
Emang Lo pada yakin kalau apa yang ditampilkan di media sosial adalah kenyataan? Padahal bisa saja berbeda atau bahkan bertolak belakang.
FROYONION.COM - Bermedsos mungkin sudah jadi bagian dari rutinitas kita setiap hari. Bahkan intensitasnya bisa dibilang terlalu berlebihan. Dari mulai lo bangun tidur langsung cek notifikasi buka WhatsApp, mau makan cek notif buka Instagram, mau nugas buka Twitter liat yang trending.
Nah yang menjadi masalah, sebenarnya hal seperti ini justru yang mempengaruhi psikologis lo. Dan bahkan jika sampai level tertentu lo tidak akan bisa membedakan mana dunia maya dan dunia nyata. Maksudnya? Sini biar gue jelasin lebih lanjut.
Sosiolog dan filsuf asal Prancis Jean Baudrillard mendefinisikan hiperrealitas sebagai kondisi saat seseorang tidak mampu lagi membedakan antara fantasi(maya) dan dunia nyata.
Hiperealitas muncul diawali dengan Jean sendiri yang memunculkan konsep berbeda tentang simulasi. Jean mendefinisikan simulasi sebagai bentuk penciptaan kenyataan (realita) melalui model yang mirip dengan mitos. Nah, mitos sendiri tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Jadi saat masyarakat membentuk realita tersebut dan menyebarkannya secara massif melalui media sosial akan tercipta clash antara realita dan simulasi tersebut. Maka hiperrealitas muncul akibat bercampur aduknya/clash antara simulasi dan dan dunia nyata.
BACA JUGA: KENAPA ORANG MENYEMATKAN NAMA PASANGAN DI BIO MEDSOS?
Hiperrealitas sendiri sebenarnya sudah muncul sejak lama. Kalau kalian pernah mendengar tentang seorang aktris sinetron yang berhasil dalam memerankan karakter antagonis lalu ketika berada di tempat umum mereka mengalami hal-hal seperti dicakar, dijambak, atau dicubit, bahkan disiram oleh ibu-ibu yang menonton sinetron tersebut. Hal ini termasuk dalam kondisi hiperrealitas. Ibu-ibu itu terpengaruh secara psikologis walaupun ia tahu bahwa yang dilakukan sang aktris hanya sekedar akting.
Berkembangnya teknologi informasi membawa fenomena hiperrealitas semakin jauh dan beragam. Terdapat beberapa bentuk dari hiperrealitas yang sekiranya hadir dalam kehidupan para anak muda di era media sosial. Baca sampe abis, Civs.
BACA JUGA: MAU KONSULTASI PSIKOLOG TANPA BIKIN KANTONG JEBOL? INI ALTERNATIFNYA!
Tidak diragukan lagi bahwa bermedia sosial yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi psikologis seseorang sampai tingkat kesehatan mental.
Jika kalian pernah merasa tertekan saat melihat postingan atau hal apapun yang dibagikan entah oleh influencer atau teman yang kalian follow dan merasa bahwa “kok hidup dia enak ya?”, ketahuilah bahwa apa yang di-share di media sosial tentu sudah di setting oleh pengguna, mereka cenderung akan membagikan momen-momen bahagia dalam akun media sosialnya.
Inilah yang menyebabkan tekanan pada psikologis seseorang, bukan karena rasa iri tetapi perasaan membandingkan dengan diri sendiri itulah yang berbahaya.
Kondisi seperti ini lahir karena seseorang menganggap apa yang dicitrakan oleh seseorang dalam media sosialnya akan dianggap nyata dan otentik di dunia nyata, padahal citra tersebut bisa dibangun dan dibentuk sesukanya. Hal ini yang nantinya akan berkaitan dengan bentuk lain dari hiperrealitas.
BACA JUGA: BERIKUT 5 KEBIASAAN BUAT NINGKATIN KREATIVITAS LO MENURUT PSIKOLOG
Dalam konteks hiperrealitas keinginan seseorang untuk diakui dan memvalidasi dirinya akan sangat besar. Karena orang sudah menganggap jika melihat seseorang dari akun media sosialnya sudah dianggap mewakili seratus persen kehidupan mereka, padahal kenyataanya apa yang dibagikan di media sosial hanya sebagian kecilnya saja.
Haus like dan sering instastory sebenarnya sudah masuk dalam taraf self confession. Pasti kalian semua pernah mengalami saat teman kalian memposting foto lalu meminta teman-temanya termasuk lo sendiri untuk nge-like dan komen di postingan mereka, Kalau demi kebutuhan penting seperti lomba atau tugas itu lain cerita.
Self confession membuat seseorang merasa menjadi lebih bernilai ketika mereka memiliki jumlah followers yang lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang yang berada dalam lingkungannya.
Follower dan like sudah bisa menjadi alat tukar di era sekarang sehingga hubungan atau interaksi sosial yang otentik di dunia nyata justru akan ditentukan oleh media sosial.
BACA JUGA: FENOMENA RENTAL BOYFRIEND DI KALANGAN ANAK MUDA UNTUK MENGATASI KESEPIAN
Hubungan pertemanan yang otentik justru ditentukan oleh dunia maya. Pernah nggak kalian merasa pas mem-follow teman yang kalian anggap dekat tapi dia tidak mem-follback? Pasti kalian akan bingung dan mempertanyakan kualitas pertemanan yang dimiliki. Jujur gue sendiri pernah di fase itu, padahal kalau kita pikir baik-baik hubungan yang otentik di dunia nyata tidak perlu divalidasi di dunia maya. Dan tidak perlu juga menjadikan dunia maya sebagai indikator teratas untuk mengukur kualitas pertemanan.
Pertemanan yang jujur hanya bisa dibangun ketika seseorang bertemu dan melihat sisi asli dari individu lainnya. Dikarenakan media sosial sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan nyata, maka fitur-fitur dalam media sosial akan dijadikan alat untuk membuat kenyataan semu tersebut.
Dengan contoh Instagram akan melabeli khusus akun seseorang jika sudah saling memfollow satu sama lain. Akun tersebut akan dilabeli dengan istilah “teman”. Inilah perasaan campur aduk yang terjadi akibat hiperrealitas di era media sosial.
Mengacu pada pernyataan Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi mengatakan “We shape our tools and they in turn shape us”. Artinya secara sederhana adalah ketika manusia dengan segala usahanya menciptakan teknologi akan ada satu titik dimana kita lah yang akan dikendalikan olehnya. Untuk itu perlulah kita bijak dalam menggunakan media sosial agar kita tidak terjebak dengan berbagai euforia yang mereka tawarkan sehingga lupa bahwa apa yang berlebihan akan selalu datang dengan dampak negatifnya. (*/)