Movies

BAND RAVAGE: MELAWAN STIGMA DAN TONGGAK FEMINISME SKENA HARDCORE

Band musik underground asal kota Batu Malang Ravage, memiliki karakter tersendiri dengan wulan sebagai frontman. Bagaimana perjalanan sang vokalis melawan stigma feminisme di sekelilingnya?

title

FROYONION.COM - Halo Civs! Udah pernah denger belum, lagu-lagu dari band lokal kita yang bertempat di Batu Malang. Kalo lo suka musik-musik keras bergenre hardcore atau underground, lo wajib banget dengerin band Ravage ini. Atau buat lo juga yang penasaran, dan pengen cobain experience bergenre musik keras.

Di ranah musik underground sendiri didominasi oleh laki-laki, yang tentunya terdapat stigma bahwa di dalam budaya skena musik underground hanya boleh dihadiri oleh laki-laki yang maskulin, dan perempuan tidak akan berani datang sekalipun datang tidak akan berani mengikuti aktivitas gigs atau acara.  Kota Batu sendiri memiliki band bernama Ravage bergenre power violence oleh Dewi Nawang Wulan sebagai ujung tombak.  Salah satu frontman perempuan yang kini masih tetap ber-progress melawan stigma-stigma tersebut.

PROLOG DAN PROSES

Perempuan lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya kelahiran Malang 22 Juni 1997 ini sebelum terjun ke skena hardcore punk sedari kecil sudah terjun ke dunia seni tari tradisional. Lalu saat ia kelas 3 SMP ia mulai mengenal dunia underground.  

"Sebenarnya di awal belum tertarik dengan genre ini karena baru tahu juga, tetapi setelah mengenal dan mempelajari sampai saat ini jadi mendalami, yang bikin aku tertarik dari segi musik powerviolence atau hardcore punk sih karena sangat beragam dan unik yang kemudian menggugah rasanya untuk mengeksplor bagaimana sih bikin musik bergenre power violence/hc punk yang dapat diterima oleh orang banyak. Kebetulan saat itu power violence masih belum ada di Kota Batu, sehingga Ravage band cukup outstanding," jelas Wulan. 

Kemudian setelah mulai mengenal dan menyukai genre tersebut, barulah Wulan memulai petualangannya menjelajahi ranah musik underground. "Awal dari memulai band itu waktu kelas 10 SMA ada kakak kelas yang tahu aku suka musik underground, gabunglah Six Sacrifices”, jelas Wulan. 

Setelah beberapa kali melihat Wulan perform, saat itulah Agus (gitaris band Lemah Syahwat)  ini mengajak Wulan. “Dia aku ajak untuk ngisi jadi vokalis Ravage di tahun 2015," terang Agus.

Ravage waktu itu masih beranggotakan Agus (gitaris rhythm), Wulan (vokalis), Tedja (drummer), Wahyu (bassis). “Kami memutuskan membuat EP pertama kami di tahun 2016 yang bertajuk Falling Apart berisi 6 tracks dan dirilis oleh Tarung Records bekerja sama dengan Here To Stay. 

Di awal tahun 2017 mereka mengeluarkan Wicked Smoke yang dirilis Tarung Records secara terbatas dalam bentuk cassette tape. Barulah di tahun 2018 bergabung personel baru Dana di gitar lead, ucap Wahyu.

FONDASI JATI DIRI

Kebanyakan orang bergabung maupun membentuk sebuah band, karena terinspirasi atau termotivasi oleh sesuatu yang menggugah perasaannya, begitu juga dengan Wulan pada awal menjadi personel band. 

"Vokalis Wolf Of Jericho (Candace) karena memang dari awal pingin punya band yang genrenya kayak WOJ. Kemudian ada juga waktu dulu masih jamannya (Gania) Billfold sama jamannya (Phopi) Lose It All. Mereka jadi memotivasiku jadi personil band untuk menunjukkan perempuan juga bisa dan ada suatu hal yang tidak akan kalian temukan di tempat lain selain hardcore

Karena jika seseorang telah mendalami hardcore punk, maka seseorang tersebut akan paham kenapa banyak orang tetap berpartisipasi, bukan hanya sekedar dari musik atau lirik, tetapi seluruh semangat dan solidaritas yang ada di komunitas, terlepas dari orang yang kolot," ungkap Wulan.

Menjadi frontman tentunya perlu persiapan dan jam terbang yang cukup banyak, maupun laki-laki atau perempuan dalam genre musik apapun.  Dalam berlangsungnya acara pun frontman akan menghadapi kendala secara pribadi seperti takut, kaku, malu, berkomunikasi dengan penonton, dan lain sebagainya. 

Namun terdapat sedikit perbedaan dalam gigs hardcore sendiri yaitu lokasi perform, yang bisa dibilang lebih dekat dan intim dengan para penonton, tidak selalu ada jarak antara penonton dan band, juga tidak selalu luas.  

"Memahami kondisi moshpit adalah salah satu hal yang vital khususnya untuk frontman perempuan. Dulu ketika awal perform juga pernah diremehkan atau diujar kebencian seperti ‘Ngapain anak perempuan masuk gigs hc? Emang bisa? Apa cuman jadi pemanis aja?’  Tapi untungnya sampai saat ini tidak pernah mengalami pelecehan seksual (sexual harassment). Seiring perkembangan zaman banyak laki-laki yang tidak memandang gender, open minded nggak kayak jaman dulu yang masih ada toxic masculinity," ungkap Wulan.

"Untuk para perempuan di luar sana, jangan pernah merasa takut untuk terjun ke skena underground. Tunjukkan bahwa kalian juga bisa berkontribusi di tempat yang mayoritasnya laki-laki. Maju terus, terus berkarya dan jangan takut untuk dipandang sebelah mata, Kita bisa! Do what you love to do, regardless of what people say about you!” tutup Wulan.

Secara tidak langsung Wulan adalah salah satu contoh nyata, perkembangan sosial dari bangsa kita Indonesia. Sebelumnya atau bahkan saat ini, masih banyak pemikiran hingga budaya, yang menjadikan perempuan memiliki keterbatasan tersendiri, dalam beberapa bidang. Entah dalam bidang pekerjaan atau profesi, hingga dalam bidang sosial yang ada.

Akui saja di sekeliling kita, masih banyak individu bahkan sekelompok orang. Yang masih terpaut pada pemikirannya yang bisa lo sebut (kolot). Kebebasan berekspresi menjadi korban dari perlakuan sosial tersebut. (*/)

BACA JUGA: GRUP MUSIK ‘SIMPLE SET’: BERMUSIK SEBAGAI ‘COPING MECHANISM’ DAN REKREASI

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Orazah

Mahasiswa aktif tapi bukan aktivis, hobi menulis dan membaca kalua lagi pengen. Freelancer top up diamond game mobile, kadang juga kerja serabutan jadi volunteer penerima dana prakerja.