Movies

TREN REMAKE FILM LUAR NEGERI, DEMI KEARIFAN LOKAL ATAU KARENA KEHABISAN IDE?

Sudah bukan hal baru lagi ketika menyaksikan sebuah film yang merupakan hasil adaptasi dari film serupa di luar negeri. Istilah kerennya sih remake alias dibuat ulang dengan kearifan lokal. Beneran demi kearifan lokal atau semata karena kehabisan ide?

title

FROYONION.COM – Remake film luar negeri terbilang sudah bukan hal baru lagi akhir-akhir ini. Beberapa judul yang sudah lebih dulu populer di negara lain seperti Miracle in Cell No 7, Hello Ghost, Miss Granny dan lain-lain kemudian dibuatkan versi Indonesianya. 

Jauh sebelum itu, di awal tahun 2000an sudah banyak sinetron lokal yang terinspirasi dari drama Asia. Ada Siapa Takut Jatuh Cinta yang didasarkan pada Meteor GardenKau Masih Kekasihku merupakan hasil adaptasi dari At the Dolphin Bay dan Benci Bilang Cinta disebut hasil remake Princess Hours.

Tentu bukan hanya Indonesia yang gemar bikin film remake. Walau ada banyak film dan drama Korea Selatan yang diproduksi ulang oleh sineas tanah air, nyatanya negeri Ginseng juga ikut-ikutan tren remake ini. Tahun lalu mereka memproduksi ulang serial populer Spanyol La Casa de Papel dengan judul Money Heist Korea: Joint Economy Area.

Industri Hollywood bahkan terlebih dahulu mempopulerkan tren produksi ulang ini. Ada banyak film dari Asia yang sukses besar di pasar kemudian dibuat kembali dalam versi Hollywood, terutama dari genre thriller atau horor. Contohnya adalah film horor Jepang Ringu (1998) yang kemudian didaur ulang dengan judul The Ring (2002).

Tren remake mungkin bikin kita bertanya-tanya, apakah sineas perfilman sudah mulai kehabisan ide sampai memutuskan untuk mendaur ulang kisah yang sudah ada alih-alih membuat cerita baru. Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita simak dulu seperti apa landasan hukum untuk mengadaptasi film luar negeri.

BACA JUGA: 5 VIDEO MUSIK INDONESIA YANG BISA DI-REMAKE SUPAYA VIRAL LAGI

Adaptasi sendiri diartikan sebagai salah satu hak ekonomi yang akan diberikan kepada pemegang hak cipta atau pencipta seperti diatur pada Pasal 9 ayat 1 huruf d Undang-undang Hak Cipta. Pelaksanaannya sendiri akan diserahkan pada pihak lain sesuai dengan perjanjian lisensi seperti dalam Pasal 80 ayat 1 Undang-undang Hak Cipta. 

Artinya, jika ada rumah produksi di Indonesia yang hendak melakukan adaptasi film ataupun series dari luar negeri, maka pihak rumah produksi harus terlebih dahulu mendapat izin dari pihak Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan. Izin ini akan didapat melalui perjanjian lisensi. Kemudian, perjanjian lisensi akan dicatat melalui Dirjen Kekayaan Intelektual, Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham supaya memiliki akibat hukum pada pihak ketiga.

Adaptasi yang dilakukan tanpa izin akan memungkinkan Pemegang Hak Cipta untuk mengajukan gugatan pelanggaran melalui Pengadilan Niaga. Undang-undang Hak Cipta sendiri nggak mensyaratkan kewajiban untuk memilih hukum Indonesia dalam praktik pelaksanaan perjanjian lisensi yang berkaitan dengan adaptasi film. 

Praktik remake film yang populer di tahun 2000an sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan, tren ini sudah ada sejak awal industri perfilman. Salah satu film yang tercatat pertama kali di-remake adalah film Prancis berjudul L’Arroseur arrose garapan Lumiere Brothers pada 1895. Setahun sejak perilisannya, film ini diproduksi ulang oleh Georges Melies. 

Alasan remake-nya adalah karena di waktu itu belum ada peraturan terkait hak cipta. Sebuah film bisa dengan mudah dibuat ulang oleh sutradara lain atau bahkan oleh negara lain. Alasan lain yang mendasari ide produksi ulang sebuah film pada masa lampau adalah karena kemajuan teknologi. 

Industri perfilman dulunya didominasi oleh film bisu. Perkembangan teknologi audio membuat film-film rilisan baru bisa memiliki unsur suara. Banyak film-film bisu yang kemudian dibuat ulang dengan tambahan audio agar semakin menarik minat penonton, apalagi untuk film-film bisu yang sudah terlebih dulu populer.

Di era sekarang, perkembangan teknologi masih jadi alasan para pembuat film dalam merilis ulang film lama guna meningkatkan kualitasnya. Beragam aspek teknis yang awalnya nggak bisa diwujudkan karena keterbatasan teknologi, sekarang menjadi mungkin untuk diperlihatkan di layar lebar. Pemenuhan kreativitas serta idealisme turut jadi alasan para sineas dalam melakukan daur ulang film. 

BACA JUGA: 5 REKOMENDASI SEKUEL FILM ADAPTASI NOVEL YANG COCOK BUAT MOVIE MARATHON!

Nggak bisa dipungkiri kalau salah satu alasan yang mendasari produksi ulang film atau series populer adalah demi keuntungan. Sebuah film yang sudah populer diharapkan akan dapat mendatangkan penonton film aslinya untuk menyaksikan remake-nya, atau minimal bisa mengundang rasa penasaran untuk ikut melihat hasil adaptasinya. 

Pada akhirnya, film remake bukan semata demi kearifan lokal dan bukan juga karena kehabisan ide, tapi demi cuan. Mengejar keuntungan sudah jadi alasan utama, sehingga film pun dijadikan komoditas untuk diperjualbelikan. Namun, di sinilah praktek remake mulai mendulang kritik terkait unsur orisinalitas yang seharusnya jadi intisari sebuah produk sinema. 

Contohnya ada pada remake film horor A Tale of Two Sisters yang memegang predikat sebagai salah satu film horor terbaik berkat narasi, kedalaman cerita hingga penyajiannya. Namun hasil remake-nya yang diberi judul The Uninvited justru mengalami penyederhanaan cerita serta terkesan disajikan secara setengah-setengah.

Pun demikian ketika film zombie legendaris Korea Selatan Train to Busan akan diadaptasi ke Hollywood dengan judul Last Train to New York. Lisensinya bahkan diperebutkan oleh Paramount, Netflix dan Universal sebelum akhirnya ditetapkan New Line Cinema yang akan memproduksinya.

Bukannya disambut antusias, remake ini justru menuai kritikan. Pasalnya, sudah bukan rahasia kalau film Asia yang digarap ulang Hollywood sangat beresiko gagal serta besar kemungkinan akan memasukkan unsur whitewashing. Saat dibuat ulang untuk audiens Amerika, sangat mungkin remake ini akan menghilangkan konteks budaya dan sosial Korea Selatan yang jadi salah satu nilai jual utamanya.

Mengejar keuntungan memang bukan satu-satunya alasan daur ulang sebuah film. Tapi, sulit rasanya melihat remake sebagai usaha kreatif yang tulis dilakukan demi meningkatkan kualitas dari sebuah karya yang sudah ada. 

Sah-sah saja sih memang memproduksi ulang sebuah film, apalagi kalau memang pihak rumah produksi sudah mengantongi izin lisensi dari Pemegang Hak Cipta. Tapi, harap dimaklumi jika hilangnya nilai-nilai budaya serta penurunan kualitas dibandingkan film originalnya menjadi hal yang nggak bisa dihindarkan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Tri Utami

Sometimes I write, most of the time I read