
Apa benar orang yang memprioritaskan kesehatan mental adalah kaum dengan ‘mental tempe’? Simak penjelasannya di sini.
FROYONION.COM – ‘Mental tempe’, mungkin sebagian dari kalian udah tahu nih istilah yang satu ini. Jika belum, ternyata istilah mental tempe ini pertama kali dipopulerkan oleh Presiden Pertama kita, Ir. Soekarno.
Mental tempe sendiri telah dipopulerkan oleh Soekarno pada masa perjuangan dan orde lama. Istilah ini sering dikonotasikan sebagai keadaan yang terbelakang, mudah menyerah, dan tidak berdaya.
Kira-kira beginilah kalimat yang dilontarkan oleh Ir. Soekarno dalam pidato soal bangsa Indonesia ia menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bukanlah bangsa yang lembek seperti tempe.
“Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”
Dilansir dari Liputan6.com Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Komunikasi Guru IPS Nasional PGRI (FKG IPS Nasional PGRI), pada masa revolusi kata 'tempe' ini memang kerap diidentikkan dengan hal-hal negatif, seperti cengeng, mudah menyerah atau lembek.
BACA JUGA: 5 KONSEP KESEHATAN MENTAL ALA JEPANG UNTUK RUTINITAS YANG POSITIF
Maka sindiran layaknya pasukan tempe, mental tempe, atau pemuda kelas tempe menurut para pakar acap kali digunakan oleh beberapa orang untuk meledek mereka yang dianggap lemah dan lembek. Sampai sekarang pun istilah mental tempe ini juga masih populer dengan makna negatifnya.
Beberapa waktu lalu, viral seorang anak muda yang melabeli orang yang secure dengan mental health saat kerja punya mental yang disebut mental tempe.
Dalam kanal YouTube Timothy Ronald beropini bahwa anak muda zaman sekarang banyak yang dikit-dikit mencari kebahagiaan saat bekerja.
“Banyak anak muda baru kerja sedikit nyarinya kebahagiaan. Kalau kerja pada mikir kerjaan ini bisa bikin gue happy atau engga ya. Banyak orang dengan pemikiran sampah selama ini banyak orang yang mentalnya punya mental tempe dan gembel makanya mereka nggak kaya,” ujar Timothy Ronald.
Di komentar channel YouTube miliknya, banyak warganet yang setuju dengan perkataan Timothy Ronald. “Salut banget bang! Ini harus diberi ajar buat orang-orang tipe mental miskin. Aku kira generasi muda bakal hancur di masa depan, tapi ada pahlawan yang siap ngebobol lingkaran setan ini.” tulis salah satu subscriber Timothy Ronald.
Sebenarnya persoalan ini sedang jadi buah bibir dan kontroversi yang sedang hangat banget untuk dibahas. Banyak pro dan kontra soal isu yang satu ini.
Lantas, penting nggak sih mental health di tempat kerja? Ataukah benar kata Timothy Ronald bahwa kita nggak perlu peduliin kesehatan mental kita saat bekerja? Kalau lagi burnout disabarin aja yaaa… Begitulah kira-kira ilustrasinya.
Burnout merupakan kondisi stres kronis saat para pekerja merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional karena pekerjaannya. Burnout biasanya ditandai dengan tiga hal, pertama kelelahan fisik. Mereka yang mengalami burnout akan terus menerus merasa kekurangan energi dan merasa lelah sepanjang hari.
Menurut seorang profesor psikiater klinis dari New York University Langone School of Medicine, Charles Goldstein, menjelaskan bahwa otak manusia terhubung dengan sistem endokrin yang melepaskan hormon penting dan memiliki pengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Oleh sebab itu, ketika seseorang terdapat gangguan mental berarti secara biologis, terdapat kesalahan atau gangguan sistem kerja otak manusia itu sendiri.
Terganggunya cara kerja otak ternyata memiliki korelasi yang cukup erat dengan fakta yang dipublikasi oleh World Health Organization (WHO), tempat kerja yang buruk ternyata menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan.
BACA JUGA: MANA YANG LEBIH BAIK BAGI KESEHATAN FISIK DAN MENTAL, WFH ATAU WFO?
Pada kenyataannya, kesehatan mental itu perlu dan penting banget untuk didapatkan saat kamu bekerja karena berdasarkan penelitian dari WHO pada tahun 2019 diperkirakan 15% orang dewasa usia produktif mengalami gangguan jiwa akibat burnout di tempat kerja.
Dalam survei yang sama, secara global perusahaan mengalami kerugian sebesar US$ 1 triliun per tahun akibat hilangnya produktivitas dari karyawannya yang mengalami burnout. Tercatat 12 miliar hari kerja hilang setiap tahun karena depresi dan kecemasan tersebut.
Gosip di tempat kerja, rekan kerja yang toxic, tempat kerja yang sulit, politik kantor, bisnis yang tidak etis, tempat kerja yang buruk, rekan kerja yang buruk, perusahaan yang tidak jujur, manajer tidak mendengarkan merupakan alasan utama para pekerja untuk meninggalkan perusahaan.
Menurut penelitian MIT Sloan dilansir dari Forbes baru-baru ini, budaya kerja yang toxic adalah alasan nomor satu orang meninggalkan pekerjaan mereka.
Sementara itu, toksisitas ini juga datang dari berbagai hal misalnya saja, pelecehan seksual yang tidak hanya terbatas pada perempuan saja. Laki-laki pun bisa saja mendapatkan perlakukan tidak senonoh tersebut.
Tempat kerja toxic juga dapat berupa tempat kerja yang membayar dengan buruk, tidak mengakui atau menghargai kinerja yang luar biasa, memprioritaskan pelanggan daripada karyawan, tidak adanya career path atau jenjang karir, menolak suara karyawan, melanggar kepercayaan, atau mencegah karyawannya mengaburkan batas-batasan antara pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
Biasanya kalian lihat nggak orang yang suka emosian karena stress di tempat kerja. Di tanyain dikit aja langsung nyemprot dan marah-marah nggak jelas. Gak mau kan ya jadi kayak gitu?
Terganggunya kesehatan mental bisa mempengaruhi performa kerja dan produktivitas, hubungan antar rekan kerja, kemampuan fisik, dan sehari-hari seseorang baik di tempat kerja maupun rumahnya.
Kalau gini, bukannya, malah untung malah buntung, ada baiknya keduanya berjalan dengan seimbang. Perusahaan memberikan kenyamanan, maka secara otomatis karyawan pun akan bekerja secara maksimal juga.
Nah kalau kayak gini bukannya mental health karyawan sih yang perlu dipertanyakan namun sistem manajemen perusahaannya juga yang mesti diperbaiki.
Kalau begini siapa sih yang betah kerja dengan tekanan lingkungan kerja yang seperti itu?
BACA JUGA: BURNOUT: GEJALA DAN CARA MENGATASINYA BUAT ANAK MUDA KREATIF
Perlu kita pahami juga bahwa setiap orang punya batasnya masing-masing dalam hal ketahanan mental. Ada beberapa orang yang kuat dengan tekanan hingga bisa menghadapi dunia ini. Namun, ada orang-orang yang nggak sekuat itu, mereka perlu mati-matian untuk menjaga diri mereka sendiri agar tetap waras dan melanjutkan hidup.
Ada baiknya sebagai seorang manusia, empati juga perlu lho, kalau memang tidak memiliki empati yang tinggi tidak seharusnya menghina atau bahkan melabeli seseorang tersebut dengan label mental tempe hanya karena mereka memilih jalan untuk mementingkan kesehatan mental mereka di tempat kerja. (*/)