Esensi

BELAJAR UNTUK HIDUP SECUKUPNYA SEPERTI MASYARAKAT BADUY

Masyarakat Baduy tidak melakukan scrolling reels Instagram dan overthinking sebelum tidur. Tradisi hidup secukupnya oleh masyarakat Baduy membuat mereka sehat, baik jasmani maupun rohani.

title

FROYONION.COM - “Jangan hanya jadi konten, yuk terapkan gaya hidup secukupnya masyarakat Baduy di kehidupan sehari-hari!”

Kamu belum sah menginjakkan kaki di Baduy kalau belum melakukan 6 hal ini adalah judul artikel yang saya buat di tahun 2016 untuk website Damn! I Love Indonesia.

Soramein medsos-mu dengan enam spot foto paling cihuuuy di Baduy … cekidot … adalah kalimat lain yang mengantarkan ke poin-poin khas artikel online masa kini.

Saya tertawa geli ketika membaca file lama tersebut.

“Aku kok cetek banget ya dulu…”

Enggak cuma dulu sih, sampai sekarang saya masih melakukan hal-hal yang dangkal dengan menulis artikel dengan judul-judul bombastis,  berharap bisa viral dan dibaca banyak orang.

Dari hasil konten-konten clickbait tersebut orang-orang akan tergugah untuk datang ke Baduy setelah melihat video Baduy yang FYP di TikTok atau media sosial lainnya. 

Berawal dari penasaran, kemudian datang, merasai kehidupan di sana selama semalam, mengabadikan. Lalu pulang untuk kembali lagi pada kebiasaan yang lama.

Kang Sarpin selaku perangkat desa Kanekes yang membawahi Baduy Luar dan Baduy Dalam mengiyakan, kalau semenjak era media sosial semakin menggila seperti sekarang, tingkat kunjungan wisatawan ke Baduy kian meningkat.

“Kalau dulu era tahun 90-an atau 2000-an awal yang biasanya datang ke Baduy itu adalah anak-anak sekolah atau kampus yang memang datang untuk pendidikan budaya, tapi sekarang lebih banyak untuk wisata,” jelas Kang Sarpin.

Baduy
Kehidupan masyarakat Baduy sehari-hari lekat dengan alam di sekitarnya. (Foto: Ester Pandiangan)

BACA JUGA: MENGATASI KRISIS IDENTITAS DENGAN KONSEP IKIGAI ALA JEPANG

Di tahun 2023 ini, saya sudah tiga kali datang ke Baduy Dalam, tepatnya di Desa Cibeo. Saya menggunakan provider travel yang berbeda: Wisuba dan Wuki Travel. Selain dua provider travel tadi, ada juga provider lain seperti Explorer, Tukang Jalan, Jejak Baduy, Backpacker Indonesia, dan lain-lain. 

Kalau menurut Arif sebagai tour guide dari Wisuba, hampir setiap weekend mereka menerima 100-an peserta trip ke Baduy. Sedangkan dari Wuki Travel, rata-rata peserta 14-15 dan bisa lebih banyak di masa libur panjang.

Rata-rata provider menyediakan jasa dokumentasi yang dibagikan setelah tur selesai; sesuatu yang ditunggu-tunggu peserta supaya bisa diunggah di media sosial masing-masing. Ada harapan setelah video atau foto diunggah akan mendapat atensi atau apresiasi dari netizen online. 

Dari dulu hingga sekarang, manusia kota masih tetap menjadikan tujuan wisata sebagai obyek pencapaian. Entah itu untuk branding diri “ramah lingkungan” atau mendulang likes di media sosialnya.

KENAPA BERKUNJUNG KE BADUY?

Kalian ngerasa nggak sih pernah melakukan suatu hal untuk merasa diri lebih baik?

“Aku mau puasa megang gadget…”

“Mau kembali ngobrol dengan orang-orang…” Lha ngobrol saja kok harus ke Baduy? 

Ya iyalah, kita kan kalau ketemu dengan teman atau di rumah sekalipun dengan keluarga, handphone itu selalu di tangan. Enggak benar-benar mengobrol.

“Untuk bikin konten…”

“Cari keringat…” soalnya trekking ke Baduy Dalam memang lumayan, 4-5 jam kalau via Ciboleger.

Saya sendiri apa yang saya lakukan di Baduy?

Saya suka dengan sensasi melepaskan diri dari atribut-atribut perkotaan.

Saya dinilai dari pekerjaan saya. Apa yang saya kenakan. Kendaraan yang saya gunakan. Di mana saya makan. Cara saya berbicara. Dengan siapa saya bergaul. 

Ketika berada di Baduy Dalam, saya terlepas dari identitas yang disematkan oleh masyarakat kota.

BACA JUGA: MERAKI: MENEMUKAN MAKNA DAN KEBAHAGIAAN DALAM PEKERJAAN DAN KEHIDUPAN

Ada persiapan transisi yang saya rasakan setiap kali menginjakkan kaki di Stasiun Rangkasbitung setelah dari Baduy. Kesiapan untuk kembali ke modernitas dan menjadi seperti yang manusia-manusia kota lekatkan.

“Aku banyak belajar dari masyarakat Baduy dan berusaha mengimplementasikannya ke kehidupan sehari-hari,” cerita Morgan, yang sudah membawa trip ke Baduy sejak 2015.  

Hal paling mendasar dan berkesan yang Morgan dapatkan selama 8 tahun menjadi guide ke Baduy adalah filosofi mencukupkan diri. 

“Mau beli sesuatu itu sekarang mikir, apakah memang beneran butuh atau sekadar pengin atau pengin terlihat keren di depan orang…” tambah Morgan.

TOUR BADUY
Perjalanan ke wilayah Baduy Luar bersama tour guide dan peserta tour lainnya. (Foto: Ester Pandiangan)

Bener juga! Di Baduy atau masyarakat adat lainnya, mereka tidak mengenal konsep paylater, pinjol, atau kredit lainnya. Karena tidak ada yang dipaksakan atau dilebihkan dari kebutuhan sehari-hari.

Dulu sekali, masyarakat Baduy bergantung pada hasil ladang untuk makan dan mencukupi kebutuhan hidup. 

Luas wilayah Desa Kanekes adalah 5136,58 hektar.  Dari keseluruhan wilayah tersebut lahan dibagi sesuai dengan kebutuhannya. 

Ada untuk wilayah tinggal, berladang, hutan lindung, dan area lainnya. Pembagian ini diberlakukan supaya masyarakat adat atau orang luar tidak melakukan penggunaan lahan secara berlebihan.  

Buat masyarakat adat Baduy, interaksi dengan alam adalah keseimbangan yang perlu dijaga.  Segala sesuatu yang mereka gunakan dan lakukan diperhitungkan betul, sesuai dengan ketersediaan di alam dan sekitar. 

Misalnya pembangunan rumah dari kayu pohon, begitu juga atap rumah. Konsep membangun rumah masyarakat Baduy juga tidak menggunakan paku dan palu, melainkan seperti puzzle yang dicocokkan dan dipaskan. 

Cara membangun yang demikian membuat rumah lebih mudah dipindahkan, diperbaiki, dan lebih praktis. Selain itu, waktu membangun rumah juga tidak sembarangan. Harus ditentukan oleh tetua adat, kemudian dirembukkan, dan dibangun secara gotong-royong. 

BACA JUGA: WABI-SABI, KONSEP HIDUP TENANG BUAT ANAK MUDA YANG CEMAS

Walaupun sekarang ini cara masyarakat Baduy menafkahi hidup sudah mengalami transisi, tapi konsep-konsep inti seperti menjaga hutan adat dan keseimbangan alam masih melekat erat. Tanpa itu masyarakat adat Baduy akan kehilangan identitasnya.

Selain arsitektur yang menerapkan sustainable living, masyarakat adat Baduy juga tidak punya kebutuhan fashion. Baju yang mereka kenakan putih hitam untuk Baduy Dalam sedangkan Baduy Luar didominasi oleh warna biru. 

Tidak ada model yang aneh-aneh, seperti crop top atau corkcicle sebagai botol minuman. Mengejar antrean membeli iphone seri terbaru atau war ticket Coldplay.

Hidup tenang sekali kan, ketika tidak ada yang perlu dikejar dan mengesankan orang lain supaya dianggap ada atau berhasil?  

SEHAT YANG TIDAK PERLU MAHAL

Baru-baru ini saya bertemu dengan teman lama yang mengaku pangling melihat saya, karena menurutnya, saya jauh lebih besar ketimbang terakhir ketemu. 

Merasa terintimidasi, saya mengecek price list kelas Bikram Yoga yang dulu sekali saya ikuti. Harga kelas unlimited perbulannya adalah Rp2.700.000.

Kalau kamu mengunjungi Baduy, hampir tidak ada orang Baduy yang mengalami kelebihan berat badan. Terlepas dari genetik, kebiasaan dan gaya hidup masyarakat Baduy memang mendukung untuk mereka slim, lean, and healthy.

Sejak kecil, anak-anak Baduy sudah terbiasa untuk trekking (istilah orang kota—red) dari Baduy Dalam ke luar (Ciboleger atau Cijahe). Jarak dari Cibeo ke Ciboleger kurang lebih 9 km. 

Treknya pun tidak hanya datar, melainkan perbukitan. Medan yang demikian sudah biasa dilalui oleh anak-anak Baduy. Selain membawa tamu, mereka juga punya kebiasaan rutin ke ladang.

Tidak ada ojek onlinejunk food, boba, all you can eat, kopi susu gula aren, serta hal-hal khas kota besar lainnya. Yah, tidak heran kalau masyarakat Baduy sehat dan bugar. Kulitnya cokelat terang bersih tanpa ada noda bekas jerawat. 

Mata mereka lebih sehat karena tidak ada ritual nonton marathon atau scrolling reels tengah malam. Tidak ada overthinking juga yang memicu insomnia. Hidup berjalan lambat di Baduy. 

Tidak ada ghosting atau pesan yang tidak berbalas. Kalau mau urusan beres dan kebutuhan berjalan tanpa gangguan, ya menepati janji. Tidak ada cancel di menit terakhir.

ALAM BADUY
Alam wilayah Baduy Luar yang masih hijau dan asri. (Foto: Ester Pandiangan)

Hidup yang demikian memang sangat ideal. Namun, untuk mempraktikkannya, 100 persen sangatlah utopis. Tidak dipungkiri, bahkan sekelas masyarakat adat Baduy juga mengalami perubahan karena paparan modernitas.

Pasokan jajanan micin pelan-pelan masuk ke Baduy Dalam. Istilah-istilah gaul seperti “pinjam seratus”, “gemoy”, dan pose berfoto menjepitkan jari—menunjukkan cinta ala Korea—sudah umum dilakukan. 

Bahkan, tidak jarang juga sudah ada orang Baduy Dalam yang memiliki handphone. Di tengah perubahan yang demikian, saya masih tetap merasa kehidupan masyarakat adat Baduy jauh lebih bersahaja ketimbang kita yang tinggal di kota dan menyebut diri sendiri “modern”. 

Ketika “hidup secukupnya” masyarakat Baduy hanya sebagai penghias feed dan pengisi reels untuk kita, buat mereka itu adalah tradisi hidup. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ester Pandiangan

Penulis buku "Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin (2022)". Tertarik dengan isu-isu seputar seksualitas.