Stigma buruk kerap disematkan kepada mereka, perempuan-perempuan yang bekerja sebagai SPG. Bagaimana lika-liku kehidupan seorang SPG yang sesungguhnya? Simak selengkapnya dalam liputan ini.
FROYONION.COM - Fokus saya seketika buyar kala didatangi perempuan berambut lurus sepanggul, berkacamata dengan frame bulat, mengenakan kaus polo merah-hitam dengan celana ketat yang memeluk kaki jenjangnya.
“Mas, beli kopi bubuk saya, mas. Parfumnya juga. Sekalian aromaterapinya” ujar perempuan yang saya deskripsikan tadi. Saya terdiam, beberapa detik kemudian baru tersadar bahwa perempuan di hadapan saya adalah sales promotion girl (SPG).
SPG yang berkeliling dan menjamah warung kopi beberapa hari terakhir mencuri perhatian saya. Bukan karena apa, kebanyakan yang dilakukan oleh pelanggan warung kopi ketika didatangi oleh SPG bukanlah membeli produknya, melainkan menggoda dan bahkan membentak SPG tersebut.
Kesalahan macam apa yang dilakukan oleh SPG hingga mendapat bentakan yang kasar? Apakah manusia tertentu ini tidak dianugerahi akal sampai-sampai gagal memahami perbedaan antara SPG dengan PSK?
Dua pertanyaan mendasar tersebutlah yang memancing saya untuk kemudian teringin melakukan wawancara.
BACA JUGA: BELAJAR DARI KASUS PELECEHAN MISS UNIVERSE INDONESIA, KORBAN TAK HARUS BUNGKAM
Hingga pada Selasa 2 Agustus 2023, sore hari di salah satu warung kopi yang ada di Kota Lamongan, saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mewawancarai seorang SPG. Perempuan itu duduk di hadapan saya, dengan suara yang mendayu-dayu, ia terus menerus menawarkan ketiga produknya. Saya mengangguk, mengiyakan akan membeli produknya jika mbaknya mau saya wawancarai. Begitu pinta saya.
Tidak kalah pandai bernegosiasi, perempuan itu setuju dengan syarat saya hanya boleh merekam suaranya atau mengetik apa yang dia katakan dan tanpa mengambil potret dirinya.
“Kalau mau memfoto, foto produk saya saja, Mas” sambungnya diikuti tawa di akhir ucapannya.
Yuliana, 26 tahun, perempuan asli Bojonegoro dengan tempat kerjanya yang juga berada di kota yang sama pula. “Saya asli Dander Bojonegoro, Mas. Nah tempat kerja saya di Bojonegoro juga, tapi di Kanor-nya.”
Jika lumrahnya SPG yang masuk warung kopi menawarkan rokok, maka produk yang ditawarkan oleh Yuliana agak lain. Ialah parfum, kopi, dan aromaterapi. Meski begitu, ia mengatakan antara produk rokok atau ketiga produk yang dibawanya, SPG ya memiliki misi yang sama. Yaitu mempromosikan sekaligus menjual produk secara face to face kepada calon pembeli.
Pemasaran ketiga produk yang Yuliana tawarkan ternyata sama sekali tidak dilakukan melalui online shop, bahkan media sosial pun tidak. Ia mengaku tidak tahu-menahu kenapa bos-nya tidak memanfaatkan perkembangan teknologi. Atau mungkin saja si bos amat percaya dan merasa sudah cukup dengan pemasaran menggunakan SPG.
“Dari bosnya udah kayak gitu. Nggak ada online. Cuma SPG-nya keliling tiap hari.”
Melihat dari penampilan Yuliana yang rapi padahal hari sudah sore, saya bertanya apakah SPG memang dituntut untuk selalu tampil rapi-wangi dan pantang kusut ketika hendak mempersuasi calon pembeli? Ia kemudian tersenyum dan menganggukkan kepala atas pernyataan saya.
Belum sempat saya bertanya bagaimana kesehariannya sebagai SPG, Yuliana langsung bercerita dan terbuka kepada saya.
“Saya berangkat jam sembilan (pagi) dari kantor, nanti jam lima (sore) atau jam lima lebih sudah nyampe kantor lagi.”
Kurang lebih delapan jam sehari Yuliana diharuskan tetap rapi, wangi, dan yang lebih penting dari itu adalah tetap memasang senyum, bersikap ramah beserta sopan kepada semua calon pembeli yang ia hampiri.
Perlu diingat bahwa saya berada di Kota Lamongan dan tempat kerja Yuliana adalah di Kota Bojonegoro. Maka sekurangnya perjalanan yang harus ditempuh oleh Yuliana adalah sekitar enam puluh enam kilometer.
Tetapi ia tidak sendiri. Yuliana ditemani dengan dua temannya beserta satu sopir yang memang ditugaskan oleh kantor tempat ia bekerja. “Satu tim biasanya tiga-empat orang, nggak pasti,” tandasnya.
Ongkos bensin sudah tentu ditanggung oleh kantor. Perkara transport, aman, di-handle oleh sopir yang menemani Yuliana beserta kedua temannya. “Transportnya dari kantor, Mas. Kita pakai mobil dari kantor, sopirnya juga dari kantor, kita tinggal jalan.”
Tidak sekadar bertugas mengantar-menemani ketiga SPG, sopir tersebut juga ditugaskan untuk mencari kiranya tempat mana yang harus disinggahi oleh para SPG yang ia bawa. “Sopirnya dari kantor bagian nyari tempat.” jelas Yuliana.
Membuktikan artikel-artikel yang bertebaran di internet, dengan hati-hati saya menanyakan pasal “target” yang harus dipenuhi dari seorang SPG. Berkenan dan merasa tidak apa jika saya ulik, Yuliana menjelaskan bahwa target dari kantornya ialah 400 ribu rupiah.
Nominal 400 ribu yang dimaksud ialah hasil dari penjualan ketiga produknya: bubuk kopi, parfum, dan aromaterapi. Adapun rata-rata harga dari satu produk tersebut berkisar 30-50 ribu rupiah.
“Targetnya, untuk saya ya, dari kantor itu per hari 400 ribu. 400 ribu itu mencakup penjualan tiga produk tadi. Iya harus menghasilkan minimal 400 ribu dalam satu hari.” kata Yuliana.
Jika dibuat pengandaian, maka setidaknya dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore, jumlah produk yang harus dijualnya adalah delapan hingga sepuluh-an.
Bahkan jika pun Yuliana tidak bisa memenuhi target dari kantornya, maka ia tetap mendapat gaji pokok sebesar 50 ribu rupiah. Hanya jika nasib baik menghampirinya, dan ia dapat memenuhi target, maka bonus dari kantor boleh dikantonginya.
“Gaji pokok, dari kantor dapat 50 kalau tidak capai target, kalau pendapatannya sesuai target ya dapat bonus,” terang Yuliana.
Bukan hanya di warung-warung kopi, beberapa tempat yang dikunjungi oleh Yuliana di antaranya adalah kantor camat, kantor lurah, dan juga bank daerah. Tempat-tempat tersebut digadang-gadang mendatangkan banyak pembelian produk daripada warung-warung kopi.
Tidak cuma bertandang ke tempat-tempat yang terkesan “aman”, Yuliana mengaku bahwa ada juga SPG yang ditugaskan untuk masuk ke “tempat-tempat kotor”. Akan tetapi tak semua SPG berkenan untuk ditempatkan apalagi merayu calon pembeli yang ada di “tempat-tempat kotor”.
Saya mengira tugas sopir hanya berhenti pada kedua tugas yang sudah saya jelaskan di atas: (1) mengantar-menemani SPG, (2) mencari sasaran tempat untuk para SPG yang dibawanya. Akan tetapi ternyata sopir juga ditugaskan untuk mengatur SPG. Seperti semisal SPG mana yang masuk tempat A, dan SPG mana yang masuk tempat B.
“Sopir juga ngatur SPG-nya juga. Kadang kan SPG ada yang masuk tempat-tempat kotor kan juga ada. Nggak semua tapi. Ada yang mau ada yang enggak.” tutur Yuliana dengan tetap bernada mendayu.
Saya penasaran dengan “tempat-tempat kotor” yang Yuliana maksud. Terlebih kata-kata itu sering diulangnya selama wawancara sedang berlangsung. Mungkin yang dimaksud dengan tempat kotor adalah seperti di diskotek, atau tempat esek-esek? Kemudian dengan agak terbata-bata, ia mencerahkan, “Enggak ke diskotek. Tapi kayak ke tempat minum-minum gitu. Tapi ya enggak semua. Ada yang mau ada yang enggak.”
“Dulunya pernah jadi kasir, karyawan pabrik juga pernah,” ucap Yuliana dengan sorot mata menatap ke atas, tanda sedang mengingat-ingat masa lalunya. Apa yang kemudian membuat Yuliana memutuskan menjadi SPG adalah karena terdapat lowongan, dan gaji dari SPG yang bisa dikatakan lumayan ketimbang gaji dari dua pekerjaannya di masa lalu.
“Kalau penghasilan, lumayan yang ini sebenarnya. Tapi ya kerjanya seimbang. Rekoso. Kuat mental juga, Mas. Kan setiap hari nemu orang baru. Ngadepin orang baru. Orang kan ada yang baik ada yang enggak. Ya tinggal kitanya aja bagaimana menyikapinya gitu.” terang Yuliana.
Yang menarik selanjutnya adalah Yuliana baru menggeluti profesi SPG ini selama dua bulan. Dalam waktu yang cenderung singkat itu Yuliana sudah mengatakan bahwa profesi SPG bukan untuk orang yang bermental lemah. Realitanya memang seorang SPG harus bertemu dengan banyak orang baru, yang mana itu berarti juga bertemu dengan beragam watak dari manusia.
Tak bisa dimungkiri bahwa kebanyakan SPG memang perempuan. Bahkan kalau sebentar saja kita cermat, maka ya yang namanya SPG sudah pasti perempuan. Kepanjangannya saja sudah jelas, Sales Promotion Girl. Beda cerita kalau salesnya laki-laki, baru deh namanya Sales Promotion Boy/SPB.
Akan tetapi alih-alih memakai kata SPB untuk sales laki-laki, mayoritas dari kita sering menyebut sales laki-laki sebagai “SPG laki-laki”. Istilah itu pula yang digunakan oleh Yuliana. Ia juga mengatakan bahwa di tempat kerjanya, yang bagian jadi SPG hanya perempuan.
“Sekarang kan umpama bagian pemasaran ya kayak nyales kebanyakan kan cowok itu jarang. Kalau cewek itu kan cara ngomongnya lebih menarik. Umpama yang menawarkan produk cowok itu kan pasti orang ya mikir dua kali. Nawarin produk kok cowok. Kan kayak gitu.” jelas Yuliana dengan amat antusias. Saya menganggukkan kepala, tanda bahwa saya menyimak apa yang Yuliana katakan.
Ia kemudian melanjutkan, “Umpama kita masuk warung kopi, yang ngopi cowok, nanti yang nawarin juga cowok, kan nggak ada daya tariknya ya. Daya tariknya kan kebanyakan di cewek.” Apa yang diyakini oleh Yuliana memang benar adanya. Realitas yang dikonstruksi oleh masyarakat ialah bahwa penampilan menarik dari SPG (baca: make up, dress yang dikenakan) merupakan senjata guna menarik laki-laki agar kemudian membeli produk yang ditawarkannya.
Cuaca yang panas hingga stereotip negatif merupakan dua terbesar keluh kesah yang ditumpahkan Yuliana. “Kita kan kerja di lapangan ya mas, tiap hari di jalan. Keluh kesah e ya mesti panas, terus kadang orang ada yang mandang sebelah mata.” jelasnya.
Memandang sebelah mata atas profesi SPG ini umumnya dikarenakan culture yang ada di wilayah tersebut. Masyarakat hanya mengetahui bahwa SPG adalah perempuan yang mengenakan dress seksi, cenderung menarik perhatian laki-laki, dan hal-hal seperti itu. Mereka tidak ingin memahami dari sudut pandang lain.
Yang menjadi lucu kemudian adalah ketika masyarakat memberikan label negatif terhadap profesi SPG, di sisi lain bagian dari masyarakat tersebut (baca: warga/individu/perorangan) malah lebih cocok menyandang label negatif karena pelecehan seksual verbal yang dilakukannya terhadap seorang SPG.
***
Teman-teman, perkenalkan keluh kesah terbesar dari seorang SPG: pelecehan.
Catcalling atau pelecehan seksual verbal bisa dikatakan menjadi makanan sehari-hari yang dijumpai oleh Yuliana. Jika tidak menimpa dirinya, maka menimpa teman satu timnya. “Pelecehan. Maksudnya melecehkan lewat omongan.
Contohnya kayak ‘nggak beli produknya, beli orangnya aja, ayo berapa satu hari?’ Nah kayak gitu itu sering.” ungkap Yuliana.
Tentu Yuliana akan naik pitam jika mendapati ada calon pembeli yang mengatakan hal seperti itu. Akan tetapi ia berpendapat bahwa setiap pekerjaan ada resikonya, dan salah satu resiko jadi SPG ya hal-hal semacam itu.
“Nek asline ya marah, Mas. Sebenere ya marah, cuman ya kita kerjanya kayak gitu. Jadi resiko itu kan tetap ada.”
Lebih jauh, Yuliana menjelaskan bahwa resiko yang ditanggungnya akan besar ketika ia lebih memilih marah ketimbang bersabar dalam menghadapi situasi negatif tersebut. Ia memilih alternatif lain antara marah dan bersabar, yaitu meninggalkan si calon pembeli yang cabul.
“Ya kalau kita marah, umpama kita masuk ke tempat itu lagi kan tambah nggak boleh, jadi kita ya wes lebih baik nek suka (baca: sanggup) ya hadepin nek nggak suka ya ditinggal aja gitu.” ujar Yuliana.
Akibat yang ditimbulkan ketika ada SPG yang marah semisal di suatu warung adalah SPG beserta tim dan sekaligus produknya bakal tidak diizinkan untuk melakukan promosi di warung tersebut lagi.
“Umpama kita marah kan diri kita sendiri yang kena, kantornya kena, teman-teman yang lain juga kena, nanti bosnya akan bilang ‘kemarin loo temen e sampean marah-marah di tempat ini, wes sampean gak usah masuk lagi!’ malah kena semua.” tambah Yuliana.
Ketika bos dari kantor Yuliana mendapati ada SPG-nya yang marah-marah di suatu tempat, maka yang disalahkan adalah SPG tersebut dan bukan calon pembeli yang melakukan catcalling.
Ancaman semacam pemecatan tentu saja membuat para SPG ngeri. Satu-satunya jalan yang aman ditempuh oleh SPG yang mendapat catcalling adalah legowo diikuti dengan melipir ke calon pembeli yang lain. Begitu menurut Yuliana.
Sebagaimana Yuliana yang mengedepankan keramahan dalam menawarkan produknya, maka Yuliana ingin diperlakukan dengan ramah pula. Terlepas dari calon pembelinya akan membeli produknya ataupun tidak. “Ya kita kan datang cuma nawarin produk, secara baik-baik, seenggaknya kalau gak mau beli ya tolak e secara baik-baik lah.” ujar Yuliana dengan nada tinggi di bagian akhir kalimatnya.
Di samping pelecehan secara verbal, Yuliana juga sering diabaikan dan dibentak saat menawarkan produk. Dirinya amat menyayangkan hal tersebut. Kenapa kedatangannya dengan cara yang baik-baik malah membuat dirinya diperlakukan seenaknya oleh calon pembeli. “Soalnya kadang kan ada yang kasar. Ada yang omongannya nggak enak, gitu. Bentuknya ya kayak enggak respon gitu, ada yang mbentak juga. ‘ganggu mbak!’ ‘Wes, rono-rono, sampean ganggu aku!’ kayak gitu.” tambah Yuliana. (*/) (Photo credit: Breno Cardoso)