Esensi

BELAJAR DARI KASUS PELECEHAN MISS UNIVERSE INDONESIA, KORBAN TAK HARUS BUNGKAM

Banyak korban pelecehan yang diam karena takut kena victim blaming. Kasus pelecehan finalis Miss Universe Indonesia membuka mata kita, kalau sebagai korban, janganlah takut untuk speak up.

title

FROYONION.COM – Pada banyak kasus pelecehan seksual kita sering melihat tak jarang korban memilih untuk bungkam. Fenomena victim blaming didalih menjadi alasan utama kenapa korban memilih untuk menyembunyikannya daripada mencari bantuan.

Tak dapat disangkal, di Indonesia sendiri yang merupakan negara yang masih kental dengan budaya patriarki, memiliki kecenderungan untuk menyalahkan para korban masih tetap kuat.

Di dalam budaya patriarki, terdapat pandangan yang mengakar bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah dan harus tunduk pada dominasi laki-laki. Pandangan ini menciptakan ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan penindasan hak-hak perempuan. Kekerasan berbasis gender muncul ketika norma-norma ini diterjemahkan dalam bentuk pelecehan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Selain itu, peran media juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam isu ini, dimana media seharusnya tidak ikut serta dalam praktik victim blaming. Sebaliknya, media harus mendukung perlawanan terhadap pelecehan seksual, serta memposisikan korban pelecehan seksual bukan sebagai pihak yang lemah, tetapi sebagai individu yang berjuang melawan ketidakadilan dan mencari keadilan atas pengalaman yang mereka alami.

Pada tahun 2016, Lentera Sintas Indonesia, Magdalene.co, dan Charge.org melaporkan bahwa 93 persen korban pemerkosaan di Indonesia enggan melaporkan kasus mereka karena takut disalahkan atau dikucilkan, dan hanya 1 persen kasus yang mendapat penanganan serius.

BACA JUGA: PELECEHAN SEKSUAL DAN KAITANNYA DENGAN ‘SELF LOVE DEFICIT’

Tindakan kekerasan merupakan perilaku yang bertentangan dengan hukum, menyebabkan kerusakan dan kerugian pada individu, baik secara finansial, psikologis, maupun fisik, bahkan hingga mengancam nyawa.

Kekerasan ini bisa timbul berdasarkan identitas sosial seseorang, yang menjadikan gender sebagai salah satu aspek yang rentan mengalami kekerasan dalam konteks budaya patriarki.

Pelecehan seksual memiliki variasi bentuk, mulai dari komentar atau gurauan yang merendahkan, perilaku tidak pantas, pemaksaan, hingga ancaman terhadap perempuan jika menolak hubungan seksual.

Karena berbagai bentuknya, pelecehan seksual dapat terjadi dalam berbagai situasi, termasuk oleh orang-orang yang dikenal maupun tidak. Bahkan, pelecehan seksual sering kali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban.

Pelecehan seksual oleh orang yang dikenal sering kali mendapatkan tanggapan negatif lebih besar dari masyarakat karena dianggap memiliki potensi lebih besar sebagai penyebab pelecehan. Ini bisa terjadi dalam hubungan pasangan, yang dikenal sebagai kekerasan intim pasangan. Ini mencakup berbagai perilaku agresif seperti kekerasan seksual, fisik, penguntitan, dan ancaman.

Sayangnya, dalam banyak kasus, korban pelecehan seksual sering disalahkan dan dituduh karena kurangnya pemahaman tentang kompleksitas dan dampak pelecehan seksual.

Kultur menyalahkan korban, yang dikenal sebagai victim-blaming, merajalela dalam masyarakat karena kurangnya kesadaran akan isu pelecehan seksual dan dampaknya.

Korban seringkali kehilangan hak dan keadilan karena persepsi yang salah ini. Budaya ini menimbulkan hambatan bagi pemulihan korban dan pemberantasan pelecehan seksual.

BELAJAR SPEAK UP DARI KASUS MISS UNIVERSE INDONESIA

Kasus yang belakangan ini viral dan menuai atensi publik adalah kasus tindak kekerasan seksual Miss Universe Indonesia. Beberapa kontestan Miss Universe Indonesia mengungkapkan bahwa mereka merasa ‘merasa dihina’ dan ‘trauma’ setelah ‘dipaksa untuk membuka pakaian’ selama acara kompetisi kecantikan tersebut. Panitia acara dituduh membiarkan kekerasan seksual ini terjadi.

BACA JUGA: PELECEHAN BAGI PEREMPUAN PASTI PANJANG UMUR SELAMA ADA PATRIARKI

Dengan dalih pemeriksaan fisik, para finalis Miss Universe Indonesia mereka dipaksa untuk membuka pakaian mereka. Body checking yang dilakukan pada Miss Universe Indonesia 2023 dinilai telah keluar dari jalur karena para finalis diminta melepas pakaian dan difoto.

Salah satu finalis ajang kecantikan tersebut, Lola Nadya mengakui cukup sulit untuk berbicara mengenai hal ini. Selain rasa malu, kekhawatiran tidak mendapatkan dukungan.

“Banyak portal pageant yang awalnya mendukung ajang ini tapi sekarang hanya diam,” ungkap Lola.

Meskipun sulit, sejumlah finalis Miss Universe Indonesia akhirnya memberanikan diri untuk melaporkan insiden dugaan pelecehan seksual ini ke Polda Metro Jaya pada Senin 7 Agustus 2023.

Lewat kasus ini kita jadi belajar banyak sebagai korban kita harus berani untuk menuntut keadilan dan berbicara terbuka tentang pengalaman yang kita alami.

Kasus Miss Universe Indonesia ini mengungkapkan betapa pentingnya mendukung para korban untuk tidak hanya diam dan mengatasi rasa malu, tetapi juga untuk melaporkan tindakan pelecehan seksual.

Kasus ini memberikan kita pelajaran penting sebagai korban bahwa kita harus memiliki keberanian untuk menuntut keadilan dan berbicara terbuka tentang pengalaman kita.

Ini merupakan langkah penting untuk mengatasi stigma dan menjadikan tindakan pelecehan seksual sebagai masalah serius yang harus ditangani dengan tegas.

Dengan membuka suara kita, kita tidak hanya mencari keadilan bagi diri sendiri, tetapi juga membantu mencegah tindakan serupa terjadi pada korban lain di masa depan.

KE MANA KORBAN HARUS MELAPOR?

Pada tahun 2020, Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) mengungkapkan bahwa persentase korban kekerasan seksual yang berani melaporkan insiden tersebut tidak melebihi 50%. Lebih lanjut, tidak semua korban yang berani melapor juga menerima penanganan yang sesuai. Hanya sekitar 23,38% dari laporan tersebut yang akhirnya mengalami proses hukum hingga mencapai putusan pengadilan.

BACA JUGA: KORBAN PELECEHAN SEKSUAL BERUBAH JADI PELAKU PELECEHAN, APAKAH BISA?

Tantangan dalam mencari keadilan bagi para korban kekerasan seksual memang tidak muncul tanpa alasan. Kerangka hukum yang berlaku di Indonesia masih belum mencapai tingkat optimal dalam memberikan perlindungan kepada mereka, lantas dimanakah harus mencari bantuan?

KUMPULKAN DAN SIMPAN BUKTI-BUKTI

Salah satu hambatan yang umum dihadapi oleh para korban adalah kurangnya bukti untuk digunakan dalam pelaporan.

Sebagai contoh, jika kekerasan terjadi dalam lingkungan online, korban dapat menyimpan bukti dalam bentuk tangkapan layar atau rekaman audio/video. Jika bukti berupa hal fisik, seperti luka, perdarahan, atau memar, korban sebaiknya segera menjalani pemeriksaan visum di fasilitas kesehatan terdekat.

Saat ini, banyak fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan visum secara gratis bagi para korban kekerasan. Kalian bisa menghubungi penyedia visum di kota kalian masing-masing. Layanan ini bisa didapatkan secara gratis.

Korban hanya perlu membawa dokumen identitas seperti KTP dan KK, bersama dengan surat keterangan dari pihak kepolisian. Selain itu, mereka dapat menghubungi hotline Jaminan Kesehatan Jakarta (Jamkesjak) di nomor 082111999812.

MENGHUBUNGI LAYANAN BANTUAN KORBAN KEKERASAN

Apabila kondisinya memungkinkan, para korban dapat secara mandiri menghubungi layanan bantuan untuk kekerasan berbasis gender (KBG). Mereka dapat mengontak hotline yang disediakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dengan nomor 021-129 atau melalui layanan WhatsApp di 08111-129-129. Alternatif lainnya, para korban juga dapat menghubungi hotline yang dikelola oleh Komnas Perempuan dengan nomor 021-80305399.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mengimbau kepada masyarakat agar melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui layanan call center yang dikenal sebagai Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) dengan nomor 129.

BACA JUGA: RUU TPKS DISAHKAN: KINI KORBAN PELECEHAN SEKSUAL NGGAK PERLU LAGI TAKUT LAPOR

Nggak perlu khawatir juga, tindak pidana pemerkosaan telah diatur sedemikian rupa alam Ketentuan Undang-Undang Pidana (KUHP).Peraturan dan sanksi bagi individu yang terlibat dalam pemerkosaan dijelaskan dalam pasal 285 KUHP.

Pelaku yang terbukti bersalah melakukan pemerkosaan dapat dihukum dengan penjara maksimal selama 12 tahun. Prinsip ini diungkapkan dalam isi pasal 285 KUHP yang menyatakan sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Jadi bagi kalian yang punya masalah mengenai tindak kekerasan seksual jangan ragu untuk mencari bantuan professional ya. Jangan takut di judge, karena bukan kalian yang salah. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Anandita Marwa Aulia

Hanya gadis yang suka menulis