Design

STIGMA JELEK PRODUK LOKAL, KENAPA TETAP MELEKAT MESKI KUALITAS SUDAH BERSAING?

Merk-merk lokal sudah meningkatkan kualitas, branding sampai kemasannya. Tapi masyarakat kok masih banyak yang memilih produk luar, ya?

title

FROYONION.COM - Cintailah produk-produk dalam negeri. Sebuah jargon yang sudah lama kita dengar dan tetap digaungkan dari era Presiden terdahulu sampai yang terbaru. Tujuannya jelas, mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri sekaligus menciptakan rasa cinta tanah air.

Sejak dulu, produk luar negeri memang cenderung lebih disukai. Alasannya beragam, mulai dari kualitas yang dirasa lebih baik, kemasan lebih menarik, inovasi lebih canggih sampai dengan kemudahan untuk mendapatkan produk tersebut.

Sementara produk lokal di mata konsumen dinilai lebih mahal dengan kualitas di bawah produk luar, kemasannya kurang menarik, kurang inovatif dan hanya bisa didapatkan di tempat-tempat tertentu saja. 

Eits, tapi itu kan dulu. Produsen lokal jelas sudah banyak berbenah biar konsumen terdekatnya nggak pada lari. Inovasi demi inovasi juga terus dilakukan demi perbaikan produk dan layanannya. 

Kita bisa lihat dari beberapa merk lokal yang seringkali salah dikira sebagai merk asing karena tingginya kualitas dari produk yang dipasarkan. Bahkan, beberapa merk lokal juga turut membuka gerainya di luar negeri. Bukti kalau produk lokal sudah mulai mendunia dan bersaing dengan produk-produk luar.

Produk lokal juga udah menaikkan branding melalui strategi promosi jor-joran. Sebut saja mulai dari nongol di billboard Times New Square New York sampai menggaet bintang-bintang papan atas Korea Selatan sebagai brand ambassadornya.

BACA JUGA: 5 REKOMENDASI SKINCARE LOKAL YANG PAS DI KANTONG ANAK MUDA

Tapi, dengan semua improve dari segi kualitas produk, branding hingga layanan purna jual, nyatanya stigma jelek masih saja melekat pada produk lokal. Ini ada apa, sih, sebenernya?

Hmm, kalau dipikir-pikir, fenomena ini mungkin nggak lepas dari beberapa oknum local pride yang kelewat batas. Produsen lokal dengan bangganya menyebut produk mereka karya anak bangsa, kemudian produknya dibuat secara limited edition dan dijual dengan harga yang nggak masuk akal mahalnya. 

Apakah laris? Laris dong. Sold out dalam sekejap dan bikin orang-orang rela ngantri berjam-jam di depan tokonya bahkan jauh sebelum jam buka. Beberapa dari konsumen bahkan membeli produknya hanya untuk dijual kembali dengan harga yang lebih fantastis lagi dari harga jualnya (yang memang sudah fantastis itu). 

Okelah, barang limited edition sudah pasti harganya mahal. Tapi, beda ceritanya dengan barang limited edition yang dipasarkan dengan embel-embel “dukung karya anak bangsa” plus harga meroket. Gimana caranya mau dukung produk lokal kalau harganya di atas produk luar dan dalam satu kedipan mata udah nggak ada stoknya? 

Ada lagi oknum local pride yang terbilang anti kritik. Produk lokal itu nggak boleh dikritik walau jelas-jelas ada kekurangannya yang merugikan konsumen. Nggak boleh protes, pokoknya harus bangga sama buatan anak bangsa. Akhirnya, konsumen cuma bisa misuh-misuh sendiri. Ngedumel dalam hati.

Frasa local pride alias kebanggaan memakai produk lokal justru disalahgunakan untuk  memasang harga tinggi dengan kualitas produk yang ala kadarnya, lalu menutup telinga pada kritik dengan berlindung di balik kalimat “karya anak bangsa”. Kaum mendang-mending atau bukan, akan lebih memilih produk luar kalau begini caranya.

BACA JUGA: REKOMENDASI 4 BRAND LOKAL MENGUSUNG STYLE BLOKECORE

Tentu nggak semua produsen lokal bertingkah seperti ini. Cuma oknum, kok! Masih banyak produk lokal dengan harga sesuai kualitas dan nggak melulu jualan overpriced limited edition. Sayangnya, kelakuan beberapa oknum inilah yang akhirnya bikin para konsumen punya trust issue dengan produk lokal. 

Selain karena alasan di atas, hal lain yang membuat produk luar masih lebih digemari ketimbang produk lokal walau kualitasnya sudah bersaing adalah karena faktor kenyamanan. Kalau udah terlanjur nyaman emang susah sih Civs, bakal susah berpaling ke lain hati. 

Misalnya nih untuk produk perawatan kulit. Orang-orang dengan kulit sensitif yang sudah cocok dengan satu merk tertentu bakal memilih untuk tetap menggunakan merk yang sama daripada coba-coba merk lain. Kalau ternyata cocoknya sama merk luar, ya merk luar itulah yang akan terus dipakainya.

Nah, kalau begini kasusnya, nggak akan ngaruh mau sebagus apapun kualitas, branding dan kemasan produk lokal yang ada. Produk luar yang sudah terbukti cocok itulah yang akan terus dikonsumsi. 

Konsumen yang lebih memilih untuk menggunakan produk luar ketimbang produk lokal dengan alasan ini bisa jadi nggak punya pandangan negatif untuk produk lokal. Mereka memilih menggunakan produk luar murni karena faktor kenyamanan dan kecocokan semata. 

BACA JUGA: EKOSISTEM, KUNCI AGAR BRAND LOKAL INDONESIA BISA DIAKUI DUNIA

Mengubah stigma negatif yang keburu menempel memang bukan hal mudah, tapi bukan berarti nggak mungkin juga. Yakin kok, dari segi kualitas produk, buatan lokal itu banyak yang sama bagusnya dengan made in luar negeri. Tapi, produk lokal memang masih punya PR buat menarik minat konsumen dalam negeri. 

Termasuk di dalamnya adalah memperbaki cara komunikasi dengan konsumennya. branding, misalnya produk perawatan kulit yang masih sering menggunakan kata whitening. Padahal, orang-orang zaman sekarang sudah mulai menggaungkan kampanye bahwa cantik itu nggak harus putih. 

Produsen lokal juga harus berani menerima kritik membangun dan nggak semata jualan jargon “karya anak bangsa”. Apalagi cuma jualan brand tanpa memperhatikan kualitasnya. Jangan sampai konsumen dalam negeri yang sudah niat mau mendukung produk lokal malah terhalang alasan-alasan yang sebenarnya sepele itu. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Tri Utami

Sometimes I write, most of the time I read