Music

MEMAHAMI ‘LANGIT TAK SEHARUSNYA BIRU’ DARI SISI LAIN

The Jansen pada 2022 merilis album Banal Semakin Binal yang berhasil masuk ke dalam jejeran album terbaik di tahun itu. Salah satu lagunya Langit Tak Seharusnya Biru bisa kita bedah dengan astronomi, fisika, dan sejarah.

title

FROYONION.COM - The Jansen punya satu lagu unik yang patut dibahas karena berisi banyak konsep dalam astronomi, fisika, dan sejarah. Ada juga konsep lain yang berhubungan dengan kedua bidang tadi. Kalau masalah sastra dalam lagunya, tak usah dipungkiri. Saya pribadi menganggap ciamik, bagaimana lirik-liriknya diracik.

“Rasi dan bintangnya seratus juta tahun terlewatkan” mengandung konsep jarak dalam astronomi. Kalau kita lihat The Jansen memisahkan kata “bintang” dengan “rasi”, meskipun seringkali kedua kata tersebut bergandengan. 

Rasi atau konstelasi dalam konteks ini adalah gugusan atau struktur yang membentuk benda atau “sesuatu” dalam perspektif manusia. Kalau kalian masih menganggap rasi zodiak itu jumlahnya 13, mending belajar astronomi dulu deh. Hindari belajar-belajar ramalan bintang.

Masih dalam bait yang sama “seratus juta tahun” di sini jelas konsep waktu, namun dalam fisika konsep waktu dan jarak saling berkelindan. Kita bisa mengatakan bahwa jarak Matahari–Bumi adalah 8 menit cahaya, alih-alih mengatakan 150 juta kilometer. 

Jarak dalam astronomi yang terlampau ruwet bila disebut dalam meter atau kilometer, bisa menggunakan tahun cahaya sebagai gantinya. Tahun cahaya menyatakan berapa jarak yang ditempuh oleh cahaya yang telah melintasi alam semesta selama setahun.

“Ku ingin mengubah dimensi” menggunakan konsep dimensi secara umum dalam matematika dan fisika. Meskipun The Jansen tidak menjelaskan lebih detail, mereka hanya menggunakan frasa dimensi saja. Secara gampang dimensi itu adalah bidang. Titik atau garis adalah dimensi 1, bangun datar adalah dimensi 2, dan bangun ruang adalah dimensi 3, lalu dimensi 4, dan seterusnya.

BACA JUGA: CERITA AIS LUGU, ‘HANTU GIGS’ JOGJA YANG SUPPORT BAND-BAND LOKAL

Sangat susah menggambarkan atau menjelaskan dimensi atas memakai dimensi bawahnya. Ibaratnya kita bisa mencintai karakter anime, tapi karakter animenya gak bisa mencintai kita. Lah emang gitu ya?

Simpelnya begini, kita akan cukup kesulitan menggambar kubus di atas kertas, mungkin memang bisa, tapi kita tak dapat merasakan ketigadimensian dari gambar tersebut. Untuk dimensi di atas kita, Einstein dalam Relativitas meminjam konsep waktu sebagai dimensi keempat dari Minkowski. Padahal dalam teori dawai atau yang lebih sering disebut string theory, dibutuhkan setidaknya 10 dimensi agar semesta ini dalam keadaan seimbang.

“Ramalan dan mesin waktu” konsep ramalan di sini bisa dikaitkan dengan etnoastronomi atau kebudayaan astronomi yang tersebar di seluruh dunia. Ramalan memiliki konsep sama dengan kalender. Kita lihat peradaban apa saja yang punya kalender? Banyak bukan? 

Kita juga mengadopsi kalender Masehi, yang semula Julian kemudian berganti menjadi Gregorian karena alasan presisi. Bahkan kalender Maya saja sempat diisukan berisi ramalan akhir dunia. Jadi, sekarang ini kita adalah penyintas kiamat 2012.

BACA JUGA: YOGYAKARTA MENJADI TITIK PERTAMA TOUR BANAL WISATA DARI THE JANSEN

Beberapa kebudayaan juga memasukkan ramalan-ramalan yang sering berhubungan dengan astrologi—bedakan dengan astronomi! Atau bahkan zodiak! Sebut saja Primbon di Jawa atau kalender lainnya. "Ramalan" ini juga digunakan untuk bercocok tanam, kalau Jerman punya Bauernkalendar, di Jawa ada Pranata mangsa, di kebudayaan lain? Tentu banyak.

Lain ramalan lain lagi mesin waktu, ini adalah salah satu hal yang sering kita temui di film sci-fi bukan? Kita kembali ke masa lalu, ataupun ke masa depan dengan segala risiko dan konsekuensi. Film macam Interstellar, Terminator, atau Back to the Future menggunakan konsep ini. Ada paradoks menyertai “mesin waktu” bernama Grandfather Paradox atau Paradoks Kakek.

Secara teori cukup mustahil untuk kembali ke masa lalu. Padahal di film-film banyak kan ya? Namun yang lebih masuk akal adalah melempar diri kita sendiri ke masa depan. Keren nggak sih kembali ke masa lalu? Tapi itu mustahil! Melompat ke masa depan jauh lebih masuk akal dalam konsep fisika. Gimana caranya? Utak-atik saja keseimbangan ruang-waktu dengan berpindah ke daerah dengan medan gravitasi. Waktu melambat di medan gravitasi yang besar.

“Langit tak seharusnya biru” adalah representasi hamburan Rayleigh. Benar kata The Jansen, karena memang seharusnya warnanya bukan biru. Warna biru yang dilihat oleh mata adalah hamburan dari warna matahari. Karena itu langit nggak selalu berwarna biru, terkadang kuning saat pagi, jingga saat petang, dan hitam saat malam atau mendung.

Atmosfer bumilah penyebabnya. Sinar matahari bisa dipisahkan menjadi setidaknya 7 warna (akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya), dan biru adalah warna terpilih. Panjang gelombang dengan energi paling besar yang bertahan menghadapi “gangguan” di atmosfer, biru sebagai cahaya dengan panjang gelombang paling pendek dan energi paling besar keluar sebagai juaranya.

“Putih tak seharusnya cahaya” berarti dispersi cahaya oleh Newton. Cukup sulit untuk mengerti maksudnya atau menghubungkannya dengan konsep fisika yang ada. Mungkin dispersi cahaya atau pemisahan cahaya yang telah dijadikan eksperimen oleh Sir Isaac Newton pada 1665 sebagai satu-satunya jawaban yang tersedia. 

BACA JUGA: BAGAIMANA LAGU BISA MEMBUAT MANUSIA TERGERAK? ‘EFEK RUMAH KACA’ MENJAWAB PERTANYAAN TERSEBUT

Eksperimen itu menemukan bahwa sinar matahari yang terlihat putih itu terdiri dari berbagai warna. Ada 7 warna, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Saat itu 7 diasosiasikan dengan hal-hal menakjubkan.

Setiap warna punya panjang gelombang yang berbeda. Makin pendek panjang gelombangnya, makin besar energi yang tersimpan. Itulah kenapa mata kita akan lebih cepat pedih kalo kena cahaya berwarna biru. Banyak juga kan laptop dengan layar yang meminimalisir cahaya biru? Ngeselin sih emang yang ganti lampu motornya dari kuning jadi biru. Silau coy.

Selain lagu Langit Tak Seharusnya Biru, menurut penuturan Aji sebagai penulis liriknya, album The Jansen yang dirilis tahun 2022 itu berisi referensi tentang fisika. Dua Bilah Mata Pedang memuat intensitas cahaya. Secara kolektif, album Banal Semakin Binal menjadi salah satu album terbaik tahun 2022. Konsep astronomi, fisika, dan sejarah yang dapat ditemui dalam lirik lagu yang terkompilasi ke dalam album Banal Semakin Binal membuat kita berpikir ulang. Betapa dalam makna tersembunyi yang ada. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Muhammad Rizky Pradana

Sejarawan (muda) partikelir.