Movies

REVIEW HOW TO MAKE MILLIONS BEFORE GRANDMA DIES: KENANGAN YANG MENYATUKAN KELUARGA

Rumah produksi asal Thailand, GDH kembali merilis film sedih bertajuk How To Make Millions Before Grandma Dies. Film bergenre drama keluarga ini sukses bikin penonton banjir air mata.

title

FROYONION.COM - Jauh sebelum film How To Make Millions Before Grandma Dies resmi tayang di Indonesia, gosip kalau film ini bakal jadi pemompa air mata paling jitu, sudah tersebar di jagat maya. Ada beberapa faktor yang bikin saya tidak meragukan desas-desus itu sedikit pun. 

Yang pertama, drama ini adalah bikinan Thailand. Buat kalian penikmat konten YouTube, mungkin sesekali kalian pernah menjumpai iklan-iklan berkonsep storytelling buatan Thailand yang sedihnya tanpa ampun.

BACA JUGA: KISAH CINTA NICHOLAS SAPUTRA DAN PUTRI MARINO DALAM ‘THE ARCHITECTURE OF LOVE’

Yang kedua, film ini buatan rumah produksi Gross Domestic Happiness (GDH) yang jago bikin drama yang mengandung bawang. Sebut saja seperti Bad Genius, Friendzone sampai Not Friends.

Lalu seperti apa film How To Make Millions Before Grandma Dies garapan Pat Boonnitipat ini?

SINOPSIS

Sebagai sebuah drama keluarga, film ini langsung membuka menit awal dengan momen kebersamaan keluarga. Hanya saja momen kebersamaan ini berlangsung di latar yang tak umum, yaitu tanah pemakaman.

Di scene awal, penonton diberi contekan sedikit, seperti apa karakter si Amah (Usha Seamkhum). Juga bagaimana relasi Amah dengan anak dan cucunya yang tampak tak kelewat mulus. Bahkan terkesan seperti basa-basi saja.

Anggapan penonton muda seperti saya soal tokoh Amah mungkin bakal sama belaka seperti anggapan cucunya, M (Billkin Putthipong). Ia adalah nenek yang tukang ngatur, bawel, kolot dan keras kepala.

BACA JUGA: REVIEW DUA HATI BIRU: MENJADI ORANGTUA ADALAH PEKERJAAN SEUMUR HIDUP

Singkat cerita, si Amah divonis terkena kanker usus kronis. Paling lama ia hanya bisa bertahan setahun saja.

Mengetahui sepupunya Mui (Tontawan Tantivejakul) dilimpahi warisan usai merawat seorang lansia, M tertarik mengikuti jejaknya. 

M yang gagal menjadi streamer game yang sukses, menawarkan diri buat merawat Amah dengan harapan jadi yang nomor 1 sebagai penerima warisan rumah Amah. Hanya saja tak cuman M yang mengincar warisan itu melainkan juga kedua pamannya.

Dari sinilah perlombaan menjadi si nomor 1 pun dimulai dan memercikkan konflik bagi keluarga tersebut.

DRAMA TEARJERKER YANG TERASA DEKAT

Konflik perebutan warisan adalah bahan bakar di banyak film maupun opera sabun. Ada banyak intrik di dalamnya, akal-akalan, dan siasat demi menjadi orang yang mendapat potongan kue paling besar.

Dari konflik perebutan warisan ini, mudah dipahami bahwa keserakahan tidak mengenal yang namanya hubungan darah. Berkat ini saat menonton How To Make Millions Before Grandma Dies, bakal timbul pertanyaan: benarkah darah lebih kental ketimbang air?

Perkara warisan ini bikin Amah seolah dikelilingi oleh orang-orang jahat dan bermuka dua. Ironis bagi Amah, orang-orang jahat itu adalah keluarganya sendiri, anak dan cucunya.

Kanker yang diidapnya bikin Amah diguyur kebaikan bertubi-tubi oleh anak dan cucunya, terlebih begitu tahu umurnya tinggal setahun saja. 

BACA JUGA: REVIEW ‘GLENN FREDLY THE MOVIE’, PENONTON MEWEK DI AKHIR FILM?

Di satu sisi, Amah merasa bersyukur dengan limpahan kebahagiaan yang diterimanya. Namun di lain sisi Amah juga mempertanyakan ketulusan dari anak dan cucunya. Apakah mereka melakukannya dengan harapan menuai hasilnya nanti?

Dalam bayang-bayang perasaan seperti inilah, relasi antara Amah dan M yang semula hanya basa-basi, mulai terbentuk kembali. M lalu menghabiskan hari bersama Amah, menghafal keseharian Amah, dan beradaptasi dengan segala aturan dan omelannya.

Sebagai penonton, kita sudah tahu ke mana cerita bakal mengalir. Namun meski ceritanya cenderung predictable karena jelasnya intensi sang protagonis di awal, detail-detail kecil yang diselipkan oleh Pat, sukses bikin film ini kaya warna.

Tak melulu soal detail yang bikin air mata merembes dan pipi basah, yang menjadi bahan baku utama dalam film ini. Melainkan juga ada selipan komedi ringan yang amat berdampak pada pulihnya relasi antara Amah dan M.

Komedi ringan itu hadir lewat celetukan dan omelan Amah kepada M yang justru merekatkan kembali hubungan keduanya yang sempat berjarak. Jika ledekan Amah soal M yang takut hantu tak cukup mengocok perut, tunggu sampai scene yang menampilkan kelucuan M saat memandikan Amah.

Detail lainnya bahkan hadir sebagai sebuah kritik pada generasi muda yang direfleksikan lewat sosok M dan anak-anak Amah. Alias pada generasi di bawah Amah yang seorang Boomer, yakni generasi Milenial dan Gen Z–mungkin juga generasi X.

Lewat mereka, generasi yang lebih muda digambarkan sebagai orang yang tak suka ribet dan tak patuh pada tradisi yang kadung diimani oleh orang-orang tua dulu.

Ini terlihat misalnya bagaimana M menjerang air dengan microwave ketimbang menggunakan tungku; juga bagaimana ia ogah-ogahan menghamburkan bunga di pemakaman saat scene awal film ini.

Selain itu, niatan mereka buat berebut warisan, seolah menampilkan bagaimana generasi yang lebih muda ini sangat terobsesi pada uang.

Ini cocok dengan fakta kekinian yang dapat ditemukan di laman Newsweek. Di sana disebutkan bagaimana Gen Z dan Milenial sangat terobsesi pada uang, juga apa penyebabnya.

Kekhawatiran terhadap money dysmorphia menjadi salah satu alasan paling kuat kenapa dua generasi ini begitu inginnya menjadi kaya. Karena menjadi kaya memberi rasa aman bagi mereka untuk menyongsong situasi ekonomi yang tak menentu di masa depan.

Dan bagi kedua generasi ini, salah satu upaya menjadi tajir adalah dengan mewarisi aset dari generasi sebelumnya. Meski tidak tergali secara lebih mendalam lantaran fokus ceritanya, isu tersebut sedikit disinggung dalam film ini.

Beruntungnya lagi, jika menyangkut perkara uang ini, Pat menunjukkan: bahwa jika menyangkut uang, tak peduli dari generasi mana ia dilahirkan, seseorang selalu menggilainya. Fakta ini ditampilkan Pat lewat sebuah scene ketika Amah menemui abangnya.

Tak hanya itu, yang unik dari detail-detail yang diselipkan oleh Pat adalah bagaimana ia dengan cerdik mengolahnya sebagai sebuah twist. Seolah Pat mafhum betul cara menggunakan teknik Chekov Gun untuk menambah keunikan cerita dalam filmnya.

Bagaimana detail-detail kecil yang ditebar di awal dan terkesan hanya buang-buang durasi, justru akhirnya terpakai kembali pada menit ke sekian. Ibaratnya, Pat sukses menebar set up di awal, lalu menembakkan punchline di belakang yang sukses bikin mewek.

Tidak ada satu detail pun yang tidak terpakai setelah diungkapkan. Salah satu contohnya adalah bagaimana kebiasaan Amah untuk tidak mengonsumsi daging sapi di awal, ternyata punya alasan yang mengharukan.

Selain punya permainan detail yang cantik, film ini juga didukung dengan sinematografi yang menggugah. Shot-shot yang ditampilkan tak hanya indah, tapi juga menyimpan nyawa dan emosi di dalamnya.

Tak hanya itu latar ceritanya yang mengangkat keluarga keturunan Chinese-Thailand, membuatnya relate untuk dinikmati oleh penonton Indonesia yang juga punya masyarakat dari warga keturunan Chinese.

Terlebih lagi, lanskap perkotaan yang ditampilkan juga punya kemiripan dengan lanskap perkotaan yang umum ditemukan di Indonesia. Seperti ruko-ruko tua, pasar tradisional, hingga jembatan ala kadarnya dengan sungai yang airnya menghitam.

Development character juga diperhatikan betul dalam film ini, khususnya pada sosok M sebagai protagonis utama.

M yang semula digambarkan culas dan menyimpan pamrih, lewat interaksinya dengan Amah berangsur berubah seperti yang penonton duga dan harapkan. Begitu pula yang terjadi pada tokoh lainnya.

Bahkan perbedaan karakter antara anak sulung, tengah dan bungsu yang populer di media sosial, juga diselipkan dalam film ini untuk memperkaya konfliknya.

Pada akhirnya film How To Make Millions Before Grandma Dies tak hanya sukses menguras air mata. Ia hadir sebagai pengalaman menonton yang dapat direnungkan dan didiskusikan. Menontonnya bikin kita betah seakan tengah mengunjungi rumah nenek.

Pesan yang dikirim memang seolah ingin mengajak penonton buat mengamini, bahwa warisan paling bernilai bukanlah harta. Melainkan kenangan yang merekatkan kembali apa-apa yang terberai oleh materi.

Mungkin terdengar agak sentimentil. Namun bukankah begitu respon kita saat menghadapi kenangan? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan