Esensi

AKTIVISME PADA PRODUK KECANTIKAN, APAKAH MASIH RELEVAN?

Produk kecantikan berkomitmen mengangkat isu ketidakadilan sosial hingga kerusakan lingkungan. Sebagian orang percaya, sebagian lainnya tidak percaya.

title

FROYONION.COM - Produk kecantikan gelombang pertama yang memulai gerakan aktivisme adalah The Body Shop. Anita Roddick, seorang aktivis Inggris mendirikan perusahaan itu di tahun 1976. 

Ia mengambil langkah yang cukup nekat dalam menjalankan bisnisnya dengan membawa isu pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan sebagai aktivitas yang sangat mereka tentang. 

Komitmennya dalam usaha-usaha advokasi itu berhasil memobilisasi banyak pelanggan di 22 negara untuk ikut menyuarakan prinsip yang dipegang erat oleh The Body Shop. Bahkan ikut berkontribusi mengubah 24 undang-undang di berbagai negara tersebut. 

Memang kita telah memasuki era konsumerisme yang penuh kesadaran. Banyak orang yang dalam konsumsi kosmetiknya, kini mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungannya sebelum membeli produk. 

BACA JUGA: RITUAL KECANTIKAN YANG RAMAH LINGKUNGAN: MENJAGA KULIT DAN BUMI

The Body Shop Indonesia
The Body Shop Indonesia saat peluncuran di Mal Kota Kasablanka. (Sumber: Marketeers)

Menurut laporan Sprout Social di tahun 2019, lebih dari 70 persen pengguna kosmetik mengharapkan bahwa perusahaan-perusahaan kosmetik berani secara terbuka menyatakan keberpihakannya dalam isu sosial-politik. 

Di Australia, dominan warganya menganggap bahwa isu keberlanjutan harus menjadi sorotan yang penting untuk diperhatikan sebelum mengkonsumsi produk. 

Melihat dari berbagai penelitian itu, harusnya produk-produk yang mengklaim diri sebagai produk pro hak asasi manusia, laris di pasaran. 

Namun, kenapa justru yang terjadi, The Body Shop retailnya di beberapa negara dilaporkan mengalami krisis. Dimulai dari negara induknya di Inggris, lalu disusul di negara lain seperti Australia, Amerika, dan Kanada.

RUNTUHNYA THE BODY SHOP

Setahun sebelum Roddick meninggal dunia, di tahun 2006 The Body Shop dibeli oleh perusahaan kosmetik raksasa asal Perancis, L’Oreal yang memiliki merk terkenal seperti Maybelline dan Garnier. 

Menurut laporan The Guardian, peralihan kepemilikan itulah yang menjadi penyebab The Body Shop runtuh karena para loyalisnya kecewa dan meninggalkannya. L’oreal dianggap telah mengkhianati nilai-nilai moral yang selama ini melekat.

Di saat itu, kesempatan dimanfaatkan kompetitor lainnya seperti Lush, Neal's Yard, dan Aesop. 

Mereka muncul dengan mengukuhkan diri sebagai merek kosmetik yang mengedepankan etika lingkungan untuk menggaet konsumen yang memiliki kesadaran lingkungan. 

Tahun demi tahun, pendapatan terus menurun. Akhirnya L’Oreal di tahun 2017 menjualnya ke perusahaan Natura Brasil. Semakin tidak menjanjikan, The Body Shop terus berganti pemilik hingga jatuh ke tangan Aurelius. 

TERPOLARISASI KONSUMEN

Setelahnya semakin marak berbagai merek yang berkampanye tentang keadilan sosial dan lingkungan, justru ini membuat konsumen merasa jenuh dengan jargon-jargon aktivisme. 

Terutama ketika banyak merek yang hanya menyalin dan menempel jargon tanpa ada aksi nyata yang terukur seperti anggapan mereka terhadap L’Oreal. Bagi mereka yang bosan, harusnya perusahaan cukup fokus saja pada tujuan bisnis. 

Bukan berarti sama sekali tidak ada yang percaya, namun survey tahunan yang dilakukan oleh Gallup di Amerika, menyatakan bahwa kepedulian masyarakat terhadap isu keadilan sosial yang dibawa oleh merek semakin menurun. 

Apalagi dari hasil survey tersebut menjadi semakin kompleks karena terpolarisasi berdasarkan kelompok ras, usia, hingga pilihan partai politik. Sedangkan variabel-variabel itu memiliki kemampuan finansial yang berbeda-beda. 

Kelompok yang tetap menginginkan bahwa merek harus berpihak pada isu keadilan sosial rata-rata didukung oleh anak muda dan orang-orang non kulit putih. 

Bagi mereka, isu kesehatan mental dan perubahan iklim harus disuarakan. Sebaliknya, orang-orang dewasa tidak terlalu peduli dengan isu yang dibawa merek. 

Terpolarisasinya kelompok konsumen ini memicu terjadinya perang budaya yang akan membuat perusahaan kosmetik semakin susah dalam menentukan pasar sehingga dapat mempengaruhi sikap.

OPTIMIS MENDORONG TERCIPTANYA AKTIVISME DALAM PRODUK KECANTIKAN

Jessica Vredenburg Dosen Pemasaran, Universitas Teknologi Auckland bersama tim penelitiannya optimis bahwa aktivisme di dalam produk kecantikan harus kembali menjadi role model bisnis di masa yang akan datang. 

Dalam laporan mereka yang ditulis di The Conversation, cara yang dilakukan adalah dengan mengevaluasi sepak terjang yang telah dilakukan oleh The Body Shop yang pernah menjadi mercusuar dalam gerakan ini. 

Bagi mereka, langkah transformatif yang harus diambil adalah dengan cara menyelaraskan antara tujuan pasar dengan tujuan masyarakat. Untuk merebut ruang itu, The Body Shop harus membuat formulasi baru untuk membangun ikatan interaktif dengan pelanggannya. 

Langkah yang dapat dilakukan di awal adalah dengan cara mengubah strategi promosi ke arah non-konvensional. Perusahaan-perusahaan yang mengedepankan etis dan berkomitmen ikut andil dalam advokasi isu sosial harus semakin tumbuh menjamur. 

Beberapa langkah inovatif dan konkrit dapat dijadikan acuan. Misalnya seperti yang telah dilakukan oleh Lush. Merek ini menutup akun instagramnya karena bagi mereka sosial media turut berpengaruh buruk terhadap kesehatan mental generasi Z. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ugik Endarto

Pegiat di Perpustakaan Jalanan Wahana Baca juga berkecimpung di Metallagi.com