Movies

KEAJAIBAN KEMBALI TERULANG, FILM GENRE FANTASI MENANG BEST PICTURE OSCAR 2023

Kemenangan film ‘Everything Everywhere All At Once’ untuk kategori Best Picture pada ajang Oscar 2023 menunjukkan film bergenre fantasi tak lagi menjadi anak tiri di ajang Oscar.

title

FROYONION.COM - Tak ada yang benar-benar tahu apa kriteria film terbaik (Best Picture) menurut para juri ajang Oscar. Namun jika kita melihat ke belakang, film-film yang memenangkan nominasi utama dalam ajang ini, punya beberapa kemiripan.

Misalnya, film tersebut punya cerita dan pesan yang kuat. Tak hanya soal visual mentereng dan pemilihan cast jempolan, melainkan juga soal kedalaman cerita. Serta soal bagaimana sang sutradara meramu sumber daya yang dimilikinya agar pesan yang ingin diungkapkannya sampai kepada penonton. Tak nyangkut di tengah perjalanan, apalagi sampai hilang sama sekali setelah lampu bioskop kembali dinyalakan.

Kriteria lainnya, film itu biasanya film berbahasa Inggris. Tak heran jika akhirnya banyak film produksi Hollywood memenangkan nominasi Best Picture ini. Hal ini jugalah yang membuat saya meragukan filmnya Bong Joon-ho, berjudul Parasite akan memenangkan Oscar pada tahun 2020 lalu. Alasannya, film tersebut adalah film berbahasa non-Inggris.

Dalam diskusi bersama seorang kawan yang sinefil akut, saya menanyakan kemungkinan Parasite memenangkan nominasi Best Picture di ajang Oscar. Sebab dari segi kedalaman cerita, Parasite sangat memenuhi syarat. Akting para cast juga visual apalagi scoring musiknya betulan sempurna. Hanya satu batu sandungan yang mencegahnya lebih bersinar di ajang Oscar, yaitu film ini full memakai bahasa Korea.

Saat itu kawan saya menjawab, "Saya sih pengennya Parasite bisa menang. Tapi kamu tahu sendiri 'kan, juri Oscar ada kebiasaan lebih mengutamakan film berbahasa Inggris jadi pemenangnya. Saya rasa sulit, tapi bukan berarti nggak mungkin."

Pada akhirnya para juri memilih film ini sebagai film terbaik di ajang Oscar 2020. Dibanding pesaingnya, jelas Parasite memang lebih layak ketimbang lainnya.

The Irishman mungkin akan mengingatkan kita pada film The Godfather yang juga pernah memenangkan kategori Best Picture. Tapi jelas sosok Frank dalam film ini kalah karismatik ketimbang sosok Don Corleone.

Pesaing terberat adalah film 1917 yang punya visual memukau dan konsep yang nyentrik. Pengambilan gambar yang diatur sedemikian rupa hingga tampak seperti one shot, mengingatkan saya pada film Birdman yang memenangkan kategori tersebut. Namun kualitas terbaik dari film garapan Sam Mendes ini hanya berhenti pada visual dan konsep yang diusungnya, bukan pada ceritanya.

Joker punya cerita lebih baik ketimbang dua film tersebut. Namun film ini adalah film (villain) superhero. Hingga saat ini belum ada film superhero yang berhasil memenangkan kategori ini. Bahkan film The Dark Knight garapan Nolan yang idealis banget itu saja tak masuk nominasi itu. Hal ini karena film semacam ini seolah masuk ke ranah fantasi.

Seakan memperpanjang kesialan film superhero di ajang Oscar, film The Batman yang rilis di tahun yang sama dengan film Everything Everywhere All At Once, tak masuk nominasi ini. Lebih sialnya, meski masuk ke beberapa kategori nominasi Oscar, film yang dibintangi cowok tertampan sedunia ini, seolah "dilecehkan" dengan tak memenangkan satu pun nominasi. Bahkan Robert Pattinson yang sixpack itu kalah tenar dengan Brendan Fraser yang gendut di ajang Oscar kali ini.

Selain film superhero, menangnya film bergenre fantasi di ajang Oscar untuk kategori Best Picture bisa dibilang sebagai suatu keajaiban. Keajaiban pertama terjadi pada film The Lord of the Rings: The Return of the King garapan Peter Jackson. Bahkan mereka mesti menunggu hingga seri ketiga sekaligus terakhir untuk memenangkannya.

Padahal harus diakui, kualitas cerita juga visual dari dua seri sebelumnya tak kalah menarik.

Dunia yang dibangun dalam trilogi film ini betulan seperti menarik kita ke negeri dongeng. Oleh karenanya, kemenangan film yang murni fantasi ini, bisa dibilang sebagai keajaiban yang langka. Namun jika melihat film-film pesaingnya pada tahun tersebut, jelas film ini jauh melampaui. Apalagi jika trilogi film tersebut dianggap sebagai satu film saja.

Namun, keajaiban terulang ketika film fantasi lainnya menang kategori ini pada ajang Oscar 2018 silam. Film tersebut adalah The Shape of Water garapan Guillermo del Toro, yang menceritakan kisah cinta antara seorang perempuan bisu dengan seorang manusia ikan.

Akan tetapi, kemenangan film tersebut bisa dibilang janggal karena beberapa alasan. Pertama, karena adanya beberapa kontroversi yang menyertainya. Salah satu yang paling kencang berhembus adalah tuduhan adanya plagiasi.

Film The Shape of Water dianggap memplagiasi film berjudul Let Me Hear Your Whisper. Alasannya, karakter di dalamnya memiliki kemiripan. Bahkan dari alur ceritanya pun dianggap nyaris sama. Meski begitu del Toro membantahnya dan ajang Oscar tetap memasukkan film ini ke dalam nominasi.

Kedua, karena pesaing film tersebut juga tak kalah menarik bahkan memiliki tema yang kuat dan visual yang lebih mentereng. Pada tahun tersebut, bisa dibilang, juri Oscar kesulitan untuk menemukan film manakah yang terbaik, sebab banyak sekali film tier S yang masuk kategori tersebut.

Di tahun tersebut ada nama Nolan dengan filmnya yang memukau berjudul Dunkirk. Bisa dikatakan ini film yang cerdas karena bisa menghadirkan suasana perang sungguhan di dalam studio bioskop. Dari visual hingga scoring-nya, film ini betulan sempurna.

Tak hanya Dunkirk, pesaing berat The Shape of Water muncul dari film Three Billboard dan Lady Bird yang sama mengusung cerita soal relasi ibu dan anak. Hanya saja, jika mesti memilih mana yang lebih oke, jelas saya bakal memilih Three Billboard.

Dan alasan kedua inilah yang sebenarnya jadi batu sandungan bagi The Shape of Water sehingga menjadikan kemenangan film ini terasa janggal. Sebab di antara banyaknya film berkualitas yang tak bergenre fantasi, kenapa juri Oscar malah memilih satu-satunya film fantasi yang masuk dalam nominasi tersebut.

Jika mau berprasangka baik, mungkin juri Oscar memilih film ini karena keunikannya. Dalam film The Shape of Water tersebut, sepasang kekasih tersebut sama-sama tak bisa berbicara namun entah karena kekuatan cinta atau apalah itu, perasaan masing-masing bisa tersampaikan. Menonton film ini seperti menonton film bisu yang paling "berisik".

Saya rasa keajaiban tak seharusnya terjadi berulang kali, namun nyatanya keajaiban itu terjadi ketiga kalinya dengan terpilihnya film Everything Everywhere All At Once untuk kategori film terbaik Oscar 2023. Dan jujur saja, ini adalah kemenangan yang pantas.

Meski bergenre fantasi, film ini punya kedalaman cerita yang mumpuni, begitu pun dengan pesan yang diusungnya. Konsep ceritanya unik, yaitu soal bagaimana setiap pilihan kita, apa pun itu, bisa menciptakan semesta yang baru.

Alasan lainnya, yang membuat film tersebut pantas menang adalah dari pesaingnya. Jujur saja, melihat film-film lainnya yang masuk nominasi Best Picture, film Everything Everywhere All At Once jelas tak ada lawan.

Rasanya sulit mengharapkan film Avatar 2 dapat memenangkan kategori ini. Meski visualnya memukau, namun cerita yang diusung hanya seperti gado-gado dari film-film James Cameron terdahulu. Juga kita tak bisa mengharapkan Top Gun: Maverick apalagi film Elvis. Satu-satunya yang bisa dianggap pesaing rasanya hanya The Fabelmans, namun sayang ceritanya kurang kuat bahkan cenderung bertele-tele.

Meski begitu, terlepas dari alasan-alasan tersebut, kemenangan film Everything Everywhere All At Once menunjukkan makin luasnya genre film yang dapat memenangkan kategori film terbaik Oscar. Bahkan masuknya film Avatar 2 yang sangat bergantung dengan CGI, ke nominasi ini, menunjukkan bahwa Oscar sudah membuka pintu untuk film-film semacam ini untuk menang. Saya kira, tinggal tunggu waktu saja film superhero garapan DC maupun Marvel untuk masuk nominasi tersebut. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan