
Dulu manusia silver ini bercita-cita jadi guru atau dokter kayak anak-anak lain. Tapi kalau sekarang yang penting bawa pulang susu buat anak aja.
FROYONION.COM – Indah (bukan nama asli) kembali terbangun di pagi hari yang cukup sibuk. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil ‘mengumpulkan nyawa’ untuk kembali beraktivitas. Hari baru kesempatan baru, pikirnya.
Ketiga anaknya pun ia bangunkan. Si sulung berumur 4 tahun yang lagi aktif-aktifnya harus bangun untuk sekolah. Si tengah umur 1,5 tahun juga harus bangun untuk sarapan. Begitu juga dengan si bungsu yang masih 4 bulan, mulai mencari ibunya untuk meminta susu.
“Pak, ini bawa dulu minumnya sebelum narik,” kata perempuan 30 tahun itu sambil memberi bekal botol minum kepada suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai supir angkot.
Nasi putih, ikan tongkol, dan cah kangkung jadi menu santapan mereka untuk hari itu. Sederhana tapi cukup untuk lima orang. Bergizi juga dan bisa jadi benteng supaya terhindar dari COVID-19 sebagai pengganti jarum suntik vaksin yang belum bisa mereka dapatkan.
Siang hari, matahari semakin tinggi di langit Tangerang Selatan. Setelah menyelesaikan urusan beres-beres rumah, ibu beranak tiga ini harus segera bersiap-siap untuk mencari nafkah di sore hari nanti.
“Bu, saya titip anak-anak lagi ya. Udah mau turun ke jalan nih bentar lagi,” tutur Indah kepada tetangganya.
Anak-anak itu memperhatikan ibunya yang sedang mempersiapkan berbagai ‘alat perang’. Tas berisi pigmen bubuk perak, minyak goreng yang seharusnya ada di dapur, obat oles anti nyamuk yang setiap malam dioleskan ibunya kepada mereka, juga sabun cuci piring yang juga dibawa dari dapur turut dimasukkan ke dalam tas.
Mereka selalu bertanya-tanya dalam hati untuk apa semua barang itu, tapi mereka nggak pernah nanya. Kalau nggak salah, semenjak virus aneh berkeliaran, ibu mereka jadi sering keluar di sore sampai malam hari. Apalagi sejak ibu mengandung adik paling kecil mereka, kondisi jadi sedikit lebih sulit dari biasanya. Setidaknya, itu lah yang mereka tahu.
Indah memang sengaja merahasiakan pekerjaan yang sudah ia jalani selama satu tahun ini dari anak-anaknya. Mereka nggak perlu tahu apa yang dia lakukan, yang penting mereka tahu kalau tiap pagi akan selalu ada makanan di meja dan rumah buat mereka tidur.
Pikiran inilah yang mendorong Indah untuk melakukan hal yang nggak pernah dibayangkan sebelumnya. Dia nggak pernah nyangka kalau kelak dia bakal menutupi seluruh tubuhnya dengan cat, berpose di tengah lampu merah, dan berusaha mengumpulkan sepeser demi sepeser untuk dibawa pulang.
Ya, jadi manusia silver.
Di berbagai kota besar, wujud manusia silver yang kerap mengisi jalanan khususnya di persimpangan lampu lalu lintas pasti sering kita lihat. Kadang satu, dua, bahkan sekelompok orang berkulit perak dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kadang bawa kardus, kaleng, atau ember untuk dibawa mengelilingi para pengemudi. Berharap ada yang cukup bermurah hati untuk memberi.
Pemandangan yang nggak jarang kita lihat, sebenernya. Tapi mungkin cerita di balik itu cukup jarang diketahui.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore hari. Indah sudah sampai di persimpangan lampu merah Jl. Raden Patah, Ciledug. Sengaja jauh dari rumah, supaya tetangga dan anak nggak ada yang tahu.
Rupanya teman-temannya sudah sampai duluan dan mulai meracik cat untuk segera dioleskan ke tubuh. Racikan cat sablon itu memang mengandung bahan kimia dan logam berat seperti timbal dan titanium yang berbahaya untuk kulit. Menurut Ikatan Dokter Indonesia, bahayanya bisa berupa timbulnya ruam, dehidrasi, syok sampai risiko kanker kulit yang meningkat. Tapi Indah nggak peduli.
Setelah beres meracik, Indah dan teman-temannya segera mengoleskan cat itu ke sekujur tubuh mereka. Nggak terkecuali helaian rambut dan jari kaki. Satu sama lain saling memastikan kalau sekujur tubuh udah jadi silver.
Sekitar lima menit menuju pukul empat sore, Indah mulai mengumpulkan kembali keberanian dan mengesampingkan rasa malu yang sering kali ia rasakan. Dalam lima menit yang singkat itu, kilasan perjalanan hidup yang sudah Indah lewati seakan-akan berputar kembali di benaknya.
Merantau dari Tasikmalaya ke daerah perkotaan dekat ibu kota untuk ikut suami sekaligus mencoba peruntungan, ternyata nggak seindah yang dibayangkan. Sejak pandemi, lowongan sebagai penjaga toko udah nggak pernah ditawarkan lagi ke Indah.
Sungguhan, ini semua karena unsur ‘kepepet’ sama tuntutan ekonomi yang nggak kunjung membaik. Bahkan keluarga di kampung nggak ada yang tahu kalau Indah bekerja sebagai manusia silver.
“Malu saya. Keluarga besar nggak ada yang tahu kalau saya jadi begini. Lebih baik mereka nggak tahu, daripada khawatir,” tuturnya.
Akhirnya tepat pukul empat sore, Indah berjalan menuju lampu merah itu. Tempat berhentinya kendaraan yang hendak pulang atau pergi ke tujuan masing-masing. Beruntungnya mereka, pikir Indah. Sering juga Indah membayangkan kalau seandainya dia bisa bertukar posisi dengan salah satu pengemudi motor yang kelihatannya abis pulang kantor. Mungkin dia akan punya cerita hidup yang berbeda 180 derajat dari yang sedang ia jalani.
Lampu lalu lintas berubah merah, pertanda Indah untuk buru-buru berpose di tengah jalan. Pose hormat jadi pose andalannya. Setelah berpose dan senyum selama beberapa detik, ia segera berkeliling sambil membawa ember yang menjadi wadah sedekah. Jangan berharap banyak, itu yang selalu Indah ulang-ulang dalam hati.
“Kalau di tengah pandemi gini, cepek (Rp100.000) aja udah alhamdulillah. Jarang juga nyampe segitu,” kata Indah yang ternyata punya hobi menyanyi.
Jumlah yang kadang bisa melayang gitu aja dalam satu kali nongkrong buat kita. Tapi bener-bener berharga buat Indah dan anak-anaknya.
Rutinitas ini ia lakukan hari demi hari. Selesai jam delapan malam, Indah dan teman-temannya menuju kamar mandi umum terdekat untuk membasuh tubuh dengan sabun cuci piring. Nggak bakal mempan soalnya kalau pakai sabun biasa.
Kalau masalah kulit memang Indah punya pandangan yang sangat berbeda dengan perempuan zaman now. Bukan skincare mahal yang dia butuhkan, cukup sabun Sunlight seharga Rp5.000 aja.
Selepas itu, Indah segera pulang ke rumah. Nggak lupa bawa susu untuk anak bungsunya dari pendapatan sebagai manusia silver. Sisanya untuk ke pasar besok pagi, beli bahan makanan untuk satu keluarga.
Sampai di rumah, anak-anak itu senang sekali menyambut ibunya. Gigi ompong yang kelihatan karena senyum lebar mereka adalah motivasi terbesar untuk Indah. Meskipun berat, Indah nggak akan pernah nyerah.
Katanya, “Kalau saya nggak bisa meraih cita-cita, nggak apa-apa. Tapi anak-anak saya insyaAllah bisa.”
Malam pun tiba, akhirnya Indah bisa berbaring di kasurnya. Menjadi manusia silver bukan hal yang mudah untuknya. Apalagi sambil merahasiakan itu dari keluarga dan anak-anaknya. Tapi untuk Indah, menyerah bukan jadi pilihan. Meski kadang malu dan bikin sedih, Indah akan terus berjuang. Sambil membawa doa dan harapan untuk hari esok, Indah pun terlelap.(*/Grace)