Movies

‘NGERI-NGERI SEDAP’: KETIKA RUMAH NGGAK MENJADI TEMPAT UNTUK PULANG

Film ‘Ngeri-ngeri Sedap’ adalah drama komedi yang komplit. Konflik utamanya adalah soal keinginan orangtua yang bertentangan dengan keputusan anak-anaknya.

title

FROYONION.COM - Hubungan orang tua dan anak nggak selalu mudah. Orangtua dengan tujuan untuk memberikan yang terbaik buat anaknya, kerap memaksakan kehendak. Anak-anak yang punya pemikiran dan tujuannya sendiri, kerap berselisih pendapat dengan orangtuanya. Dan itulah yang dibahas dalam film Ngeri-ngeri Sedap garapan Bene Dion ini.

Diceritakan, Pak Domu dan Bu Domu memiliki empat orang anak: tiga pria dan satu perempuan. Ketiga putranya itu merantau ke Jawa dan masing-masing punya kesibukannya sendiri. Pak Domu dan Bu Domu tinggal bersama anak perempuan mereka, Sarma.

Konflik bermula ketika ketiga putra mereka itu enggan balik ke kampung. Demi memaksa anak-anak mereka itu pulang, Pak Domu dan Bu Domu bikin drama mau bercerai. Dalam tradisi mereka, menikah itu untuk seumur hidup. Dan jelas kabar perceraian itu merupakan sebuah ledakan besar di keluarga mereka. Mereka bertiga pun lalu pulang. Dan dari sinilah, satu persatu borok keluarga tersebut terungkap.

KETIKA RUMAH ENGGAK MENJADI TEMPAT UNTUK PULANG

Big issue film ini adalah konflik orangtua dan anak, utamanya antara ketiga anak lelaki dengan Pak Domu. Dengan delivery yang mulus, yaitu lewat perbincangan sesama bapak-bapak di lapu yang khas, satu persatu konflik antara Pak Domu dan ketiga putranya diperkenalkan.

Pertama, Pak Domu menentang keputusan anak sulungnya, Domu, yang ingin menikah dengan perempuan Sunda. Ia bersikeras, sebagai anak sulung, Domu harusnya menikah dengan perempuan Batak, karena Domu-lah yang pada akhirnya akan meneruskan marga mereka.

Kedua, Pak Domu menginginkan Gabe, anak ketiganya, untuk menjadi pengacara atau jaksa. Mungkin mirip-mirip kayak Hotman Paris gitu kali ya. Namun Domu lebih memilih jadi komedian di teve.

Ketiga, Sahat si anak bungsu, yang mana dalam adat Batak, harusnya merawat orangtua dan mewarisi rumah, malah lebih betah tinggal di Jawa, menjaga seorang pria tua yang nggak ada hubungan darah sama sekali. Pak Domu memintanya pulang, tapi Sahat menolak.

Hanya tersisa Sarma saja yang tinggal di rumah, menjaga Pak Domu dan Bu Domu. Meski tampak penurut dan menjadi anak berbakti, nyatanya Sarma juga menyimpan konflik yang pecah di adegan klimaks.

Ada alasan kenapa ketiga putra Pak Domu enggan pulang ke kampung halaman. Sifat otoriter bapaknya, Pak Domu, yang mau menang sendiri dan menganggap caranya yang paling benar dan mestinya ditempuh oleh anak-anaknya.

Ironi ini makin diperkuat dengan kalimat yang diucapkan berulang-ulang oleh ketiga putra Pak Domu, "Besok saya pulang." Padahal mereka berada di kampung halaman mereka sendiri, di rumah tempat mereka tumbuh, tapi mereka justru menampilkan sikap nggak betah tinggal berlama-lama di sana.

Lewat detail-detail kecil semacam inilah, Bene Dion selaku penulis naskah dan sutradara, berhasil menampilkan situasi "rumah terkadang nggak bisa jadi tempat pulang". Keluarga yang seharusnya jadi support system yang utama, di film ini ditampilkan malah jadi biang segala masalah.

Semua konflik di film ini berpusat pada Pak Domu dengan sikapnya yang kaku dan keras kepala. Meski sebagai biang masalah, Bene nggak menjadikan Pak Domu sebagai sosok yang nggak terampuni dan inilah yang gue suka dari film ini. Film ini nggak menjadikan karakternya hitam dan putih. Karakter di film ini seperti manusia pada umumnya, senantiasa berada di area abu-abu. Istilahnya, nggak melulu baik, nggak melulu jahat.

Ada motif mengapa Pak Domu punya sikap kayak begitu. Itu semua karena dia dibesarkan oleh bapak yang juga suka mendominasi. Dan sebagai anak, Pak Domu meniru cara didik bapaknya yang nyatanya sudah nggak relevan lagi diterapkan ke anak-anaknya yang hidup kekinian.

DRAMA KOMEDI YANG KOMPLIT

Sebagai penonton, yang kita harapkan dari sebuah drama adalah cerita yang mengharu biru, konflik yang pecah dan mampu bikin air mata mbrebes mili.

Sementara kita mengharapkan tawa dari sebuah komedi. Sebuah joke harus lucu, setidaknya bagi mereka yang related dengan joke itu.

Gue mendapatkan keduanya dari film ini. Dramanya kuat, sangat kuat malahan. Komedinya, meski nggak jadi hidangan utama di sini, ia ditampilkan dengan sangat mulus. Hal ini gue rasa, karena jokenya nggak diobral secara murah. Joke di film ini diletakkan di situasi-situasi yang memang mendukung buat dijadikan lucu.

Misalnya, ketika Pak Domu dan Bu Domu memulai sandiwara mereka di depan Sarma, saat sarapan bareng. Mereka yang lagi bertengkar hebat, malah diabaikan sama Sarma. Pak Domu lalu berkomentar setelah Sarma pergi, "Ah pantas dia tak peduli, sudah biasa rupanya."

Joke-joke dengan situasi semacam ini bertebaran dalam film ini. Joke yang gue rasa nggak hanya lucu, tapi juga punya arti dan tujuan.

Meski drama dalam film ini berkaitan dengan tradisi Batak, nyatanya film ini bisa related ke semua kalangan, nggak cuma masyarakat Batak saja. Ini semua karena konfliknya yang memang luas dan bisa dialami oleh siapapun.

Karena film ini digarap oleh Bene Dion, yang juga seorang komika, ada beberapa callback yang hadir dalam film ini, layaknya pertunjukan stand up. Misalnya, callback saat Pak Domu makan bersama keluarga dan bilang, "Makananku nggak diracun, kan?" yang terpakai lagi untuk menutup film ini.

Callback paling epik adalah callback yang akhirnya pecah di adegan klimaks, ketika konfliknya berada di puncaknya. Callback ini bisa berhasil berkat kelihaian akting dari Gita Bhebhita dengan dialog panjangnya yang menampar semua pihak, nggak hanya Pak Domu melainkan juga kakak-adiknya.

Ya, menonton film ini seperti mendengarkan materi stand up komedi yang terdiri dari set up yang diikuti dengan punchline. Beruntung bagi penonton, kita nggak hanya dapat lucunya, tapi juga nangis-nangisnya.

Film ini rasanya cocok ditonton bersama orang tua. Para calon orang tua juga semestinya menontonnya. Film Ngeri-ngeri Sedap hadir sebagai bahan diskusi bagaimana cara menjadi orangtua, bahwa kenyataannya belajar menjadi orangtua nggak ada tamatnya, ini pelajaran seumur hidup. Horas! (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan