Movies

REVIEW BABY REINDEER: MENGUPAS LAPISAN TRAUMA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Series terbaru Netflix, Baby Reindeer garapan Richard Gadd berhasil menyita perhatian karena isu yang diangkat. Series yang diadaptasi dari kisah nyata sutradaranya ini menceritakan pengalamannya menjadi korban kekerasan seksual.

title

FROYONION.COM - Bagaimana sebuah kalimat ‘Sent from my iPhone’ bisa menjadi serangkaian teror paling ngeri dan mengaduk-aduk emosi? Jawabannya ada pada series terbatas garapan Netflix yang diberi tajuk Baby Reindeer.

Series berjumlah tujuh episode ini diadaptasi dari pengalaman nyata seorang komedian bernama Richard Gadd. Bahkan dalam series ini, ia menjadi sutradara sekaligus pemeran utamanya, Donny Dunn.

Apa yang dibicarakan di dalamnya sebetulnya banyak terungkap pada one-man show dari Richard Gadd sendiri yang banyak tersebar di TikTok maupun YouTube. Yakni, soal kekerasan seksual yang dialaminya dan pertemuannya dengan Martha Scott, perempuan yang terobsesi padanya dan menjadi penguntit yang mengancam.

BACA JUGA: MONSTER: FILM THRILLER INDONESIA YANG DIPUTAR DI JAFF, SUDAH TAYANG DI NETFLIX!

Tak ayal lagi, series ini juga bicara soal trauma dan bagaimana mereka yang memilikinya hidup dengan itu. Bahkan soal betapa berliku dan rumitnya untuk menghadapi trauma tersebut dan berdamai dengannya yang ternyata jauh dari kata mudah.

Tentu saja, ada seks di dalamnya, penggunaan drugs yang serampangan, hingga kekerasan verbal dan fisik. Jelas bisa membangkitkan trauma bagi mereka yang pernah mengalami tindakan serupa.

Namun, lewat itu semua, penonton dapat memahami bahwa trauma bisa hadir dalam ragam wujud. Bahwa ingatan soal trauma itu sendiri sama menyakitkannya dengan mengalami kekerasan itu lagi dan lagi.

SINOPSIS BABY REINDEER

Jangan terpedaya ketika series ini dibuka dengan episode yang komikal. Dalam iringan scoring musik yang jenaka, monolog bernada ceria, hingga rangkaian dialog yang cair; pertemuan antara Donny dan Martha pun terjadi di sebuah pub.

Donny yang bekerja di balik meja bar, memandang dengan iba pada Martha yang mengaku sebagai seorang lawyer dengan kenalan orang-orang penting. 

Pengakuan itu mudah dianggap sebagai kebohongan mengingat Martha bahkan tidak sanggup memesan minuman apapun selain teh gratis yang ditawarkan Donny.

BACA JUGA: PADA HARI FILM NASIONAL, FILM BIOSKOP INDONESIA BERAMAI-RAMAI TAYANG DI NETFLIX

Sejak saat itu, nyaris tiap hari Martha mengunjungi pub tersebut, memesan diet coke yang tak pernah dibayarnya, dan mengobrol seharian dengan Donny. Bahkan di beberapa momen, Martha menggombal pada Donny.

Lewat obrolan demi obrolan yang mereka lalui, keduanya menjadi dekat dan akrab (untuk tak menyebutnya ketergantungan satu sama lain). Hanya saja ketika Martha mulai bersikap aneh dan Donny berusaha menjaga jarak, perempuan itu terus membayanginya, bahkan menguntitnya.

Yang terjadi berikutnya adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan polisi kepada Donny saat melapor: Kenapa setelah enam bulan berlalu, ia baru saja melaporkannya? Kenapa Donny terus meladeni Martha bahkan terkesan melindunginya biarpun ia sudah mengacaukan hidupnya?

SHUT DOWN EMOTIONALLY SEBAGAI DAMPAK TRAUMA?

Sosok Donny yang diperankan oleh Richard Gadd, barangkali bakal mengingatkan kita pada sosok Adil dalam film Siksa Kubur yang diperankan oleh Reza Rahadian.

Dalam film teranyar Joko Anwar itu, sosok Adil adalah korban dari kekerasan seksual. Apa yang dialaminya itu kemudian menjadi sebuah trauma yang menimbulkan kebingungan dalam dirinya. Utamanya kebingungan dalam menentukan orientasi seksualnya.

Coba ingat kembali scene ketika Adil diusir oleh istrinya lantaran tidak sanggup memberikan nafkah batin (baca: seks) yang layak. Jangan lupakan juga bagaimana Adil punya kecenderungan melecehkan mayat yang dimandikannya.

Hanya saja karena bahasan utama dalam film tersebut yang tidak dimaksudkan untuk menggali isu tersebut, trauma yang dialami oleh Adil tidak dieksplorasi lebih jauh. Ia hadir sekadar sebagai sebuah motif seorang tokoh.

BACA JUGA: REVIEW A KILLER PARADOX: DRAKOR NETFLIX DENGAN PREMIS SERU, TAPI MEMBINGUNGKAN

Di karya fiksi lainnya, kita punya sosok Ajo Kawir yang juga sama-sama mengalami pelecehan seksual. Tokoh fiksi kreasi Eka Kurniawan dalam novelnya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas itu menggambarkan traumanya lewat ‘burungnya’ yang tak bisa ngaceng atau ereksi.

Gambaran yang sama juga terjadi pada Donny dalam Baby Reindeer. Usai menjadi korban kekerasan seksual, gairah seks pada diri Donny padam. 

Bahkan ia menolak berulang kali ajakan bercinta dari pacarnya Keeley (Shalom Brune-Franklin) yang biasanya selalu diladeninya, karena libidonya lenyap entah ke mana. Berkat inilah hubungan keduanya kemudian renggang dan mereka akhirnya memutuskan untuk berpisah.

Ketiga tokoh di atas punya kesamaan setelah mengalami kekerasan seksual. Yaitu, mereka mengalami shut down emotionally yang bikin ketiganya kehilangan minat dan gairah (libido) yang ditandai dengan impotensi alias tak bisa ngaceng.

Kondisi ini mendorong mereka untuk mencari dan menemukan cara agar bisa menyalakan libido mereka, membangunkan ‘burung’ mereka yang tertidur. 

Sayangnya, upaya tersebut serupa berjalan dalam kegelapan yang justru menggiring mereka pada kebingungan yang menggelisahkan.

Pada Ajo Kawir misalnya, upaya tersebut berupa membayangkan melakukan hubungan intim dengan gadis sampul di buku TTS. Hingga mengolesi ‘burungnya’ dengan cabai.

Sedangkan upaya yang ditampilkan Donny dalam series ini lebih punya kedalaman bahkan jauh lebih depresif.

Visual blur dengan piksel-piksel yang saling bertumpuk dan bertabrakan dalam episode 4, menjadi gambaran kebingungan Donny memproses traumanya.

Kebingungan itu membuatnya kecanduan pornografi ekstrim, menjadi biseksual hingga have sex dengan perempuan maupun laki-laki, bahkan mengonsumsi narkoba. Segala upaya yang ditempuhnya buat mengembalikan gairah seksnya.

Namun tetap saja Donny tidak bisa memastikan orientasi seksualnya. Apakah ia menyukai lelaki atau perempuan atau keduanya?

Bahkan perkenalannya dengan Teri, seorang perempuan transgender, tak cukup membuatnya lepas dari kebingungan itu. Meskipun hanya lewat sosok Teri inilah, Donny bisa merasakan hubungan romantis dan jatuh cinta sekali lagi.

Pertemuannya dengan Martha untuk sesaat menariknya keluar dari kebingungan itu. Hanya lewat Martha, Donny bisa merasa dipandang sebagai sosok yang diharapkannya, sesuai yang dikehendakinya.

Sulit buat mengatakan, apakah Donny jatuh cinta pada Martha atau hanya terobsesi saja padanya?

Atau barangkali yang sebetulnya terjadi, ia justru menemukan kesamaan dirinya dengan Martha. Bahkan di satu titik, barangkali ia menganggap bahwa Martha adalah refleksi dirinya yang kesepian, kebingungan, dan merasa tidak berharga.

Sedangkan obsesinya untuk memahami apa yang dilakukan Martha (seperti yang ditampilkan pada episode penutup), lahir dari upayanya buat mengenali traumanya. Juga barangkali merupakan sebuah upaya untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

BUNGKAMNYA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Bagi yang pernah menonton film 27 Steps of May, mungkin bakal sepakat bahwa perkara mengakui diri sebagai korban tindak kekerasan seksual yang dialami bukanlah perkara yang gampang. 

Mengakui itu sama halnya mengingat kembali trauma tersebut. Dan upaya mengingat itu sama seperti mengalami trauma itu kembali.

Dalam 27 Steps of May misalnya, sosok May bahkan ketakutan setiap melihat makhluk bernama laki-laki. Ketimbang mengakui kekerasan seksual yang menimpanya secara verbal, May justru mengakuinya lewat simbol demi simbol yang diperlihatkan dan diperagakannya.

Ada makna di balik busana serba putih yang selalu dikenakan oleh May. Juga kenapa ia hanya bisa makan makanan tanpa bumbu yang rasanya sudah pasti hambar.

Bungkamnya korban kekerasan seksual ini juga diperlihatkan oleh Richard Gadd dalam Baby Reindeer. Ada beberapa adegan dalam series ini yang menyiratkan akan hal itu.

Di satu scene misalnya Martha menyerang Teri yang dianggap merebut Donny darinya. Tindakan ini sebetulnya sudah cukup bagi Martha untuk dijebloskan ke penjara sekali lagi.

Hanya saja saat melapor, Donny justru menolak menyertakan penyerangan yang dialami Teri oleh Martha. Terdapat kesan bahwa Donny tak ingin hubungannya dengan Teri ketahuan, meski di lain sisi ini juga didasari obsesinya terhadap Martha.

Mungkin hal itu didasari rasa malu juga. Namun saat melihat interaksi Donny dengan Teri dan bagaimana ia mendapatkan serangan panik saat digerayangi oleh Teri; dapat diduga bahwa trauma menjadi alasannya.

Dengan kata lain Teri adalah simbol kebungkaman Donny terhadap kekerasan seksual yang dialaminya. Melaporkan Martha dengan menggunakan Teri sebagai alasan yang memberatkan, sama halnya mengakui kekerasan seksual yang dialaminya.

Bahkan jika diselami lebih jauh, mengingat Donny juga pernah dilecehkan oleh Martha; bisa jadi dengan melaporkan Martha akan sama halnya dengan menguak identitasnya sebagai korban kekerasan seksual. 

Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya mengakui diri sebagai korban kekerasan seksual. Dan di akhir acara penonton bisa tahu bahwa Richard Gadd berhasil meraih kemenangan atas traumanya dengan mengakuinya. Bahkan ia menjadikannya sebuah karya yang ditonton banyak orang

Baby Reindeer adalah sebuah series yang bicara soal bagaimana para penyintas kekerasan seksual berproses dengan trauma yang dibawanya. Juga bagaimana mereka berani mengakuinya dan berdamai dengannya, serta dengan diri sendiri.

Meski sudah berhati-hati dalam mengupas lapisan trauma korban kekerasan seksual, tak membuat Baby Reindeer luput dari kritik. Salah satunya seperti yang dikatakan di laman NPR.org yang menyebut bahwa series ini gagal membaca misteri soal betapa kompleksnya otak manusia.

Si pengulas tidak sepakat dengan cara Gadd yang seolah mengatakan bahwa kekerasan seksual menjadi sebuah alasan seseorang beralih dari heteroseksual menjadi queer.

Namun, hal begini selalu jadi obrolan panjang yang berujung pada perdebatan: apakah kecenderungan menjadi queer adalah gejala penyakit mental yang lahir sebagai akibat dari kekerasan seksual, pola asuh yang salah, atau hal negatif lainnya?

Satu yang pasti, sorotan utama dalam Baby Reindeer tetaplah soal bagaimana Gadd (sekaligus Donny) memproses trauma kekerasan seksual yang menimpanya yang turut andil memengaruhinya menjadi biseksual (queer).

Yang mendebarkan saat menonton series ini, adalah bagaimana dengan cerdiknya Gadd berhasil mengelola emosi penonton.

Ada beberapa adegan dengan tone yang ceria, seperti tek-tokan Martha dan Donny di salah satu penampilan stand up. Namun tak sedikit juga adegan bernada muram yang bikin tidak nyaman menontonnya.

Meski dibalut dengan komedi, aspek visual yang ditawarkan punya ciri khas visual film horor. Seperti shot kamera dengan kemiringan tertentu hingga shot kamera secara close up yang tanpa ragu mengekspos ekspresi wajah.

Visual yang oke tersebut didukung dengan akting para cast-nya. Utamanya Jessica Gunning sebagai tokoh Martha yang memegang peranan penting dalam series ini. Di tangannya, akting terlihat mudah.

Gunning sukses menggambarkan perubahan mood dari karakter Martha yang dicitrakan sebagai tokoh yang labil. Tawanya yang ngakak dan lepas adalah sesuatu yang ikonik dari series ini.

Tak hanya itu, development character Martha yang cenderung ditempatkan dalam ranah abu-abu; membuat penonton sulit membenci karakter ini secara penuh. Bahkan di akhir acara penonton justru dibikin berempati padanya.

Akhir kata, selain belajar memahami seluk-beluk trauma dari korban kekerasan seksual, menonton series ini juga mengajarkan hal lainnya. Bahwa di antara banyak panggilan sayang buat orang tersayang, saya rasa memanggilnya dengan sebutan Baby Reindeer jelas bisa jadi pengecualian. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan