Movies

SQUID GAME: KEPALSUAN DALAM PILIHAN HIDUP KARENA PADA AKHIRNYA SEMUA AKAN KALAH

Squid Game adalah serial yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menawarkan kritik tajam terhadap sistem sosial. Di dalam serialnya, peserta seakan memiliki pilihan untuk hidup, padahal hampir tidak sama sekali.

title

FROYONION.COMSerial Netflix Squid Game telah menarik perhatian global dengan alur ceritanya yang mengangkat tema persaingan mematikan. 

Dalam cerita ini, sebanyak 456 peserta bersaing dalam serangkaian permainan mematikan demi memiliki peluang untuk memenangkan hadiah sebesar 45,6 miliar won Korea (setara Rp 551,3 miliar). 

Jika berhasil melewati enam babak permainan. Namun, taruhannya sangat tinggi karena kekalahan berarti kematian.

Namun, daya tarik Squid Game terletak pada bagaimana permainan masa kecil disajikan dengan cara yang keras dan penuh tekanan. 

Peserta dalam kompetisi ini bukanlah orang biasa. Mereka adalah individu yang hidup dalam kemiskinan ekstrem dan terlilit utang. 

Sebagian besar mengalami kecanduan judi, terjebak dalam kekerasan geng, atau menghadapi ancaman deportasi. 

Keputusasaan inilah yang mendorong mereka mempertaruhkan nyawa demi kesempatan mengubah nasib dengan memenangkan hadiah yang menggantung di atas kepala mereka.

Dikutip dari BBC, Kim Pyeong-gang, seorang profesor di Universitas Sangmyung, menjelaskan bahwa banyak orang, terutama generasi muda yang sering merasa terasing dan menghadapi kebencian dalam kehidupan sehari-hari, tampaknya dapat memahami situasi para karakter dalam Squid Game. 

Di Korea Selatan, seperti di negara-negara Asia Timur lainnya, masyarakat yang sangat kompetitif seringkali membuat individu merasa tertekan. 

Meski telah berusaha keras, tidak semua orang memiliki peluang yang sama untuk masuk ke universitas ternama atau mendapatkan pekerjaan yang diidamkan. 

Dalam Squid Game, para peserta diperlakukan setara, dengan kompetisi digambarkan sebagai kesempatan terakhir untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi yang mereka alami di luar permainan.

SQUID GAME DAN KRITIK TERHADAP DEMOKRASI SEMU

Squid Game secara jelas merupakan satir atas ketimpangan ekonomi yang terjadi di Korea Selatan. 

Masalah ini telah mencapai tingkat yang serius, hingga mendorong para kandidat dalam pemilihan presiden Korea Selatan tahun 2022 untuk mempertimbangkan kebijakan yang tergolong radikal. 

Di antara usulan tersebut adalah penerapan pendapatan dasar universal dan reformasi menyeluruh pada sistem hukum.

Namun, meskipun kritik sosial dalam Squid Game terutama ditujukan pada ketimpangan ekstrem, dampak satirnya paling terasa ketika mengarahkan perhatian pada prinsip yang sering digunakan untuk mendukung, membenarkan, dan memperpanjang ketidakadilan tersebut: meritokrasi.

Bisa dikatakan, Squid Game menunjukkan kekuatannya yang paling tajam ketika dilihat sebagai kritik terhadap meritokrasi. 

Sistem meritokrasi, yang menjanjikan masyarakat berdasarkan keadilan dan usaha individu, ternyata justru dapat menjadi alat yang memperparah ketimpangan. 

Dengan menyoroti bagaimana prinsip ini bekerja dalam konteks kompetisi mematikan, Squid Game membuka mata penonton akan risiko yang muncul dari konsep meritokrasi, baik dalam bentuknya yang palsu maupun yang tampak ideal.

Kita sering diberi gambaran bahwa masyarakat meritokratis adalah tempat di mana kesejahteraan seseorang tidak ditentukan oleh kelas, ras, atau gender, melainkan berdasarkan kombinasi kemampuan dan usaha mereka. 

Meritokrasi menjanjikan persaingan sosial yang adil, lapangan yang sama rata, dan penghargaan bagi mereka yang cukup berbakat dan gigih untuk menaiki tangga sosial.

Namun, dalam masyarakat yang kompetitif, tidak semua orang bisa menang. Sisi gelap meritokrasi adalah bahwa sistem ini membenarkan ketimpangan dengan alasan bahwa mereka yang berada di posisi atas pantas mendapatkannya karena usaha mereka.

Sementara mereka yang berada di bawah dianggap pantas menerima nasib buruk mereka. Ketika masyarakat meyakini bahwa sistem mereka benar-benar meritokratis, resistensi politik terhadap ketimpangan menjadi jauh lebih sulit untuk dibangun.

Dikutip dari Big Think, janji-janji politik tentang meritokrasi mencapai puncaknya pada 1980-an dan 1990-an, tetapi mulai memudar setelah krisis keuangan 2008, seiring dengan merosotnya optimisme ekonomi yang mendukung gagasan meritokrasi. 

Meski begitu, meritokrasi tetap menjadi bayang-bayang dalam politik kontemporer. Misalnya, pada kampanye wakil presiden Kamala Harris, ia menjanjikan bahwa setiap orang dapat "bersaing di atas pijakan yang setara." 

Bahkan, data menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih percaya bahwa mereka hidup dalam sistem meritokratis.

Masalah dengan janji meritokrasi di masa lalu adalah bahwa janji tersebut sering kali terbukti palsu karena kita tidak benar-benar mencapai meritokrasi, atau kosong karena meritokrasi tidak memberikan apa yang kita harapkan. 

Squid Game dengan gamblang mengungkapkan kedua sisi dari ketidakpuasan ini, baik meritokrasi yang palsu maupun yang tidak memberikan hasil yang diidamkan.

Di inti kompetisi Squid Game, terdapat sebuah kode moral yang, menurut sosok misterius yang mengatur permainan, menawarkan para peserta peluang yang tidak mungkin mereka dapatkan di dunia luar. 

Dalam pernyataannya yang diterjemahkan, ia menyebutkan, "Orang-orang ini menderita karena ketidaksetaraan dan diskriminasi di dunia luar, dan kami memberi mereka satu kesempatan terakhir untuk bertarung di atas pijakan yang setara dan menang."

Namun, tidak mengherankan jika kenyataan kompetisi dalam Squid Game jauh dari cita-cita meritokratis yang dijanjikan. 

Harapan untuk menciptakan lapangan persaingan yang setara dirusak oleh faktor-faktor sosial yang sama seperti yang merusak masyarakat kompetitif di luar permainan. 

Dalam permainan, kelompok-kelompok kecil terbentuk; perempuan sering kali disisihkan; pemain yang lebih tua diabaikan. 

Bahkan satu-satunya pemain yang berasal dari luar Korea, Ali Abdul, menjadi korban perlakuan merendahkan, pengkhianatan, dan eksploitasi. 

Pada permainan pertama, Ali secara harfiah menyelamatkan Seong Gi-hun, tokoh utama serial ini, dalam sebuah metafora visual yang menggambarkan ketergantungan negara maju pada tenaga kerja asing murah untuk mempertahankan kemakmuran mereka. 

Kenyataannya, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menang.

Namun, apakah ketidakadilan dalam Squid Game benar-benar hanya karena kompetisinya tidak adil? Apakah kengerian ini akan hilang jika para peserta benar-benar bertanding di atas "pijakan yang setara"?

Squid Game dapat menjadi kompetisi yang benar-benar meritokratis sekaligus sepenuhnya kejam. 

Kompetisi ini menggunakan sistem "pemenang mengambil semua," di mana hanya sebagian kecil peserta yang akan meraih kekayaan, sementara perbedaan kecil dalam performa dapat menentukan antara kesuksesan dan kegagalan dan dalam konteks ini, menentukan antara hidup dan mati.

Selain itu, Squid Game menggambarkan sebuah kompetisi di mana kelompok masyarakat termiskin dipaksa untuk berpartisipasi. 

Meskipun aturan permainan memungkinkan peserta untuk memilih keluar kapan saja dan bahkan menawarkan pemungutan suara secara demokratis untuk memutuskan apakah permainan akan dilanjutkan penderitaan yang menanti mereka di luar permainan membuat pilihan tersebut hampir mustahil untuk diambil.

Dalam dunia Squid Game, pemenang mendapatkan segalanya, sementara yang kalah kehilangan nyawa mereka, dan para peserta pada dasarnya tidak memiliki pilihan selain ikut serta. 

Meritokrasi radikal yang digambarkan dalam Squid Game adalah versi karikatur dari ketimpangan yang telah muncul dalam masyarakat kompetitif saat ini. 

Namun, itu juga mencerminkan, meski dalam bentuk yang dilebih-lebihkan, bahaya dari meritokrasi palsu maupun meritokrasi sejati yang kini menjebak jutaan orang di seluruh dunia.

Serial ini membuka diskusi mendalam tentang realitas meritokrasi, dengan memberikan gambaran ekstrem tentang apa yang terjadi ketika ketimpangan sosial dan ekonomi dibungkus dalam ilusi persaingan yang adil. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdillah Qomaru Zaman

Lulusan Ilmu Politik, freelance penulis dan pelatih silat.