Music

KONSER MUSIK SUDAH JADI KEBUTUHAN EKONOMI MILENIAL DAN GEN-Z?

Pentas musik yang digelar girlband Blackpink di Stadion Gelora Bung Karno mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Mulai dari digesernya pertandingan antara Persija melawan Persib hingga artis-artis yang menyeret kalangan fans-nya untuk ikut menonton konser itu.

title

FROYONION.COM - Sejatinya menonton konser bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Berbagai grup musik, penyanyi, dan komposer dari dalam dan luar negeri sudah sering memberikan list pertunjukan tahunannya di Indonesia. Masyarakat Indonesia sendiri tergolong sebagai pasar distribusi musik terbesar di dunia. Tak heran apabila setiap digelar konser, hype masyarakat Indonesia terhadapnya pun cukup tinggi.

Hanya saja, sejak kedatangan budaya populer Korea Selatan, salah satunya diwujudkan dalam girlband dan boyband—telah membawa hype ini ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini dilihat dari perjalanan kontak budaya negara lain ke Indonesia dari masa ke masa.

Dimulai pada masa kolonialisme yang sekaligus membawa kedatangan kebudayaan Arab, Tionghoa, dan tak lepas dari itu Belanda—masyarakat Indonesia pun menerima semua kedatangan itu dengan tangan terbuka. Nyatanya, akulturasi baju kerajaan di nusantara telah mencerna model jas Eropa (seperti Belanda) dengan tidak meninggalkan ornamen tradisional di dalamnya. Ornamen tradisional yang dimaksud misalnya pin emas berbentuk bunga, iket, hingga keris sebagai pendukung mode akulturatif tersebut.

Hal yang sama berlaku pada tradisi Tionghoa yang diserap dalam baju koko yang dianggap sebagai mode beribadah bagi umat Islam di Indonesia. Sementara itu, tradisi Arab dengan sorban dan sajadah pun memiliki tempat dalam tradisi peribadatan muslim.

Dengan ditarik lurus hingga peradaban kontemporer dewasa ini, kebudayaan Korea yang dibentuk melalui K-Pop dan Drama Korea memiliki peran serupa. Akulturasi pun terbuntuk hingga disebut sebagai hibridisasi. Konsep pertemuan yang menciptakan hibridisasi ini pun mempengaruhi bangunan ekonomi masyarakat Indonesia. Pengaruh itu dapat dilihat dalam beberapa kondisi sebagai berikut.

1. Mode berpakaian simple dan menawan

Bercermin pada mode berpakaian tokoh-tokoh imajiner dalam drama-drama Korea, masyarakat Indonesia pun mulai tergiring untuk memakainya. Kaos berwarna polos yang kedodoran, celana bahan yang rapi, dan sepatu ket polos menjadi set mode berpakaian yang paling banyak ditiru masyarakat Indonesia.

Kini, perpaduan mode simple itu juga dipertemukan dengan celana jeans polos dan sepatu hitam. Kesan ini menunjukkan nilai urban dan travel. Setelan seperti ini sangat mudah ditiru oleh masyarakat Indonesia oleh sebab budaya perjalanan yang sudah mendarah-daging di Indonesia. Mudik lebaran misalnya, menjadi salah satu cara menunjukkan kedatangan mode ini oleh para perantau yang hidup di kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, dan Yogyakarta.

Mode lain yang tampak simple didapati dari video-video daily life para anggota girlband dan boyband yang menjadi brand ambassador produk-produk internasional. Contoh nyatanya terlihat pada Jisoo Black Pink yang menjadi brand ambassador dari Dior, seperti halnya Lisa yang mampu menarik minat borjuis gaya Bvlgari.

2. Tradisi romantis dari drama yang diidolakan

Masyarakat Indonesia barangkali belum bisa lepas dengan kedalaman romansa yang disajikan serial TV Korea, Snowdrop. Serial TV yang dibintangi oleh Jisoo itu mampu membuat masyarakat Indonesia terus saja berkhayal kalau saja Jisoo benar-benar menjadli hubungan dengan lawan mainnya, Jung Hae-in.

Keduanya memang terlihat memiliki kode-kode romantis yang ditampilkan melalui unggahan-unggahan mereka di instagram. Tak ayal, kepopuleran romansa itu pun dipandang sebagai jalan pertemuan cinta keduanya, yang secara realita jurnalistik belum dibuktikan.

Jisoo sebagai salah satu member Blackpink pun memiliki peran penting menarik banyak animo penggemar oleh sebab serial tersebut. Tak ayal, kisah romantis yang menjadi khayalan penggemar itu membuat kepopuleran Blackpink semakin meningkat.

3. Konser adalah wujud tujuan refleksi ekonomi

Demam Blackpink di Stadion Gelora Bung Karno awal Maret lalu memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia memandang kebudayaan Korea sebagai salah satu tujuan ekonomis. Hal ini terutama didukung banyaknya tagar yang menuliskan Blackpink baik di Twitter, Instagram, Youtube, dan Facebook.

Tagar yang menjadi viral itu menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia, terutama kalangan millenial dan Gen-Z menjadikan konser Blackpink sebagai acuan hiburan masa kini. Tentu saja, acuan hiburan tersebut tidak bisa diperoleh oleh sembarang orang oleh sebab harga tiket konser tersebut dinilai cukup tinggi.

Dengan dibanderol mulai dari 1,38 Juta hingga 2,4 Juta Rupiah, tentu tidak semua orang di Indonesia mampu membeli tiket tersebut. Hal ini jika dilandasi pandangan penghasilan UMR sebagai acuannya.

Mengapa demikian? Gaji UMR terbesar di Indonesia terbesar berkisar 4,9 Juta Rupiah. Kota Jakarta menempati pemerolehan gaji UMR senilai tersebut. Kota-kota di sekitarnya juga memiliki nilai UMR yang setara atau di bawahnya. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang berasal dari provinsi lain? Harus berapa lama untuk menabung hingga memperoleh nilai satu tiket Blackpink paling murah.

Terlebih, masyarakat Indonesia kebanyakan, bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Apabila kebutuhan keluarga sudah terpenuhi, barulah hak asasi atas pembelian tiket tersebut mendapat pengabsahan secara konvensional.

Peristiwa semacam ini menghadirkan pandangan bahwa seseorang yang sudah mencapai suatu tahap kesuksesan baru bisa menonton konser Blackpink. Terlihat pula kalangan artis seperti Rachel Venya, Yuki Kato, dan beberapa artis penggemar hype Korea lainnya ikut hadir dalam konser tersebut.

Para pengikutnya di media sosial tentu tidak ingin ketinggalan mengikuti tren yang sudah dilakukan oleh para selebritis yang menjadi titik tolak kesuksesan itu. Alhasil, sebuah konser Blackpink telah menjadi refleksi kesuksesan ekonomi seseorang. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Hamdan Mukafi

Selamanya penulis