Esensi

GENERASI Z, PERLUKAH QUIET QUITTING?

Kalau lo selalu anxiety tiap ketemu hari Senin dan nggak siap menghadapi drama-drama pekerjaan, mungkin ada baiknya lo perlu mundur satu langkah dan mulai melakukan quiet quitting, Civs.

title

FROYONION.COM - Setelah lulus sekolah dengan bantuan orang tua, bisa menghidupi diri sendiri dari hasil bekerja adalah hal keren, apalagi jika lo sampai bisa membantu kebutuhan keluarga. Tentu semakin tinggi penghasilan, tantangan-tantangan yang datang dari lingkungan kerja pun makin beragam. Beban kerja yang berlebih, upah yang nggak sesuai, sampai teman kerja yang toksik akhirnya membuat lo jadi membatasi diri dalam bekerja untuk menghindari stres. Mau resign tapi nggak punya pilihan lain, akhirnya hanya bisa bertahan dengan kemampuan yang seadanya.

Belakangan fenomena ini sempat viral dan mendapat sorotan di TikTok dengan sebutan quiet quitting. Nggak seperti namanya, quiet quitting bukan berarti berhenti secara diam-diam. Namun, justru menjadi tindakan untuk melakukan pekerjaan secukupnya saja dan nggak melakukan hal lain di luar deskripsi pekerjaan tanpa diikuti penambahan upah. Ciri orang yang melakukan quiet quitting, seperti pulang tepat waktu dan nggak menerima perintah di luar jam kerja. Intinya sih agar punya work life balance.

Berbeda dengan orang zaman dulu yang mempunyai prinsip bahwa kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup bisa tercapai dengan bekerja keras, kaum milenial dan gen z malah punya prinsip dan motivasi yang berbeda dalam bekerja. Bagi kedua kaum ini, kebahagiaan dalam menjalani suatu pekerjaan justru menjadi hal yang lebih penting. Yang mereka cari dalam pekerjaan nggak melulu soal uang. Namun, kenyamanan dan keamanan, kesehatan, serta bagaimana perusahaan memperlakukan pekerjanya. 

BACA JUGA: STOIKISME: CEMAS HILANG, HIDUP TENANG

KENAPA ORANG-ORANG MELAKUKAN QUIET QUITTING?

Quiet quitting ternyata bisa menjadi indikasi bahwa seseorang nggak bahagia dengan pekerjaannya. Bisa karena upah yang nggak seimbang atau nggak kunjung mendapatkan promosi jabatan setelah bertahun-tahun mengabdi. Karena kurangnya keberanian mengambil resiko resign dengan tangan kosong, akhirnya quiet quitting pun dilakukan agar bisa tetap waras dan terhindar dari burn out.

Menurut Alodokter, burn out adalah kondisi stres berat yang dipicu oleh pekerjaan dan sering terjadi ketika lo memaksakan diri untuk bekerja apalagi dengan beban kerja yang cukup berat. Ciri awal yang bisa dikenali, yaitu sering merasa lelah, gampang marah, motivasi kerja menurun sampai jadi gampang sakit-sakitan. 

Burn out juga ternyata masih menjadi masalah utama yang dialami para kerja. Hal ini dibuktikan oleh flexjobs yang telah melakukan survey dan hasilnya ada sebanyak 75% orang yang mengalami burn out dan 40% nya mengaku keadaan ini diperparah dari efek pandemi. Karena semenjak pandemi dan mulai bekerja dari rumah, seringkali jam kerja malah lebih nggak terkontrol.

BACA JUGA: MENGATASI KRISIS IDENTITAS DENGAN KONSEP IKIGAI ALA JEPANG

PRO DAN KONTRA QUIET QUITTING

Walaupun quiet quitting mendapat tempat yang baik di kalangan pekerja. Namun, gerakan ini juga menimbulkan keresahan untuk pihak perusahaan. Seperti dalam video yang diunggah seorang HR tim, Jessica Hicks, ia menyebutkan bahwa karyawan yang melakukan quiet quitting nantinya akan sulit bersaing untuk mendapatkan pekerjaan karena mereka nggak mempunyai cukup kemampuan untuk ditawarkan.

Selain itu, ketika kondisi perusahaan sedang mengalami penurunan, para quitters ini bisa jadi orang pertama yang diberhentikan karena nggak memiliki kinerja yang dibutuhkan perusahaan. 

Dibalik keberadaannya yang menuai kontradiksi, di sisi lain quiet quitting juga bisa diterima karena mampu memberikan nilai positif terutama untuk kesehatan mental. Quiet quitting membantu lo untuk menerapkan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sehingga lo nggak hanya menghabiskan waktu untuk bekerja, tapi juga untuk melakukan hal seru lainnya, seperti kumpul-kumpul bareng teman, travelling, atau sekedar quality time bareng keluarga. 

Seperti yang pernah disebut oleh seorang psikolog, Lee Chambers, menurutnya mempunyai waktu yang berkualitas yang dihabiskan bersama teman atau keluarga adalah kunci utama untuk meningkatkan kesehatan mental. Jadi, selain bekerja sewajarnya, lo juga tetep punya work life balance yang membantu banget mengurangi kadar stres dari kerjaan.

BACA JUGA: TEGUH WICAKSONO: KERJA BOLEH PAKAI HATI, TAPI HARUS SIAP PATAH HATI

JADI, APAKAH LO PERLU MELAKUKAN QUIET QUITTING?

Nggak semua hal viral harus langsung lo ikuti, Civs. Ada beberapa poin yang perlu lo pertimbangkan sebelum melakukan quiet quitting. Pertama, mengapa lo ingin melakukan quiet quitting? Jika dilakukan hanya sebagai bentuk gerakan pasif agresif untuk menuntut kenaikan gaji, ada baiknya dibicarakan langsung dengan pihak HR atau dengan CEO. Toh kalau alasan lo masuk akal, bukan nggak mungkin mereka akan menyetujuinya dengan mudah. 

Kemudian, apakah pekerjaan lo saat ini cocok dengan prinsip quiet quitting? Misalnya, dalam bidang industri kreatif, rasanya quiet quitting nggak bisa sepenuhnya dilakukan. Jika lo hanya  mengerjakan tugas seadanya dan membatasi inovasi yang seharusnya bisa dilakukan, hal ini malah bisa memberikan kemunduran untuk perusahaan karena persaingan konten kreatif di luar sana sangat kuat, Civs. Kalau mau jadi yang biasa-biasa saja, bakalan gampang untuk terdepak.

Namun, jika lo masih ingin memberikan kontribusi terbaik untuk perusahaan sambil memperbaiki kualitas hidup, quiet quitting bisa menjadi pilihan yang tepat. Namun, setelah itu lo juga harus mengevaluasi, apakah ada manfaat yang signifikan setelah lo melakukan quiet quitting? Kalau jawabannya nihil, mungkin itu tandanya lo harus mulai mencari pekerjaan lain yang bisa membangkitkan kembali semangat lo dalam bekerja dan berkarya. 

Jadi, apakah lo perlu melakukan quiet quitting, Civs? (*/)

BACA JUGA: FROYONION ITU KANTOR APA SIH? KOK KELIHATANNYA MAIN DOANG, ENGGAK KERJA

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

E. Nur Badriah

Seorang taurus dan babu dari seekor kucing persia