Movies

YANG BISA KITA PELAJARI DARI FENOMENA DRAMA KOREA

Drama korea sudah seperti “agama” bagi sebagian orang. Begitu digilai. Meski begitu, ternyata drama korea tidak selalu mendapatkan hati semua orang. Kalau kita mau sedikit saja membuka mata untuk mengamati drama korea lebih dalam, ternyata ada manfaat dan fakta-fakta yang menarik lho, Civs. Apa saja? Yuk kita baca artikel dari Akbar ini, Civs!

title

FROYONION.COM - Gelombang produk budaya dari sejumlah negara Asia memang begitu kencang. Ambil saja contoh dari Jepang dan Korea Selatan. Sejak saya SD, dalam kisaran windu antara tahun 2005 dan seterusnya, anime sangat digilai banyak teman-teman saya.

Bagi saya penikmat anime yang hanya ada di televisi seperti NarutoDoraemonBleach, hingga Tsubasa, saya hanyalah butiran debu di antara teman-teman saya yang lain. Bahkan bisa dikatakan saya bukan termasuk penikmat yang khusyuk, saya hanya menonton episode yang ada di televisi saja, itu pun tayangnya weekly.

Pada saat itu, internet sudah ada, tentu. Akses terhadap produk budaya luar sudah bisa didapatkan. Teman-teman saya yang keranjingan anime, mereka bisa menghabiskan banyak waktu untuk menonton anime. Saya pada saat itu hanya bisa mendengarkan mereka mengobrol tentang episode yang baru saja mereka tonton.

Itu baru anime. Belum drama korea. Anime dan drama korea, dalam pengamatan sederhana saya, masuk beriringan. Saya masih ingat betul, saya pernah menonton drama korea berjudul Full House di salah satu stasiun televisi swasta pada saat saya SD.

Kenyataan bahwa masa SD saya sudah dihiasi tontonan dari Jepang dan Korea Selatan berupa anime dan drama, itu menandakan bahwa sudah sejak lama sekali transfer budaya terjadi. Setidaknya, bagi generasi Z seperti saya, itulah potret pertukaran budaya yang terjadi di awal tahun 2000-an melalui produk hiburan seperti anime dan drama.

Lanjut ke masa SMP di tahun 2012-an, ternyata gelombang itu sama sekali tidak surut. Malah semakin masif. Teman-teman saya, yang kemudian hari ini banyak disebut sebagai wibu, sungguh sangat keranjingan anime. Mereka rela begadang untuk menamatkan episode demi episode anime.

Era tahun 2012-an itu sudah ada flashdisk, mereka pun mengunduh begitu banyak fail dan saling berbagi. Lagi-lagi, saya merasa tidak relate dengan kesukaan mereka. Saya hanya diam, mentok nonton anime itu, ya, Naruto di televisi.

Di saat anime begitu riuh ditonton anak seumuran saya, pada saat yang bersamaan datang pula fenomena boyband dan girlband. Dari Korea, saya tahu ada boyband bernama Super Junior dan Shinee, dan girlband ada 2NE1. Saya sempat mendengarkan beberapa lagu hits dari Super Junior kala itu, karena hampir setiap hari teman-teman perempuan saya di kelas memutarnya.

Lanjut ke masa SMA. Di SMA, penggemar per-korea-an semakin menggila. Setelah sebelumnya menemukan drama korea di masa SD, kemudian grup musik di SMP, SMA geliat itu ada pada keduanya: musik dan drama. Banyak teman saya yang sangat hafal nama aktor dan aktris pemain drama korea. Tidak hanya itu, mereka pun sampai membeli album asli sang idol!

Pokoknya, patokan saya untuk mengukur seseorang itu wibu atau bukan, mudah saja: mereka sering kali menggunakan avatar media sosial karakter yang mereka sukai. Dalam hal K-Pop atau drama korea pun demikian, mereka pasti memakai avatar artis yang mereka senangi. Atau, mereka sering kali mengunggah foto atau video cuplikan ketika si artis sedang manggung atau main drama.

Menyaksikan kegilaan teman-teman terhadap anime dan drama atau K-Pop itu, sejujurnya saya dulu merasa jijik. Mohon maaf teman-teman, kadang komentar dari hati nurani perlu disampaikan untuk mendapatkan pelajaran (hahaha, ngeles).

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin banyak sekali waktu yang didedikasikan untuk anime dan drama? Tidak hanya waktu, tapi juga uang! Mereka membeli album asli artis K-Pop. Itu tingkatan tertinggi dalam kasta fans, sih, membeli album asli. Keren.

Awalnya, saya underestimate. Perasaan itu terus ada sampai saya kuliah tingkat akhir. Dengan begitu, perasaan kurang menyukai orang-orang yang sangat menggilai anime dan drama korea itu mungkin berlangsung selama tujuh tahun. Tiga tahun SMA dan menjelang empat tahun kuliah. Berarti sudah cukup lama saya menaruh perasaan kotor berupa dengki kepada teman-teman saya.

BACA JUGA: “DEMAM KOREA MELANDA SEPAKBOLA INDONESIA

‘MEMBUKA HATI’ UNTUK DRAMA KOREA

Saya kuliah di jurusan Sastra. Jurusan Sastra ada di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Karena memiliki latar belakang anak FIB yang harus mempelajari budaya, saya jadi penasaran kenapa gelombang budaya dari Korea Selatan, pada khususnya, begitu berpengaruh besar kepada sejumlah fans di Indonesia.

Karena mulai logis dan akademis, tidak lagi sinis seperti di SMA, saya mulai mengamati gejala budaya gila anime dan drama itu. Perasaan tidak suka itu sudah berubah menjadi penasaran yang didasarkan pada pengamatan. Saya tanya-tanya teman saya, dan saya pun membaca artikel-artikel yang membahas tentang itu semua.

Secara teoretis, saya menggunakan metodologi kualitatif (maklum sok-sokan, saya sedang skripsian). Saya mewawancarai sejumlah teman penggila anime dan drama, dan saya melakukan studi literatur berupa pembacaan terhadap banyak artikel.

Tidak berhenti pada upaya teoretis, tapi saya pun mencemplungkan diri pada ranah praktis. Saya menonton drama korea. Penasaran, apakah emang sebagus itu sampai orang-orang rela mengorbankan waktunya untuk menonton?

Level pertama, saya menonton drama-drama yang viral saja. Drama yang saya tonton pertama adalah Squid Game. Drama yang fenomenal, kontroversial, sekaligus menyimpan banyak kritik sosial. Drama Squid Game memang sangat fiktif, tapi pesan moralnya sangat reflektif. Ia, dengan kata lain, ingin menyampaikan pesan soal kelas sosial yang terjadi di masyarakat. Bahwa ada manusia-manusia yang hidupnya terjepit karena oligark yang memiliki kapital sungguh besar.

Sang kakek yang ternyata menjadi dalang dari permainan, bisa menyelenggarakan permainan ilegal itu karena memiliki uang dan kuasa. Tidak tega-tega, ia membunuh orang untuk saling berkompetisi demi mendapatkan sejumlah uang. Itu ia lakukan bukan untuk menolong atau atas dasar sosial, melainkan hanya ingin senang-senang! Bukankah itu merupakan realitas yang terjadi saat ini? Ya, sistem kapitalisme yang terus menggurita.

Tidak cukup menonton Squid Game. Selanjutnya saya menonton All of Us are Dead. Drama tentang zombie yang awal mula penyebarannya di sekolah. Kalau ini, ia lebih banyak bercerita tentang persahabatan dan solidaritas. Sama seperti Squid GameAll of Us are Dead pun termasuk drama yang viral dan rating-nya tinggi.

BACA JUGA: “KENAPA SPOT-SPOT ‘INSTAGRAMABLE’ DI INDONESIA NORAK TAPI DI KOREA NGGAK?

Saya baru menonton tiga drama korea. Setelah dua yang saya sebutkan di atas, yang ketiga adalah Hometown Chachacha. Drama ini beda dengan dua drama yang saya sudah tonton sebelumnya, karena ini genrenya romance uwu-uwu. Persis seperti kesan banyak drama korea yang bergenre roman dan bercerita tentang kisah cinta.

Tak disangka, drama ini sukses membuat pandangan saya tentang drama korea berubah. Ternyata, drama korea tidak seburuk itu. Bahkan, drama korea, dalam aspek-aspek tertentu, memiliki kualitas yang sangat baik. Aspek paling terasa yang paling mudah disorot adalah: alur dan pengemasan cerita.

Tidak seperti sinetron Indonesia yang jalan ceritanya mudah ditebak, drama korea itu sungguh membuat imajinasi saya naik-turun dan maju-mundur. Imajinasi saya terasa dilempar-lempar, digebuk oleh realitas kualitas drama korea yang saya tonton. Meskipun kisah cinta, tapi cerita yang disuguhkan memiliki nilai dan makna yang menggugah. Tidak hanya melulu adegan romantis uwu-uwu yang membuat hati berdesir, tapi lebih dari itu, mengajak berpikir.

Bagi saya, drama korea yang terakhir saya tonton itu tidak hanya membuat emosionalitas saya bermain, tapi intelektualitas saya pun turut terlibat. Saya menonton bukan sebagai pencinta drama korea, tapi juga sebagai pengamat dan orang yang penasaran bagaimana cerita dalam drama korea dikemas.

Dari segi cerita, ia bukan kisah roman ala FTV Indonesia. Ia kisah cinta yang menawarkan nilai dan makna bagi penontonnya. Mengajak penonton untuk mempertanyakan ulang makna dan upaya memperjuangkan cinta. Selain itu, pengemasannya sungguh ciamik. Tidak monoton. Setiap karakter bermain dengan totalitas, dan memiliki fokus ceritanya masing-masing yang membuat keseluruhan cerita dalam drama itu sangat solid.

Nyinyiran yang saya lempar kepada para penggemar drama korea itu sudah hilang. Lebih jauh, saya jadi paham bagaimana industri drama korea itu bekerja dan memproduksi drama. Ia tentu bukan hanya sekadar produk budaya untuk menghibur, tapi sudah menjadi komoditas yang membuat negara Korea berpendapatan subur.

BACA JUGA:RASANYA KENA DEMAM KOREA SEBELUM ERA KEEMASAN ‘KOREAN WAVE’

REFLEKSI

Drama korea adalah pop culture yang berkualitas, setidaknya dari pengalaman dan pengamatan saya terhadap beberapa drama yang saya tonton. Dalam banyak hal, saya rasa drama dan sinetron indonesia pun harus banyak belajar pada produksi drama korea.

Kita tahu, bahwa produk budaya turut membentuk pola pikir dan membangun kecerdasan. Cerita yang disampaikan dalam rupa drama bisa berkontribusi terhadap pembangunan bangsa. Kalau yang disajikan hanyalah cerita yang begitu-begitu saja tanpa ada upaya menyodorkan makna yang berbeda dan berisi, ya isi kepala orang kita akan begitu-begitu saja.

Selain menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan kepekaan, produk budaya seperti drama pun menjadi peningkat pendapatan negara. Bagaimana tidak, produk-produk itu dijual ke banyak negara sampai akhirnya bisa ditayangkan. Belum lagi produk fisik berupa album yang dalam pengirimannya pasti mengharuskan adanya cukai. Kalau tidak berkualitas, bagaimana mungkin warga luar negeri akan berminat terhadap karya kita?

Porsi tulisan ini mungkin lebih banyak pada cerita dan rentetan pengalaman saya berinteraksi dengan anime dan drama korea. Mulai dari saya SD, SMP, dan SMA, kemudian berani mengambil sikap secara sadar terhadap fenomena drama korea. Uraian pengalaman itu saya sampaikan agar ada gambaran betapa budaya luar itu sudah masuk sejak lama dan menjelma menjadi pop culture yang digilai banyak orang.

Tapi, pada akhirnya, pengalaman dan pandangan saya ini bukanlah bertujuan untuk membesar-besarkan kualitas drama korea, justru mengajak kita semua berefleksi. Sudah sejauh manakah kualitas budaya bangsa kita? Tentu tidak ada salahnya belajar banyak pada produk budaya sejumlah negara Asia lainnya, khususnya Jepang dan Korea Selatan. (*/Foto: Yonghyun Lee via Unsplash.com)

BACA JUGA:KINGDOM”: ZOMBIE APOCALYPSE CITARASA KOREA"

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Akbar Malik

Mahasiswa biasa yang lagi skripsian