Music

'TAU DIRI' DAN INFERIORITAS DODIT MULYANTO

Lagu "Tau Diri" Dodit Mulyanto memiliki kesan cukup mendalam, dari lirik inferior hingga musikalitas sang komika yang tak dapat dipandang sebelah mata.

title

FROYONION.COM - Awalnya penulis mengira, lagu “Tau Diri” milik komika Dodit Mulyanto yang dirilis awal Oktober 2023 lalu merupakan lagu lucu-lucuan. Sebagaimana lagu “Darling” yang diunggah Dodit pada Oktober 2019 lalu.

Anggapan penulis nyatanya salah, bahwa “Tau Diri”tu lebih dari pada itu’. Ia lebih dalam untuk dikatakan sebagai proyek lucu-lucuan. Lebih serius dari lagu “Darling” yang menukil lirik “November Rain” serta dipadukan dengan diksi manuk kuntul itu.

Melampaui ekspektasi, "Tau Diri" lebih unggul dari segala hal.  Baik secara lirik maupun aransemen. Meski di satu sisi, beberapa bagian sulit terbantahkan bahwa Dodit masih berusaha mempertahankan jati-dirinya sebagai seorang komedian.

INFERIORITAS DAN BALAS DENDAM DODIT MULYANTO DI LAGU “TAU DIRI”

Percintaan, persahabatan, dan pengkhianatan menjadi garis besar lagu “Tau Diri” yang dirilis Dodit Mulyanto. Dan lebih dalam, karena lagu tersebut berdasarkan pada kisah nyata Dodit, sebagaimana ia ungkapkan dalam wawancaranya di YouTube Raditya Dika.

‘Sudah jatuh, eh, tertimpa tai tokek’ begitu peribahasa untuk menggambarkan kisah kekalahan Dodit sebagai pecundang percintaan masa lalu. Seperti katanya, dikhianati sahabat dan pasangan dalam waktu bersamaan, lantas siapa lagi yang harus dipercaya?

Dengan segala keterbatasannya, Dodit harus pasrah menerima kenyataan. Sahabatnya lebih punya segalanya. Sang pujaan mau, dan Dodit sebagaimana orang Jawa, mesti narimo ing pandum (menerima kenyataan-red)”.

“Di belakangku dia menawarkan hal sempurna. Seakan menggenggam dunia, dan kau mau. Aku tak tahu harus buat apa,” tulisnya di bagian verseTau Diri” Dodit Mulyanto.

BACA JUGA: 5 BAND MIDWEST EMO INDONESIA YANG LAYAK DISEBUT 'HIDDEN GEM'

Sisi emosional Dodit juga tergambar di bagian reff-nya, saat ia mengaku tak ada apa-apanya jika dibandingkan sesosok teman yang menikungnya sendiri. Jujur di bagian reff ini cukup membuat penulis ketagihan. Musikalitas Dodit tak bisa diremehkan.

“Jika kau bandingkan aku dengan dirinya. Seujung kuku pun aku tak sanggup. Aku tau diri,” tulis bagian reff-nya.

Dodit menyebut, jika kedua pasangan yakni mantan dan sahabatnya itu telah hidup bahagia. Namun perasaan dendam nampaknya dipendam Dodit sendiri. Dan bagian akhir lagu menampakan hal tersebut.

“Jika sekarang kau datang. Mengajakku pulang tetapi sayang hatiku bilang. Kamu tau diri. Kamu tau diri,” tulis penutup lagunya.

“TAU DIRI” DAN DODIT YANG TAK BISA LEPAS DARI AKARNYA 

Dodit bisa dibilang menjadi corong utama komika Jawa hingga saat ini, bahkan di era Jawa memiliki ikon lain seperti Gus Nopek Novian. Dodit dikenal memiliki gaya death pen, seolah juga mempertegas sisi Jawanya yang mengalun tapi menghanyutkan. 

Ada 2 kata kunci, bahwa Dodit adalah Jawa. Dan juara 6 Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) 4 ini juga tak bisa dibantahkan sebagai salah satu komika terlucu di Tanah Air. Dua hal itu, yang membuat karya Dodit “Tau Diri” menemukan cirinya sendiri.

Meski sebenarnya cukup deep, tapi “Tau Diri” masih mengandung nuansa jenaka. Seperti ia memilik lirik inferior macam “Aku sabun batang, dia sabun cair” pada bagian pre-chorus atau bridge. Cukup kacangan sebenarnya.

Walau di sisi lain, Dodit mengaku tak bermaksud melucu di lirik tersebut. Karena baginya sabun bukan diksi lucu. Soalnya yang lucu itu “kamu”. Heuheu.

Tapi kesan lucu lain tampak dari pemilihan bintang video klipnya. Seperti pemeran sahabat penikung, Dodit memilih Bobocu. Jujur penulis awalnya tak tahu siapa sosok satu itu, sebelum diingat seorang teman bahwa ia merupakan salah satu sosok random di medsos.

Maka jelas, ada maksud dan tendensi Dodit untuk tetap melucu. Padahal jika mau tampak lebih inferior, Dodit bisa memilih pemeran lain. Seperti Arya Saloka misalnya. Walau budget-nya pasti tambah banyak.

BACA JUGA: KONSER BRING ME THE HORIZON HARI KEDUA BATAL, INI KATA OLIVER SYKES

Karakter lain yang tak bisa dilepaskan adalah Jawa dan inferioritas. Orang Jawa punya jargon narimo ing pandum yang jadi penjelas bahwa di banyak sisi, orang Jawa selalu merasa inferior. Tapi bukan saja soal filosofi hidup, yang seolah masih nampak stereotyping. 

Namun, jika kalian mengamati lagu-lagu berbahasa Jawa, tren mayoritas lagu mereka memang bernada inferior. Seperti lagu yang tren di kawula Jawa saat ini, “Nemen”. Atau lagu terdahulu macam “Ojo Dibandingke” atau “Klebus”. Kalian bisa menelusuri sambil menerjemahkan sendiri.

Sangat jarang lagu Jawa yang tidak dilatarbelakangi kisah percintaan yang gagal karena orang lain. Sebagai orang Jawa tulen, penulis hanya bisa menemukan sedikit lagu patah hati yang tak dilatarbelakangi perselingkuhan, “Mendung Tanpo Udan” misalnya.

Sisanya, lagu Jawa akan lebih banyak menggunakan diksi “liyane’ yang artinya adalah orang lain. Atau dalam artian, kisah cinta selalu kandas karena orang ketiga.

BACA JUGA: BERAWAL DARI KOMEDI YANG EKSKLUSIF, KINI STAND UP COMEDY JADI CARA UNTUK BERSUARA

“TAU DIRI” YANG SANGAT PERSONAL UNTUK DODIT

Jujur, secara lagu “Tau Diri” cukup membuat penulis kecanduan untuk memutarnya lagi dan lagi. Musikalitas Dodit juga tak dapat dipandang sebelah mata. Dodit bahkan mengaku harus kursus gitar sebelum membuat lagu “Tau Diri”.

Di sisi lain, “Tau Diri” masih cukup 'b aja' soal lirik di beberapa bagian dalam sudut pandang sastrawi. Tentu saja, hal yang agaknya masih cukup dimaklumi, karena Dodit nampaknya belum sepenuhnya ingin bersaing dengan penyanyi lain sekaliber “Bilal Indrajaya” misalnya. 

Dan aransemen “Tau Diri” cukup menjadi pengampun dari lirik yang sebenarnya biasa saja. 

BACA JUGA: BAGAIMANA PODCAST KOMEDI DI INDONESIA DIDOMINASI OLEH KOMIKA

Seperti paragraf-paragraf di atas, “Tau Diri” memang memiliki kesan mendalam bagi Dodit. Apalagi, ia akan jadi salah satu lagu pengiring special show stand up comedy Dodit untuk beberapa bulan ke depan.

Ada sekitar 8-9 lagu lagi yang rencananya akan melengkapi peluncuran “Tau Diri”. Dan “Tau Diri” sebagai single pembuka sudah mampu menempatkan dirinya dengan cukup epic. Setidaknya di telinga penulis. Soalnya ternyata itu juga mirip kisah penulis sendiri. Heuheu.

"Aku tak tahu harus buat apa…”. (*/) 

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Dicky Setiawan

Jurnalis dan penulis lepas, yang gemar menonton olahraga serta mendengarkan musik untuk menumpas kesepian