FroyonionHQ

REBRANDING SUPAYA PERTANIAN NGGAK STAGNAN!

Pernah merhatiin kondisi sektor pertanian Indonesia nggak? Pernahkah lu sebagai anak muda bercita-cita sebagai petani? Di sini gue mau bahas soal yang penting tapi jarang dibahas anak muda.

title

FROYONION.COM - Di zaman digital sekarang, anak-anak muda makin punya banyak pilihan profesi. Tapi dari sekian banyak profesi yang ada, profesi petani gue berani jamin bukan salah satu idaman anak muda saat ini.

Harus diakui bahwa anak-anak muda sekarang banyak yang menghindar dunia pertanian meskipun mereka ini ada yang bapaknya petani juga ataupun malah lulusan dari jurusan pertanian pas kuliah dulu.

Gue sebagai lulusan pertanian pun sering dihantui pertanyaan: “Kenapa ya banyak generasi sekarang segan menjadi petani?”

Ada satu pernyataan Bung Karno yang sering dikutip banyak orang, kira-kira intinya begini: "Hidup matinya sebuah negara ada di sektor pertaniannya.”

Kalo kita mau renungin lagi kutipan tadi, emang ga salah kalo dibilang pangan itu salah satu sektor vital sebuah negara dan bangsa.

Tapi ironisnya bangsa kita yang dulunya dikenal sebagai bangsa agraris dan bahkan bisa mencapai swasembada beras sekarang terkesan mengalami kemunduran di sektor pangannya? Gue sendiri bertanya-tanya, emang bangsa ini udah nyiapin strategi buat regenerasi para pelaku pertanian?

Di sini gue mau mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan tahun 2020. Dari data tadi diketahui ada 64,50 juta penduduk Indonesia berada dalam kelompok umur pemuda. Nah menariknya nih kalo diteliti lagi komposisinya, persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya 21%. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan sektor manufaktur (24%) dan sektor jasa yang persentasenya sangat fantastis: 55%! 

Kalo kata Dr. Ir. Leli Nuryati, M.Sc. (Kepala Pusat Pelatihan Pertanian – BPPSDMP) emang ada sejumlah faktor penyebab para pemuda dan pemudi Indonesia kurang tertarik atau bahkan nggak mau melirik sama sekali peluang kerja di sektor pertanian. Mending nganggur buat nunggu dapet kerjaan lain daripada bertani. Ya nggak?

Masih kata beliau, alasan pertama pemuda Indonesia nggak tertarik bertani adalah masalah lahannya. Kita masih bertumpu pada lahan-lahan pertanian di pulau Jawa. Oleh karena itu, pemuda-pemudi kita perlu diedukasi bahwa sebagai petani masa depan mereka tidak harus selalu bertumpu pada lahan yang ada di Jawa.

Alasan kedua yaitu prestise sosial. Nah gimana caranya supaya profesi petani bisa memberikan prestise yang lebih baik di mata masyarakat terutama generasi mudanya? Kalo gue ditanya, jawabannya adalah upaya branding yang masif, sistematis dan terarah tentang kerennya dunia pertanian kita dan betapa membanggakannya profesi petani itu. Lu bisa kasih makan nggak cuma diri dan keluarga lu tapi juga banyak manusia lain di luar circle lu. Mulia banget kan?

Berikutnya, alasan ketiga anak muda nggak demen bertani adalah karena pada kenyataannya mau diakui ato nggak, sektor pertanian di Indonesia itu masih berisiko tinggi baik dari sisi alam maupun fluktuasi harga-harga bahan pangannya.

Alasan keempat adalah masalah pendapatan para petani yang rendah, di bawah rata-rata pendapatan layak buat hidup yang sejahtera. Sebenernya ini bisa diatasi kalo pemerintah dan kita semua serius mengangkat kesejahteraan petani ke depan. Pendapatan di sektor pertanian mungkin harus dibuat lebih jelas lagi karena selama ini penghasilan petani nggak pasti banget apalagi ada fenomena perubahan iklim yang berpengaruh ke hasil panen. Pemerintah juga harus tegas soal kebijakan penetapan harga pembelian hasil panen petani Indonesia sendiri. Dengan menetapkan harga beli produk yang adil dan membebaskan  jerat tengkulak dari petani.

Semua ini masih ditambah sama masih kurangnya insentif dari pemerintah kita buat para petani kita yang udah bekerja keras kasih makan perut ratusan juta manusia di nusantara.

Menurut Dr. Leli sih kondisi ini nggak sepenuhnya salah pemerintah. Tapi bisa jadi disebabkan oleh  kurangnya pengetahuan dan akses terhadap informasi yang disebarkan pemerintah untuk meningkatkan kondisi sektor pertanian.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menurutnya udah meluncurkan upaya-upaya untuk menarik minat anak-anak muda buat jadi petani. Mereka melakukan beberapa program aksi berupa penyuluhan pendidikan vokasi dan pelatihan mendukung pertumbuhan usaha petani milenial, serta penyuluhan, pendidikan vokasi dan pelatihan yang mendukung program utama Kementerian Pertanian.

Bahkan Kementan menargetkan pertumbuhan pengusaha pertanian milenial sampai 500.000 per tahun. Jika itu tercapai, minimal bakal ada 2,5 juta orang petanj milenial begitu kita menginjak tahun. 2024 (yang artinya 2 tahun lagi target ini mesti terealisasi). Dan untuk itu, Kementan udah meluncurkan sejumlah program kayak Program Petani Milenial, penumbuhan wirausahawan muda pertanian (PWMP), Duta Petani Milenial dan Duta Petani Andalan, sampai penerapan digitalisasi pertanian.

Dari penjelasan Dr. Leli ini, gue bisa tarik satu kesimpulan bahwa PERTANIAN TIDAK MENARIK dan DIANGGAP TIDAK MENGHASILKAN BANYAK UNTUNG untuk anak muda.

Dari pengamatan gue, kondisi ini bisa terjadi karena akses informasi yang minim tentang pertanian di era digital saat ini. Pastinya ini ironis banget karena bukannya kita di Indonesia ini udah hidup ‘dikepung’ sama informasi sekarang? 

Nah pertanyaan gue berikutnya: “Apakah pihak Kementan udah berinovasi secara nyata dalam memberi edukasi dan menyebar informasi pertanian atau jangan-jangan masih menerapkan cara ‘jadul’ untuk menarik minat anak muda supaya mau jadi petani?” 

Dari situ gue coba mengamati konten di akun media sosial Kementan dong! Kesan yang gue tangkep dari konten mereka sih udah cukup bagus. Konten mereka udah lumayan dalam hal program dan juga pesan (message) yang disampaikan. Satu postingan yang patut dapet apresiasi menurut gue adalah konten video tanggal 13 Juni yang membahas soal bahan pangan karbohidrat sebagai alternatif beras.

Program-program Kementan menurut gue pribadi udah sangat oke. Sebut aja pengembangan kawasan food estate sampai asuransi pertanian yang melindungi petani dari kegagalan panen. Jadi subsidi buat petani itu nggak melulu dalam bentuk pupuk dan benih aja. 

Lantas kalau kontennya udah oke, program Kementan RI udah bagus tapi masih sedikit juga minat pemuda untuk terjun ke pertanian, salah siapa?

Ya nggak ada gunanya juga nyari kambing hitam di sini karena emang 'image' atau citra dari sektor pertanian kita di mata anak muda juga belum keren. 

Coba kalau sektor pertanian itu bisa contek sektor manufaktur yang nerapin job description yang jelas dari hulu ke hilir dengan sistem pembayaran per bulan mirip gaji PNS. 

Untuk memulai suatu pergerakan atau tren, dibutuhkan upaya branding yang bagus menurut gue. Inilah kenapa tanaman hias masih lebih mahal daripada harga bahan pangan padahal cuma bisa diliat, nggak bisa dimakan dan bikin kenyang. Mahalnya harga tanaman hias lebih karena tanaman hias menang di sisi branding.

Bahan pangan juga bisa jadi premium dan udah ada yang sukses tapi jangan lupa itu butuh branding yang oke. Coba lu ke supermarket dan cari beras berlabel premium, bisa dipastiin kemasan (packaging) beras premium berbeda banget dari beras-beras lainnya yang lebih murah harganya.

Makanya, menurut gue kalo emang kita serius buat menarik anak muda untuk terjun ke dunia pertanian, buatlah branding yang bagus dan keren di mata anak muda. Buka akses informasi seluas-luasnya dan buat jadi sekeren-kerennya. 

Dari sisi kebijakan, pemerintah juga kudu berusaha keras supaya bisa menyerap hasil panen dalam negeri. Kalau bisa produksi sendiri, kenapa harus impor? Kurangi impor pangan jika masih bisa dipenuhi oleh para petani kita sendiri.

Jadi yok pak menteri, kita gas branding sektor pertanian kita yang udah kece agar regenerasi bisa tercapai dalam 5-10 tahun ke depan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Miko Panggayo

Produsernya Froyonion, lo tahu lah gue siapa