Food

INDUSTRI PANGAN KOREA SELATAN GALAKKAN SERTIFIKASI HALAL DEMI PASAR INDONESIA

Pemerintah Korea Selatan menandatangani MoU dengan Indonesia bahwa kedua negara akan dapat bekerja sama pada bidang makanan halal. Hal ini nggak lepas dari besarnya pasar makanan Korea di Indonesia. Sebesar apa, sih?

title

FROYONION.COMDemam Korea di tanah air nggak hanya terbatas pada musik dan tayangan drama. Makanan khas Negeri Ginseng yang banyak ditampilkan dalam media hiburan mereka turut jadi konsumsi anak-anak muda Indonesia. Ramyun, kimchi, tteokbokki, odeng pasti sudah nggak asing lagi di telinga kalian.  

Namun, pemasaran produk makanan Korea di Indonesia ini sendiri terhalang sertifikasi halal. 2017 lalu santer berita bahwa mie samyang ternyata nggak memiliki label halal pada kemasannya. Produk Mie Samyang (U-Dong) dan Samyang rasa kimchi bahkan resmi ditarik oleh BPOM dan dinyatakan positif mengandung fragmen babi.  

Kini, industri pangan Korea Selatan lebih getol lagi menargetkan pasar makanan halal di Indonesia. Pemerintah Korea Selatan baru-baru ini telah menandatangani nota kesepahaman atau MoU dengan Indonesia guna bekerja sama dalam bidang pangan.  

Tujuannya adalah ekspansi ke pasar lokal, termasuk di antaranya pelonggaran standar sertifikasi makanan halal. Jelas, hal ini dilakukan mengingat besarnya target pasar di Indonesia. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, pasar makanan halal di Indonesia konon bernilai 300 triliun won tiap tahunnya. 

Ukuran pasar konsumsi halal di Indonesia sendiri pada 2020 lalu tercatat sebesar $184miliar dan menjadi yang paling besar di dunia. Angka ini diperkirakan akan terus tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 13% atau sekitar $349 miliar pada 2025 mendatang.  

Inilah mengapa perusahaan pangan Korea Selatan nggak mau menyerah dalam memperjuangkan sertifikasi halal walau prosesnya nggak mudah. Sertifikat dari Korean Muslim Federation (KMF) sendiri nggak berlaku di Indonesia, sehingga mau nggak mau produk-produk pangan Korea Selatan harus mendapat sertifikasi MUI.  

Padahal, untuk mendapatkan sertifikasi ini sendiri cukup sulit karena harus melalui serangkaian prosedur yang rumit. Perusahaan harus mengundang perwakilan Indonesia secara berkala ke pabrik produksi sebagai salah satu syarat mendapat sertifikasi produk.  

Perusahaan-perusahaan mengeluhkan kesulitan dalam menanggung biaya perjalanan dan biaya hidup staf hingga munculnya penurunan efisiensi manajemen terkait ketidaknyamanan prosedur. Industri pangan kemudian percaya bahwa kemungkinan besar sertifikasi halal akan bisa diperoleh melalui langkah-langkah spesifik dalam MoU ini.  

BACA JUGA:

BEDA DARI ANAK MUDA KOREA YANG BISA PILIH MENGANGGUR, ANAK MUDA INDONESIA TAK PUNYA PILIHAN SELAIN KERJA  

Daesang, salah satu perusahaan yang sudah berbisnis di Indonesia sejak 1973, saat ini tercatat masih menjual kimchi Jongga, minyak kedelai dan kopi instan dari merek lokal Mamasuka dengan sertifikasi MUI. Pada 2021, Daesang menggunakan pasar Indonesia sebagai basis utama bisnisnya di luar negeri.  

Nggak tanggung-tanggung, penjualan Daesang di Indonesia mencapai 436 miliar won atau sekitar 37% dari total penjualan luar negerinya. Target penjualan lokal mereka sendiri ada di angka 1.4 miliar won pada 2030.  

Perusahaan ramen Nongshim dan Samyang juga turut menyasar pasar Indonesia melalui sertifikasi MUI. Samyang terutama berniat memperluas ekspor seiring populernya Fire Chicken Noodle Challenge yang viral di sosial media. Hingga saat ini, sudah ada 30 produk Samyang yang mengantongi sertifikasi halal MUI.  

Nggak mau ketinggalan, ada Go Pizza yang telah menjadi merek pizza Korea Selatan pertama yang mendapat sertifikasi halal MUI. CEO Go Pizza Singapura, Kelvin Sia, mengungkap bahwa peralihan ke merek halal akan meningkatkan penjualan hingga 15 - 25% di negara-negara dengan populasi umat Islam yang tinggi.  

Namun, ada pula pihak yang mengatakan bahwa jadwal politik Indonesia terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Februari 2024 mendatang akan turut menghambat proses ini. Akan butuh waktu beberapa bulan lebih lama sebelum proses sertifikasi halal dapat benar-benar dilaksanakan.  

BACA JUGA:

ALASAN KENAPA DRAMA KOREA BISA TERUS DIMINATI OLEH PENONTON SETIANYA 

Popularitas Korean food di Indonesia memang luar biasa. Bahkan, bukan hanya merek-merek ternama asli Korea saja yang digemari di sini. Gerai-gerai makanan yang menjual makanan ala-ala Korea juga bisa dengan mudah ditemukan dan tetap ramai pembeli.  

Maka, sebenarnya sudah bukan hal mengejutkan lagi ketika akhirnya Korea Selatan memperjuangkan betul sertifikasi halal pada produk-produk pangannya yang diekspor ke luar negeri. Peluang bisnis terbuka lebar di negara-negara mayoritas Muslim termasuk Indonesia.  

Bahkan, di negara-negara Eropa pun banyak ditemukan produk-produk makanan Korea yang dijual dengan sertifikasi halal MUI. Ini langkah yang terbilang efisien karena daripada mengambil sertifikat halal lagi di Eropa, lebih baik mengekspor produk yang sudah tersertifikasi halal di negara mayoritas Muslim. 

Nggak menutup kemungkinan nantinya akan semakin banyak produk pangan Korea Selatan yang masuk ke pasar Indonesia. Jin Ramen, misalnya. Produk mie instan yang menggaet Jin BTS sebagai brand ambassador-nya ini sampai sekarang belum memiliki sertifikasi halal.  

Padahal, basis penggemar BTS sangat besar di tanah air. Apapun produk yang diiklankan oleh member BTS juga sangat cepat terjual habis. Bisa dibayangkan berapa keuntungan Jin Ramen apabila mereka berhasil mendapatkan sertifikasi halal MUI. 

Fenomena ini turut membuat netizen bertanya-tanya, seiring dengan masifnya ekspansi produk pangan Korea Selatan ke Indonesia, apakah kuliner lokal patut merasa takut dan tersaingi? Jawabannya, tentu tidak.  

Kuliner lokal akan tetap memiliki penikmatnya sendiri. Harga makanan Korea yang relatif lebih mahal dan rasanya yang belum tentu bisa diterima oleh lidah orang Indonesia akan membuat kuliner lokal tetap jadi pilihan utama buat sebagian besar orang.  

Tenang, rezeki nggak akan tertukar dan Indomie masih lebih murah daripada Samyang. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Wahyu Tri Utami

Sometimes I write, most of the time I read