.

Harus diakui diangkatnya lokalitas di sini, utamanya dalam dialog, merupakan sebuah keputusan yang berani.  Sangat berani malahan. Namun keberanian ini seperti dua mata pisau, di lain sisi ini menguntungkan karena membuatnya unik. Namun di sisi lain membuatnya terkesan eksklusif, hanya bisa dinikmati secara paripurna oleh kalangan tertentu saja–dalam hal ini yang ngerti bahasa Jawa.

Memang ini bukan kali pertama ada film lokal yang full menggunakan bahasa daerah dalam dialognya. Namun tingkat kesulitannya dalam menyampaikan 'pesan' dan 'maksud' akan semakin tinggi ketika itu adalah film komedi. Dan tantangan besar itulah yang kemudian dihadapi oleh Bayu Skak di film-filmnya.

BACA JUGA: ‘NGERI-NGERI SEDAP’: KETIKA RUMAH NGGAK MENJADI TEMPAT UNTUK PULANG

Sebagai film komedi berbahasa Jawa Timuran, film Lara Ati jelas sangat menghibur. Sebagai orang yang lahir dan besar di Surabaya, gue nggak kesulitan mendapatkan taste komedi di film ini. Bahkan suasana cangkrukan (tongkrongan) yang penuh aksi saling ledek antar teman, betul-betul bisa gue rasakan di film ini. Bagi gue yang ngerti bahasa Jawa Timuran, nggak ada kata yang tepat untuk menggambarkan film Lara Ati selain: relate.

Namun gue meragukan kemampuan joke di film ini dalam menjangkau penonton yang nggak ngerti bahasa Jawa Timuran, mengingat kelucuan di film ini sangat bergantung dengan lokalitasnya, dengan dialog bahasa Jawa Timuran yang di konsep seperti ludruk.

Sependek pengamatan gue, banyak kosa-kata dalam bahasa Jawa Timuran yang nggak menemukan padanan kata yang sesuai ketika dialihbahasakan ke subtitle bahasa Indonesia. Maksud gue "nggak sesuai" di sini itu bukan soal arti katanya yang keliru melainkan hilangnya taste komedi dari film itu atau lebih tepatnya nyawa dari kosa-kata itu.

Sehingga yang terjadi, buat yang ngerti bahasa Jawa Timuran, film ini lucu banget. Namun buat yang nggak ngerti bahasa Jawa Timuran dan cuman mengandalkan subtitle biar paham, film ini bakal terasa biasa aja.

Gue ambil contoh dari dialog pembuka film ini. Di adegan itu Joko mau pergi ke rumah Farah dengan mobil. Namun tiba-tiba keluarganya ikut masuk ke mobil minta dianterin ke mall. Joko kaget dan memprotes.

Bu Bandi memaksa dan bilang, "Lak nggak mbok terno, Ibuk numpak opo? Mosok numpak angkot? Tego ta awakmu, Ibuk wes macak ayu-ayu ngene dikongkon numpak angkot? Engko digudo sopir angkot, terus bapakmu nggak trimo, terus tukaran? Lak bapakmu dicekel polisi yaopo hayo?"

Lalu Pak Bandi menyahuti, "Seneng lak aku dihukum? Lak aku dihukum, ibukmu ider."

"Lambemu!"

Dialog di atas tertulis begini di subtitle bahasa Indonesia:

"Kalau tidak kamu antar, Ibu naik apa? Masa naik angkot? Tega ya kamu. Ibu sudah dandan cantik naik angkot. Nanti kalau digoda sama sopir angkot, lalu bapakmu tidak terima, lalu berkelahi. Nanti kalau bapakmu ditangkap polisi bagaimana?"

Bisa dibilang nggak ada masalah dalam terjemahan dialog di atas. Semua kata diartikan dengan tepat.

Namun pada dialog berikutnya, ketika Pak Bandi menyahuti, ada satu kata yang diterjemahkan dengan kurang tepat.

"Senang kalau aku dihukum? Kalau aku dihukum, ibumu keliling."

Gue menyoroti kata "ider" yang diterjemahkan dengan "keliling" meski memang memiliki arti yang sedikit mirip. Namun "ider" dalam bahasa Jawa Timuran berarti berjualan keliling. Dan maksud "ider" dalam dialog tersebut berarti menjajakan diri.

Kemudian Bu Bandi menyahuti guyonan Pak Bandi tersebut dengan berkata, "Lambemu!" yang diartikan dengan "Mulutnya!". Ini juga kurang tepat menurut gue. Akan lebih terwakilkan kalau diartikan dengan "Bacotnya loh!".

Contoh lain, ketika Joko sekeluarga sampai di rumah Farah dan melihat banyak mobil terparkir, Bu Bandi berkomentar, "Montor'e pating tlecek."

Yang diterjemahkan "Mobilnya banyak sekali."

Nggak salah juga sih, namun kurang mashook aja. Dalam bahasa Jawa Timuran "pating tlecek" menggambarkan sesuatu yang banyak dan bertebaran di mana-mana. Akan lebih enak rasanya jika diterjemahkan, "Ada mobil di mana-mana." Bahkan ini pun gue rasa kurang mewakili kekuatan kata tersebut.

BACA JUGA: PENJELASAN FILM MENCURI RADEN SALEH, HATI-HATI SPOILER!

Pada akhirnya inilah tantangan yang dihadapi Bayu Skak dalam menggarap film Lara Ati ini. Nggak sekadar membuat penonton yang nggak ngerti bahasa Jawa Timuran paham dialog film ini lewat subtitle, melainkan juga membuat mereka mampu mengerti esensi dari kata-kata khas Jawa Timuran dan menangkap kekuatan kata-kata tersebut.

Sebagai orang yang bekerja di industri media kreatif, Bayu Skak harus mencari cara dan formula yang tepat untuk kendala bahasa ini jika ia masih ingin mengadopsi dialog bahasa Jawa dalam film-filmnya. Entah itu dengan mencari padanan kata yang lebih tepat atau dengan membuat joke yang bisa dialih bahasakan dengan baik tanpa banyak mengurangi selera humornya.

Jika hal itu gagal ia lakukan, maka yang akan terjadi film ini hanya bisa dinikmati secara paripurna oleh kalangan tertentu saja. Dan itu artinya penonton filmnya nggak meluas secara nasional, melainkan hanya di lokal saja. (*/)

BACA JUGA: PENJELASAN FILM PENGABDI SETAN 2 BESERTA TEORI-TEORINYA, HATI-HATI SPOILER!

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan