Movies

TRIANGLE OF SADNESS: KONSEP KESETARAAN GENDER DAN SOSIAL YANG APIK DALAM KARYA RUBEN OSTLUND

Feature film karya Ruben Ostlund bertajuk “Triangle of Sadness” sukses menyajikan respon satir terhadap konsep kesetaraan gender dan sosial yang lagi hangat diperdebatkan dalam beberapa tahun terakhir. Mari simak, Civs!

title

FROYONION.COM - Triangle of Sadnesssatirical black comedy film yang disutradarai dan dinaskahi oleh Ruben Ostlund menurut gue adalah salah satu feature film terbaik yang dirilis di tahun 2022. Terbukti dengan kemenangan Triangle of Sadness pada award tertinggi di Cannes Film Festival 2022 kemarin, yaitu Palme d’Or.

Triangle of Sadness ini sendiri merujuk pada istilah di dunia permodelan, yaitu sebuah area di tengah-tengah alis yang bisa menunjukkan kalo seseorang sedang stress dan bersedih. Dengan basis terminologi tersebut, film ini kemudian mengangkat isu kesetaraan sosial yang cukup kompleks, namun dengan pembawaan yang cukup ringan dengan bumbu komedi satir yang nggak cringe

FIlm yang dibagi menjadi 3 chapters ini diawali dengan pengenalan terhadap karakter utama, yaitu Carl (Harris Dickinson) dan Yaya (Charli Dean) yang merupakan sepasang sejoli yang berprofesi sebagai model dan influencer.

Dalam babak pertama ini, kita sebagai penonton dihadapkan pada kondisi insecurity-nya Carl dalam hubungan percintaannya dengan Yaya, yang memiliki penghasilan serta ketenaran yang melebihi Carl. Ada sebuah adegan saat mereka berdua lagi fancy dinner, dan Carl mengungkapkan kekesalannya kepada Yaya karena doi nggak berinisiatif untuk split bill, malah cenderung menunggu Carl untuk membayar makan malam mereka berdua.

Perdebatan mereka berdua terasa cukup relatable dengan kondisi di zaman sekarang, saat persoalan gender role dalam membayar makanan ini memang jadi hot topic untuk dibahas tapi nggak banyak yang berani mengungkapkan secara luas. Sajian dalam chapter ini jadi memicu pertanyaan ke kepala kita sebagai penonton tentang konsep kesetaraan dalam hubungan, peran apa yang harus diambil perempuan dan laki-laki dalam sebuah hubungan? Dan Ruben Ostlund menyajikan jawaban versi dirinya sendiri tanpa menjatuhkan kaum perempuan ataupun laki-laki.

Setelahnya, chapter 2 pun dimulai sebagai transisi menuju isu yang lebih kompleks.

Carl dan Yaya diceritakan berlibur di sebuah kapal mewah (yacht) bersama para konglomerat dunia. Satir terhadap kapitalisme, komunisme, keburukan konglomerat, serta diskriminasi terhadap kaum kerah biru pun disajikan dalam chapter yang satu ini.

Chapter ke-2 ini lebih berperan sebagai pengantar, menyajikan basis permasalahan baru di luar masalah internal antara Carl dan Yaya, menuju klimaks di chapter ke-3.

Dalam yacht itu, seluruh pengunjung digambarkan sebagai orang-orang kaya dengan perusahaan-perusahaan besar yang mereka miliki di tempat asal mereka. Ada beberapa scene yang menggambarkan bagaimana kaum-kaum konglomerat ini menyusahkan para pekerja yacht, dan terkadang terlihat diskriminatif kepada mereka.

Dalam scene makan malam contohnya, para konglomerat ini terlihat nggak tahan dengan ombak laut, dan mereka berujung muntah berjama’ah karena mabuk. Makanan jadi terbuang sia-sia, ditambah sang kapten di kapal pun sedang asyik bermabuk-mabukan. Alhasil, para pekerja yacht harus membereskan kekacauan yang disebabkan ‘lemahnya’ konglomerat di kondisi yang bukan merupakan keahlian mereka sehari-hari.

Tanpa disangka-sangka, situasi jadi chaos. Ombak besar dan datangnya perompak yang mengebom yacht membuat malam mereka jadi tambah kacau, dan menjadi set-up untuk Chapter ke-3, bertajuk The Island.

Narasi dalam chapter ini cukup simpel, “Kira-kira, kalo kondisinya (sosialnya) dibalik, bakal gimana?” 

Dari kejadian itu, hanya beberapa orang yang selamat (termasuk Carl dan Yaya) dan berujung terdampar di suatu pulau terpencil.

Di antara beberapa orang yang selamat itu, salah satunya adalah Abigail, yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih yacht. Peran Abigail dalam chapter ini jadi sangat sentral, mempertontonkan bagaimana materi dan kekuasaan yang dimiliki oleh kongolomerat jadi nggak berguna sama sekali.

Di alam, semua yang dimiliki konglomerat nggak bisa membuat kehidupan mereka jadi lebih baik. Abigail, yang merupakan seorang pekerja (imigran?) asal Filipina, diperlihatkan sebagai sosok yang bisa segalanya. Doi bisa memancing, memasak, dan overall bisa survive di kondisi sulit, yang bahkan orang-orang kaya pun belum tentu bisa bertahan hidup.

Di pulau ini, Abigail mengambil alih peran kapten, para konglomerat pun harus tunduk kepada komandonya.

Chapter ini menunjukkan progresi cerita yang apik. Dimulai dengan Carl dan Yaya yang saling menunjukkan ego besar mereka pada permasalahan kecil, kemudian mempertunjukkan krisis identitas mereka berdua di atas yacht yang notabene diisi oleh orang-orang yang jauh lebih berkuasa ketimbang mereka berdua, lalu berakhir pada kondisi kesadaran bahwa mereka harus bekerja sama–cenderung mengaku ‘kalah’, kepada seorang sosok yang lebih mengerti alam ketimbang mereka semua.

Konklusi dalam film ini pun dibuat open ending. Penonton bebas menerjemahkan scene itu, apakah pihak konglomerat bisa mendapatkan kekuasaan mereka lagi? Juga ketakutan Abigail sebagai representatif ‘kaum bawah’ akan hilangnya kendali mereka di pulau pun ikut tersaji. Ada juga teori yang mengatakan, kalo ternyata segala hal yang  mereka lihat di pulau itu hanya imajinasi, bahkan hingga ke scene terakhir sekalipun.

Intinya, Ruben Ostlund dinilai jago dalam menyajikan isu-isu ruwet dalam masyarakat menjadi hal yang easy to digest dan membuat kita berpikir ulang tentang tatanan dunia yang semestinya (halah).

Buat lo yang kepo dan pengen menerjemahkan apa yang sebenarnya terjadi dalam film ini, lo bisa cek langsung filmnya di sini, Civs. (*/)

BACA JUGA: BENARKAH PARKIR KHUSUS PEREMPUAN KONTRADIKTIF DENGAN KESETARAAN GENDER?

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.