Trends

MENENGOK CARA FAMILY MART HADAPI BOIKOT DI MASA KRISIS

Aksi boikot produk Israel membuat konsumen jadi enggan membeli sejumlah produk. Aksi ini juga terjadi pada FamilyMart. Gimana ya kira-kira cara perusahaan ini menghadapi boikot itu?

title

FROYONION.COM - Seruan solidaritas atas gempuran Israel ke Palestina yang terus menguat menimbulkan aksi boikot berkepanjangan terhadap berbagai produk ataupun lini bisnis yang dinilai terafiliasi dengan mereka. Banyak perusahaan waralaba hingga makanan cepat saji yang merugi secara signifikan. 

Aksi boikot itu kini seolah menjadi momok terbesar bagi para pelaku usaha global. Bukan cuma kepada pemilik usaha saja, tapi mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan target boikot itu pun juga jadi was-was. 

Bisnis yang tidak berjalan dengan baik sangat mungkin mempengaruhi kestabilan kerja mereka. Entah PHK secara massal, pengurangan benefit atau manfaat kerja, hingga berbagai kasus lainnya bisa saja terjadi buat mereka. 

BACA JUGA: APAKAH BRAND INDONESIA HARUS BERSIKAP TERHADAP KONFLIK ISRAEL-PALESTINA?

Nah, seperti disebutkan di atas, ancaman boikot teranyar juga terjadi bukan cuma ke perusahaan-perusahaan barat doang nih. 

Salah satu jaringan waralaba asal Jepang, Family Mart juga belakangan kena getahnya. Usut punya usut, induk usaha FamilyMart, Itochu Corp sebenarnya punya hubungan bisnis dengan perusahaan senjata milik swasta terbesar di Israel, Elbit Systems Ltd. 

Kerja sama strategis itu diteken oleh Itochu Aviation, Elbit Systems, dan Nippon Aircraft Supply (NAS) pada Maret 2023 atau tujuh bulan sebelum agresi brutal Israel ke Gaza. Atas hal tersebut, seruan boikot pun mencuat. 

Tapi beda dengan kasus-kasus boikot yang lain, aksi gercep FamilyMart buat menanggulangi boikot ini bisa dibilang luar biasa. Cuma berselang beberapa hari, Itochu Corp langsung mengumumkan kalau pihaknya akan memutus hubungan kerja sama dengan perusahaan senjata asal Israel tersebut. 

BACA JUGA: INDUSTRI MUSIK INDONESIA DONASIKAN 470 JUTA RUPIAH KE PALESTINA

"Kemitraan ini didasarkan pada permintaan dari Kementerian Pertahanan Jepang dengan tujuan impor alat pertahanan untuk Pasukan Bela Diri yang diperlukan untuk keamanan Jepang, sehingga sama sekali tidak terkait dengan konflik saat ini antara Israel dan Palestina,” kata Direktur keuangan Itochu Tsuyoshi Hachimura dalam klasifikasinya, dikutip dari Reuters, Senin (12/2).

Dengan mempertimbangkan perintah Mahkamah Internasional pada 26 Januari dan pemerintah Jepang juga mendukung peran pengadilan, maka kami telah menangguhkan kegiatan baru terkait MoU tersebut, dan berencana untuk mengakhiri MoU pada akhir Februari," tambahnya.

Kalau kita merujuk pada pernyataan resmi itu, aksi pemutusan MoU bakal dilakukan juga setelah International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional memerintahkan Israel menyetop genosida terhadap warga Palestina. Jadinya kerja sama strategis itu seharusnya sudah benar-benar terhenti pada akhir Februari nanti. 

Dengan gerak cepat itu, apakah kira-kira kemarahan publik terhadap pusat waralaba tersebut akan benar-benar teratasi dan akhirnya tidak terlalu terpengaruh dengan seruan boikot yang ramai diperbincangkan? 

BAGAIMANA BRAND MENGHADAPI BOIKOT? 

Bukan cuma FamilyMart doang yang menghadapi masalah boikot ketika menjalankan bisnis. Khususnya ketika invasi Israel ke Gaza dilakukan dengan berbagai aksi kekerasan dan tidak manusiawi. 

Kita bisa belajar dari banyak brand yang pada akhirnya jadi target kemarahan publik sehingga bisnis-bisnisnya menjadi tidak stabil. 

Grab, menjadi salah satu kasus di mana mungkin brand bukan hanya harus memperhatikan arah kebijakan perusahaan saja ketika menjalankan bisnis. 

Dalam kasus ini, istri dari founder Grab Anthony Tan, Chloe Tong membuat perusahaan sang suami diamuk publik karena dirinya secara terang-terangan menyatakan kesedihan atas kondisi Israel. 

Framing dan dugaan Chloe sebagai seorang Pro Israel pun tak terhindarkan. Walhasil, Grab juga kena getahnya. 

BACA JUGA: PERJUANGAN STARTUP TEKNOLOGI UKRAINA BERTAHAN DI TENGAH SERANGAN RUSIA

Tak lama setelah postingan itu viral, baik Grab Malaysia, Indonesia, atau Chloe Tong langsung memberikan klarifikasi. 

Dalam klasifikasinya itu, Grab menegaskan pendiriannya sebagai perusahaan yang pro kemanusiaan dan turut melakukan berbagai upaya untuk mendukung gencatan senjata. 

Mereka pun menegaskan diri sebagai bagian dari United National Global Compact (UNGC) yang tidak mendukung bentuk kekerasan apapun. 

Lantas apakah itu efektif? Nyatanya api sudah menjalar, kemarahan publik yang menilai Chloe Tang kurang bersimpati terus mencuat meski sudah diiringi klarifikasi. 

Di masa krisis seperti ini, penting bagi brand atau mereka-mereka yang tergabung di dalamnya juga untuk mengedepankan empati secara mendalam. 

BACA JUGA: 4 BRAND YANG ‘BANTING SETIR’ DAN MENGUBAH HALUAN BISNISNYA

Bukan cuma Grab, kasus boikot juga terjadi kepada raksasa produsen produk rumah tangga, Unilever. Bahkan gara-gara boikot sepanjang 2023 ini, Unilever melaporkan penurunan penjualan hingga 15 persen pada kuartal terakhir 2023. 

Padahal, banyak cara yang sudah dilakukan Unilever untuk meredakan aksi boikot terhadap produk-produknya. Mulai dari memberikan klarifikasi dan pernyataan tegas tidak terkait dengan Israel sama sekali. Kemudian, mereka pun sempat menyampaikan keprihatinannya atas konflik yang terus terjadi bahkan mengganggu kelangsungan hidup warga tak bersalah. 

Unilever pun sempat mengatakan bakal memberikan bantuan kemanusiaan untuk membantu pihak-pihak yang terdampak krisis. 

SEJARAH AKSI BOIKOT DI EROPA

Mungkin yang menjadi pertanyaan, ide siapa sebenarnya melakukan gerakan boikot terhadap suatu produk atau afiliasi pihak tertentu, dalam kasus ini Israel. 

Nah, yang harus dipahami sebenarnya boikot itu bukan cuma terjadi belakangan setelah perang Israel dan Hamas mencuat. Jauh sebelum itu, pemboikotan sudah pernah terjadi. 

Istilah boikot ini sendiri dipopulerkan oleh Charles Stewart Parnell selama masa agitasi tanah di Irlandia pada 1880 lalu. Masyarakat kala itu sering memprotes tingginya harga dan pengurusan tanah. Banyak yang menilai kalau sistem perkebunan di wilayah tersebut tidak adil. 

Makanya, Parnell berkongsi dengan masyarakat untuk secara efektif mengucilkan bisnis dari manajer perkebunan Inggris kala itu, Charles Cunningham Boycott. Hmm, makanya mungkin seruan tersebut dikenal sebagai boikot sekarang ini ya. 

BACA JUGA: SEJUMLAH BRAND YANG DIKIRA KOMPETITOR PADAHAL BERSAUDARA

Bukan cuma populer di Eropa, aksi boikot ini juga menjadi salah satu senjata andalan bagi masyarakat di beberapa negara bagian AS yang menolak sesuatu. 

Boikot ini sendiri dilakukan secara berkelompok untuk menunjukkan ketidaksetujuan, aksinya pun bisa dilakukan secara beraneka ragam. 

Kalau mereka yang punya akses terhadap kebijakan, bisa melakukan veto di forum-forum resmi kenegaraan. Tapi kalau dilakukan secara kolektif oleh suatu masyarakat, seringkali perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan penolakan tersebut yang menjadi sasaran empuknya.

Jadi, apakah ada formula khusus yang paling tepat untuk menghadapi kemarahan publik ini? Sebenarnya komunikasi menjadi kunci paling utama. 

BACA JUGA: SEBERAPA BANYAK PENGARUH BARANG BRANDED PADA KARIERMU?

Selain itu, harus disadari juga kalau krisis tidak bisa diatasi dengan sekejap saja. Perlu proses panjang untuk akhirnya meyakinkan publik dan meredakan kemarahan mereka. 

Menurut Crisis Communication Researcher, Timothy Coombs setidaknya ada tiga tahap untuk bisa menghadapi krisis dengan tepat. Pertama, sebelum krisis terjadi, kita harus bisa deteksi sinyal bahaya, lalu coba cegah, dan siapin diri menghadapi krisis yang mungkin datang. 

Kedua, saat krisis datang, kita harus tunjukin kalo ini beneran krisis, lalu tanggapi dengan koordinasi yang baik. Ketiga, setelah krisis mereda, kita harus siap menghadapi krisis berikutnya, pastikan semua orang puas dengan penanganan krisis, dan pastiin krisis udah bener-bener berakhir. Nah, di tahap ini, manajer organisasi perlu belajar dari pengalaman krisis, dan pantengin isu-isu yang mungkin timbul dari krisis tersebut. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Michael Josua

Cuma mantan wartawan yang sekarang hijrah jadi pekerja kantoran, suka motret sama nulis. Udah itu aja, sih!