Trends

GUNUNG PADANG DINOBATKAN SEBAGAI PIRAMIDA TERTUA DI DUNIA, MENUAI PRO DAN KONTRA

Siapa yang sangka kalau Gunung Padang yang terletak di Kota Bandung ini kini jadi pusat perdebatan dunia, yang diklaim sebagai salah satu piramida tertua di dunia. Kok bisa? Ayo kita bahas!

title

FROYONION.COM  Gunung Padang, sebuah bukit yang dihiasi teras-teras batu di sudut pegunungan Indonesia, telah menjadi sorotan kontroversi dan perdebatan sengit dalam beberapa tahun terakhir.

Tempat ini menjadi pusat perhatian karena klaim bahwa lapisan terdalamnya mungkin merupakan “piramida tertua di dunia” yang dapat membuka lembaran baru dalam sejarah peradaban manusia.

KOK BISA GUNUNG AGUNG JADI YANG TERTUA?

Gunung Padang yang penuh kontroversial ini terletak dekat Kota Bandung di pulau Jawa, Indonesia.

Gunung ini pada mulanya, hanya digunakan oleh warga sekitar untuk menjadi tempat ritual bagi masyarakat yang datang dari seluruh negeri khususnya dalam mengadakan upacara Islam dan Hindu.

Namun, sejak awal tahun 1980-an, penggalian di Gunung Padang dimulai dan malah membuka tabir pintu untuk perdebatan yang menggemparkan bukan hanya di Tanah Air tapi juga di dunia.

Para arkeolog awalnya menyatakan bahwa bukit tersebut adalah gunung berapi yang tidak aktif, dan artefak seperti keramik menunjukkan aktivitas manusia di sana selama berabad-abad.

Namun, sejumlah individu, termasuk ahli geologi gempa, menyuarakan pandangan bahwa Gunung Padang mungkin menjadi bukti peradaban kuno yang belum terungkap.

BACA JUGA: ALASAN ORANG DOYAN BERGOSIP, SEJAUH MANA KITA BISA MENAHAN DIRI?

Menurut Danny Hilman, Gunung Padang bukanlah bukit alami, melainkan struktur berbentuk piramida dengan lapisan berbeda.

Lapisan paling atas, yang terdiri dari tanah dan tumbuh-tumbuhan, memiliki usia sekitar 1.000-2.000 tahun sebelum Masehi. Lapisan kedua terdiri dari tumpukan pecahan batuan kolom berusia 5.000-6.000 tahun sebelum Masehi. Sedangkan lapisan ketiga, yang tertua, memiliki usia sekitar 16.000-27.000 tahun sebelum Masehi.

Menurut Hilman, lapisan ketiga ini terdiri dari batuan lapuk, tanah liat, butiran kerikil, dan batuan vulkanik yang tidak teridentifikasi. Ada juga batuan yang mengandung batuan kolom yang sangat lapuk berbentuk pilar vertikal.

Ia menyatakan bahwa usia yang begitu lama pada lapisan terakhir menimbulkan dugaan bahwa bangunan ini mungkin terkait dengan bencana seperti banjir besar atau kepunahan massal dilansir dari Atlas Obscura dari jurnal fenomenal Archaeological Prospection yang diterbitkan oleh Danny Hilman Natawidjaja.

Setelah bencana tersebut, lanjutnya, lapisan kedua dibangun dengan cara menimbun terlebih dahulu konstruksi pertama.

Di inti piramida, tim peneliti menemukan struktur batu lava yang mereka gambarkan sebagai ‘dipahat dengan cermat’ dan ‘masif’ terbuat dari andesit, sebuah jenis batuan beku berbutir halus.

Dengan merujuk pada konstruksi dan pahatan bebatuan, tim peneliti meyakini bahwa situs ini telah ada sejak Zaman Es periode terakhir.

Temuan ini menantang keyakinan konvensional bahwa peradaban manusia dan teknik konstruksi canggih berkembang selama periode awal Holosen atau awal Neolitikum.

Mereka menyimpulkan bahwa pembuat lapisan ketiga dan kedua di Gunung Padang harus memiliki kemampuan tukang batu yang luar biasa, yang tidak sesuai dengan budaya pemburu dan peramu tradisional.

DIWARNAI PERDEBATAN SENGIT

Puncak kontroversi muncul ketika penelitian yang dipimpin oleh ahli geologi gempa, Danny Hilman Natawidjaja, menyatakan bahwa lapisan terdalam Gunung Padang mungkin telah "dipahat" oleh manusia hingga 27.000 tahun yang lalu.

Dalam jurnal ilmiah Archaeological Prospection, tertulis bahwa dia beserta tim sudah melakukan survei terpadu di Gunung Padang selama tiga tahun, sejak November 2011 hingga Oktober 2014.

Beberapa metode survei termasuk melakukan pemetaan lanskap dan permukaan situs, pengeboran inti, pembuatan parit, dan penerapan teknik geofisika terpadu. Teknik ini melibatkan penggunaan metode Tomografi Resistivitas Listrik (ERT) dalam format dua dimensi dan tiga dimensi, serta pemanfaatan Radar Tembus Tanah (GPR).

Penelitian ini sebenarnya sempat dihentikan pendanaannya oleh Presiden Jokowi setelah ia menjabat pada tahun 2014. Tak gentar ia kemudian mempublikasikan temuannya tersebut dalam edisi terbaru Archaeological Prospection yang belakangan ini menuai perdebatan publik.

“Saya baru saja mengalihkan topik pembicaraan dari sesar aktif ke piramida,” katanya dikutip dari The New York Times oleh Froyonion, Selasa 23 Januari 2023.

Meski begitu menakjubkan, klaim bahwa Gunung Padang bisa menjadi piramida tertua di dunia menuai ketidaksetujuan dari kalangan arkeolog dan ilmuwan.

Para kritikus menyoroti kelemahan metodologi penelitian ini, termasuk penggunaan penanggalan radiokarbon pada tanah dari sampel pengeboran tanpa bukti fisik lain yang mendukung.

BACA JUGA: MEMBICARAKAN ADU NASIB ANTARA MILENIAL DENGAN GEN Z YANG TIADA HABISNYA

Mereka menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki tradisi pembangunan piramida, dan manusia pada era Paleolitikum diyakini tidak mampu membangun struktur semacam itu.

Para kritikus menyoroti kelemahan metodologi penelitian ini, termasuk penggunaan penanggalan radiokarbon pada tanah dari sampel pengeboran tanpa bukti fisik lain yang mendukung.

Mereka menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki tradisi pembangunan piramida, dan manusia pada era Paleolitikum diyakini tidak mampu membangun struktur semacam itu.

Kontroversi Gunung Padang menyebar ke tingkat internasional melalui serial dokumenter Netflix berjudul "Ancient Apocalypse."

Episode yang mencakup penelitian Gunung Padang ini memicu perselisihan mengenai pertanyaan etika, sains, dan sejarah kuno.

Sebuah artikel ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional pada Oktober 2022 semakin memperdalam perdebatan ini.

Beberapa arkeolog menyuarakan keraguan mereka terbuka, menyatakan bahwa penelitian ini mungkin tidak layak untuk dipublikasikan.

Beberapa arkeolog mengkritik penelitian ini dengan mengemukakan bahwa masalah utamanya terletak pada metode penanggalan keberadaan manusia di Gunung Padang. Penanggalan tersebut didasarkan pada pengukuran radiokarbon tanah dari sampel pengeboran, bukan berdasarkan artefak yang ditemukan di situs tersebut.

Arkeolog Rebecca Bradley, dalam kritiknya pada tahun 2016 terhadap temuan awal Natawidjaja, menekankan bahwa penanggalan radiokarbon bukanlah solusi ajaib, dan perlu berhati-hati dalam penafsirannya.

Menurutnya, penelitian baru Natawidjaja hanya merupakan “rekapitulasi yang lebih terorganisir” dari temuan sebelumnya.

Selain itu, Arkeolog Tan dari Bangkok menyatakan bahwa upaya penelitian ini untuk mengaitkan usia tanah dengan aktivitas manusia merupakan “kekeliruan logika terbesar.”

Dia menegaskan bahwa usia tanah yang semakin tua pada lapisan yang lebih dalam adalah hal yang wajar, tetapi usia tanah yang semakin tua tidak berarti tanah tersebut terkait dengan aktivitas konstruksi seperti pembuatan piramida.

Sementara itu, Mai Lin Tjoa-Bonatz, seorang arkeolog yang melakukan penelitian di Indonesia, menyatakan bahwa keramik dan bukti dari lapisan atas Gunung Padang menunjukkan bahwa manusia telah ada di sana sejak abad ke-12 atau ke-13. Mereka membangun struktur di atas formasi batuan alam, bukan menciptakan piramida seperti yang diusulkan oleh penelitian kontroversial ini.

Tak jauh berbeda, Harry Truman Simanjuntak, arkeolog Indonesia, menambahkan bahwa klaim piramida dalam penelitian tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Menurutnya, selalu ada ilmuwan yang mempraktikkan pseudosains, mencari ilmu yang tidak didasarkan pada data yang solid.

Dalam menghadapi kritik, penulis utama studi, Danny Hilman Natawidjaja, membela temuannya. Pendukung klaim ini termasuk jurnalis Inggris Graham Hancock, yang menekankan perlunya keterbukaan terhadap teori-teori yang menentang norma akademis.

Hancock menyatakan bahwa model arkeologi yang kaku perlu diperbarui agar dapat merangkul potensi penemuan yang mencengangkan.

Sejumlah ahli arkeologi dan ilmuwan meragukan klaim bahwa Gunung Padang adalah piramida tertua di dunia.

Mereka menunjukkan pentingnya metode penelitian yang tepat dan bukti fisik yang kuat untuk mendukung klaim sebesar ini. Beberapa arkeolog bahkan menyatakan bahwa klaim ini mungkin lebih bersifat ilusi dan pseudosains daripada temuan ilmiah yang sah.

BUTUH PENELITIAN DALAM INVESTIGASI LEBIH LANJUT

Seiring kontroversi terus berlanjut, penerbit jurnal ilmiah melakukan penyelidikan internal terhadap penelitian Gunung Padang. Ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang sains, etika, dan integritas penelitian arkeologi.

Sementara itu, Gunung Padang tetap menjadi titik fokus diskusi tentang sejarah kuno dan keabsahan temuan arkeologis di Indonesia.

BACA JUGA: BELAJAR UNTUK HIDUP SECUKUPNYA SEPERTI MASYARAKAT BADUY

Sejumlah arkeolog, seperti Harry Truman Simanjuntak, menyatakan bahwa klaim piramida pada penelitian tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan mencurigakan. Mereka menyoroti bahwa penggunaan penanggalan radiokarbon pada tanah, bukan pada artefak di situs tersebut, dapat menimbulkan keraguan terhadap validitas klaim tersebut.

Seiring dengan kontroversi ini, sebuah surat terbuka dari Society for American Archaeology ditujukan kepada Netflix dan perusahaan produksi acara ‘Ancient Apocalypse,” menuduh bahwa serial tersebut merendahkan nilai profesi arkeologi dan menyebarkan klaim palsu.

Meskipun demikian, Graham Hancock dan pendukung teori-teori alternatif berpendapat bahwa para arkeolog harus lebih terbuka terhadap interpretasi baru dan mungkin menantang norma-norma yang ada.

Kontroversi seputar Gunung Padang terus menarik perhatian publik dan menggugah pertanyaan-pertanyaan penting tentang metodologi penelitian arkeologi, integritas ilmiah, dan keterbukaan terhadap teori-teori alternatif.

Apakah Gunung Padang benar-benar menyimpan rahasia piramida kuno ataukah ini lebih merupakan ilusi dan klaim tanpa dasar, masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan.

Sementara itu, saat ini penelitian yang lebih mendalam dari komunitas ilmiah terus mengevaluasi keabsahan temuan ini, publik di Indonesia dan di seluruh dunia tetap tertarik pada misteri Gunung Padang.

Pertanyaan tentang sejarah manusia, peradaban kuno, dan misteri arkeologi tetap menjadi bagian integral dari diskusi ini.

Hanya waktu yang akan memberikan jawaban apakah Gunung Padang benar-benar mengubah pandangan kita terhadap sejarah dunia ataukah hanya menjadi salah satu episode kontroversi dalam dunia arkeologi modern. Kalau menurut kamu gimana nih? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis