Movies

REVIEW DUA HATI BIRU: MENJADI ORANGTUA ADALAH PEKERJAAN SEUMUR HIDUP

Lima tahun usai kesuksesan Dua Garis Biru (2019), Gina S. Noer menggarap sekuelnya yang diberi judul Dua Hati Biru. Dalam film ini, isu parenting dan keluarga diangkat. Berikut review filmnya!

title

FROYONION.COM - Film Dua Garis Biru (2019) ditutup dengan ending terbuka yang memberi keleluasaan bagi penonton untuk mengarang bebas bagaimana kisah Bima (Angga Yunanda) dan Dara bakal berlanjut?

Lima tahun berselang, seolah ingin menghapus rasa penasaran penonton, Gina S. Noer melanjutkan kisah Bima dan Dara dalam sekuel yang judulnya tak jauh-jauh amat dari film pertamanya, yakni Dua Hati Biru.

Ada beberapa perbedaan di film ini ketimbang pendahulunya. Selain konflik dan bahasan yang berbeda, salah satu yang paling kentara adalah digantinya Adhisty Zara dengan Aisha Nurra Datau sebagai pemeran Dara.

Meski begitu, pergantian ini justru merupakan pilihan tepat. Terlebih lagi dari kontur wajah, kedua artis ini sedikit punya kemiripan.

Hanya saja, ketimbang Zara, Aisha Nurra punya wajah yang terkesan lebih tegas dan dewasa–cocok untuk mencerminkan sosok Dara yang sudah evolve setelah empat tahun tinggal di Korea.

Banyak isu dan bahasan yang diangkat dalam film ini yang menjadikannya kaya dan berwarna. Bahkan beberapa isu yang diangkat terasa relate dengan kebanyakan pasangan yang baru berumahtangga (tak hanya mereka yang mengalami pernikahan dini). Sayangnya, film Dua Hati Biru ini pun tak luput dari kekurangan.

SINOPSIS DUA HATI BIRU

Seperti yang dibilang di awal, film ini melanjutkan kisah dari film pertamanya. Mengambil timeline empat tahun usai kelahiran Adam dan kepergian Dara ke Korea, Gina S. Noer membuka film ini lewat montase yang menampilkan keseharian Bima, Dara dan Adam.

Dari cuplikan-cuplikan yang dihimpun dan ditampilkan satu persatu, kita bisa melihat bonding Bima dan Adam selama empat tahun itu yang telah terbangun.

Bima yang hanya lulusan SMA bekerja sebagai pegawai di arena bermain di sebuah mall. Pekerjaan yang dipilihnya karena ia bisa bekerja sambil menjaga Adam yang tampaknya seringkali ia bawa ikut.

Bonding ini juga terlihat ketika Bima sendirian membawa Adam yang sedang sakit ke klinik. Bisa dibilang, selama empat tahun itu Bima menjalin ikatan yang erat dengan Adam sebagai single dad dengan bantuan ayah-ibunya.

Sedangkan komunikasi Adam dengan Dara, ibunya, hanya sebatas lewat video call. Tak heran jika ikatan batin ibu dan anak ini cukup tersendat di awal. Bahkan Adam sempat tak mengakui bahwa sosok di hadapannya adalah ibunya.

Dan itulah yang kemudian menjadi ujian bagi Dara sebagai seorang ibu muda. Juga kemudian menjelma sebagai ujian bagi keluarga kecilnya bersama Bima.

Konflik demi konflik datang silih berganti menguji ketahanan rumah tangga pasangan muda yang menikah karena hamil duluan ini. Usaha demi usaha serta pertengkaran demi pertengkaran keduanya lalui, guna memenuhi harapan mereka soal keluarga yang sempurna.

MEMBAHAS ISU PARENTING

Quotes dari film pertamanya yang nyambung di sekuel ini adalah bahwa: pekerjaan sebagai orangtua merupakan pekerjaan seumur hidup. Juga bahwa: pelajaran menjadi orangtua adalah proses yang tak mengenal kata selesai.

Berangkat dari semangat itulah, cerita dalam Dua Hati Biru diolah dan digerakkan. Jika dipadatkan menjadi sebuah kalimat, barangkali itulah inti dari sekuel ini atau tema besarnya. 

Dari situ jugalah ditemukan isu-isu yang mudah ditelusuri benang merahnya. Dan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Gina S. Noer adalah soal bagaimana ia memilih isu-isu yang saling berkaitan dan ingin dimasukkannya dalam film. Sebagaimana yang bisa penonton jumpai di filmnya terdahulu seperti Like & Share dan Cinta Pertama, Kedua dan Ketiga misalnya.

Mempertimbangkan tema besarnya, dalam film Dua Hati Biru, Gina memasukkan bahasan soal pola pengasuhan, isu gender dalam rumah tangga (siapa yang bekerja dan siapa yang mengurus rumah), soal membangun komunikasi yang baik dan benar antar suami-istri, hingga sedikit menyinggung toxic masculinity.

Jika dianalogikan, rumah tangga Bima dan Dara ini layaknya sebuah perahu kecil (seperti di ending) yang mesti menghadapi badai cobaan dari sana-sini.

Sepulang dari Korea, Dara yang sudah banyak belajar dan jauh lebih dewasa juga tentunya sudah evolve, sudah mendapatkan ujian saat memantapkan hati untuk mengambil perannya sebagai orangtua, sebagai seorang ibu.

Komunikasi yang hanya terjalin lewat video call membuat Adam menolak mengakui Dara sebagai ibunya. Putra mungilnya yang lagi lucu-lucunya itu bahkan bilang bahwa ibunya ada di hape.

Selain itu, dengan ekspektasi yang terbentuk dalam kepalanya, hasil dari semua pembelajaran yang ditempuhnya sebagai generasi yang melek teknologi dan peduli mental health; Dara menyadari ada yang salah dengan parenting yang dilakukan Bima bersama ayah-ibu mertuanya selama empat tahun mengasuh Adam.

Dara mendapati bahwa Bima kelewat memanjakan Adam. Adam misalnya tidak bisa mematuhi jam tidur dan kerap terlihat kesulitan dalam mengelola emosinya sehingga sering tantrum.

Menyadari masalah itu, Dara merasa perlu memperbaiki semuanya. Ia lalu membawa Bima bertemu konsultan untuk mendiskusikan pola asuh yang tepat bagi Adam.

Dari gestur yang diperlihatkan, tampak Bima enggan diajak menemui konsultan tersebut. Jika boleh menebak isi kepala Bima saat itu, kiranya Bima menganggap bahwa menemui konsultan parenting sama halnya mengakui kalau dirinya gagal mengurus Adam, gagal sebagai ayah.

Meski begitu di momen itu, perspektif yang diberikan oleh Gina kepada penonton, terbilang sangat menarik dan berimbang. Ia tidak serta merta menyalahkan Bima lalu membenarkan Dara yang lebih teredukasi dengan isu parenting.

Ketika Dara berkata dengan mantap di depan konsultan, “Harus ada yang tegas dalam keluarga ini.”

Dara dibuat tersadar ketika ia mendapatkan balasan, bahwa tegas saja tidaklah cukup. Sebagai seorang ibu, ia mesti membangun ikatan batin dengan Adam.

Balasan itu terasa tepat sasaran jika melihat interaksi Dara dan Adam di awal kepulangannya. Dara misalnya digambarkan sebagai ibu yang seolah tahu segala yang terbaik buat Adam.

Sikap itu digambarkan misalnya lewat adegan singkat ketika Dara membuat ayam goreng yang diberi bumbu Korea. Karena ia meyakini masakan itu sangat enak dan menyukainya, ia juga meyakini kalau Adam bakal menyukainya juga.

Bahkan di titik tertentu, ia berusaha meyakinkan Adam bahwa masakan itu sangat enak dengan terus memaksa Adam mencicipi masakannya biarpun sudah ditolak berkali-kali.

Sikap tersebut juga tampak ketika Dara memaksa Adam untuk tidur tepat waktu, meski Adam menangis sejadi-jadinya.

Di momen itu jugalah masalah baru muncul. Pada saat itu, baik Dara dan Bima menyadari bahwa mereka tidak bakal punya kebebasan dalam mengelola rumah tangga jika masih tinggal seatap dengan orangtua mereka yang suka ngatur-ngatur.

KOMUNIKASI ADALAH KUNCI

Dalam film ini, banyak scene yang menyinggung betapa pentingnya komunikasi. Ia tidak hanya soal menyampaikan gagasan di kepala dan uneg-uneg, lalu beres. Melainkan juga diperlukan cara yang tepat agar lawan bicara mampu mencernanya dengan baik tanpa merasa lagi diomelin atau dituduh macam-macam.

Salah satu scene yang menunjukkan bahwa isu utama di film ini adalah buruknya komunikasi antara Bima dan Dara juga keluarga mereka, adalah scene di meja makan.

Dalam scene tersebut Dara dan ibunya Bima tengah menyuapi Adam (dengan agak memaksa) dengan ayam bumbu Korea. Sedangkan di sisi yang lain Bima dan ayahnya sedang bicara dengan nada tinggi soal penyakit prostat yang diidap ayahnya. 

Hingga di satu titik, karena gempuran kebisingan dari sana-sini yang tak lagi sanggup ditolerir, ibunya Bima (Cut Mini) pun memutus keriwehan tersebut dengan sekali bentakan yang bikin semua orang terdiam.

Meski tidak seikonik scene panjang di ruang UKS dalam Dua Garis Biru, scene di meja makan tersebut mencerminkan apa masalah sebenarnya dari keluarga tersebut, yakni komunikasi yang kurang mulus.

Hingga kemudian yang terjadi adalah semua orang dalam film ini saling bentak. Bahkan terkesan saling memaksakan kehendak.

Biarpun begitu, semua itu lahir dari kepedulian terhadap masing-masing, utamanya terhadap Adam. Yang kemudian memercikkan konflik adalah masing-masing merasa paling ngerti soal bagaimana membahagiakan Adam. Juga berpikir bahwa cara mereka adalah yang paling tepat.

Solusi untuk ini adalah menurunkan ego masing-masing dan belajar untuk berkomunikasi dengan benar. Seperti scene di menjelang akhir antara Bima dan Dara yang saling belajar untuk berkomunikasi satu sama lain dengan lebih baik.

MENDEFINISIKAN LAKI-LAKI DALAM KELUARGA

Dengan privilege yang dimilikinya, Dara mampu evolve menjadi versi terbaiknya dan tentunya menjadi lebih teredukasi. Bima boleh saja membanggakan kedekatannya dengan Adam. Namun dari segala segi, dari penghasilan dan pendidikan misalnya, jelas Bima sudah kalah jauh dari Dara.

Level keduanya yang berbeda, menimbulkan ketimpangan bahkan juga memantik konflik yang cukup panas antara Bima dan Dara hingga keduanya mempertimbangkan buat berpisah.

Dara yang lebih teredukasi ingin agar Bima mampu mencicil ketimpangan di antara keduanya. Usahanya tak main-main. Dari mengajak Bima mengikuti sesi konseling dengan konsultan parenting hingga memotivasi Bima buat belajar bahasa Inggris.

Sayangnya, Dara tampak mendorong Bima kelewat keras. Juga di satu momen terlihat kalau Dara cepat lelah dan tak sabaran menunggu Bima untuk termotivasi agar mau evolve seperti dirinya.

Sedangkan di lain sisi, Bima merasa sudah kejauhan untuk mengejar Dara yang baru dan tidak tahu ia mesti mulai dari mana.

Sebagai kepala keluarga, Bima merasa mesti menjadi sosok pemimpin. Hal ini menanamkan gagasan di kepala Bima bahwa sudah seharusnya ia bisa lebih baik dari Dara. Momen saat Bima harus menerima ‘uang jajan’ dari istrinya adalah momen saat Bima merasa harga dirinya sebagai lelaki terusik.

Obrolan Bima dengan ayahnya (Arswendy Bening Swara) cukup mengurai benang kusut di kepala soal definisi menjadi lelaki. Meskipun terasa kurang lengkap dan terkesan cari aman, wejangan dari ayahnya cukup mencerahkan.

Bahwa karena seringnya kita sibuk mengamini definisi ‘menjadi laki’ seperti anggapan culture masyarakat patriarki, justru membuat kita termakan oleh gengsi dan persoalan harga diri.

Terdapat banyak isu dan bahasan yang diangkat dalam film Dua Hati Biru ini yang membuatnya variatif. Bahkan isu dan bahasan yang dituangkan dalam film ini sedikit banyak relate dengan kehidupan keluarga di luaran sana.

Hanya saja ini juga menjadi kelemahan dari film tersebut. Beragamnya isu dan bahasan yang diangkat, menghadirkan banyak subkonflik yang cenderung di-treatment dengan seadanya sehingga penyelesaiannya pun terkesan terburu-buru.

Selain itu, jika dibandingkan dengan prekuelnya, Dua Hati Biru terasa kurang unik. Masalah yang dihadapi rumah tangga Bima dan Dara adalah masalah umum yang terjadi pada pasangan yang baru saja menikah, tak hanya terjadi pasangan pasangan Married by Accident.

Menonton Dua Hati Biru sebetulnya seperti melihat usaha Bima dan Dara buat menemukan keseimbangan dalam bahtera rumah tangga mereka yang diuji dari berbagai sisi selama nyaris dua jam durasi film.

Sebuah perahu kertas yang dilarungkan di bawah jembatan oleh ketiganya, seolah mengisyaratkan bahwa badai telah mereda dan keluarga kecil itu mulai bisa berlayar dengan mulus. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan