Stories

YACKO: MENGAJAR UNTUK BELAJAR, BERMUSIK UNTUK SHARING

Musik Hip Hop identik dengan kesan maskulin dan nyentrik. Di sini kita ngobrol dengan Yacko, seorang rapper perempuan yang nggak biasa. Dia bakal sharing gimana dia menyeimbangkan karier musiknya dan panggilan jiwa untuk menjadi pengajar alias dosen.

title

FROYONION.COMBeberapa tahun terakhir, playlist dari tangga lalu teratas dunia banyak dihiasi dengan lagu-lagu bernuansa Hip Hop. Aransemen upbeat dan lirik padat berima, jadi ciri khas dari genre musik yang lahir di negeri Paman Sam tersebut. 

Ngomong-ngomong soal rima, gue rasa orang Indonesia sebenernya udah cukup dekat dengan teknik penulisan sajak ini, biasanya sih diaplikasikan dalam bentuk pantun atau puisi. Nggak heran kalo akhirnya gelombang tren musik Hip Hop sampai juga ke tanah air, tentu yang masih hangat adalah cerita Rich Brian yang berhasil jadi salah satu (kalo nggak bisa dibilang pertama) rapper Indonesia yang menghiasi tangga lagu internasional. 

Satu hal yang gue sayangkan, sebagian besar masyarakat kita masih lebih fokus melihat pelaku Hip Hop dari segi penampilannya aja. Kalung bling-bling, pakaian gombrong (yang belakangan jadi tren juga), sampai tattoo yang menghiasi kulit, akhirnya bikin kesan bahwa pelaku Hip Hop itu udah pasti ‘liar’. Lebih sedihnya lagi, yang dianggap ‘keren’ itu biasanya dari luar negeri.

Jauh sebelum hegemoni ‘Dat $tick’-nya Brian, sejatinya Indonesia udah punya banyak rapper andal. Salah satunya adalah Yackorapper asal Surabaya yang sudah aktif bermusik sejak tahun 90-an. Siapa sangka, sosok perempuan nyentrik bernama asli Yani Oktaviana ini sehari-harinya aktif jadi Head of Campus! Hmm.. gimana ceritanya?

MINORITAS DI SKENA HIP HOP

Yacko ketika manggung di Flavs The Seeds 2021 (Foto: Dok. pribadi Yacko)

Yacko besar di keluarga yang memiliki latar belakang musik, di mana ibu dan omnya pernah aktif nge-drum. Dari usia 4 tahun, Yacko sudah dibiasakan untuk berani tampil di atas panggung. 

“Dulu waktu SD di Surabaya, gue sering manggung di acara komplek. Pas 17-an suka ada panggung gitu. Bawain (lagu)-nya macem-macem, mulai dari Scorpion, Anggun C. Sasmi, Gombloh, pokoknya lagu apa aja dibawain deh, hehehe..,” kenangnya.

Pertama kali Yacko terpapar dengan musik Hip Hop adalah pada saat ia duduk di bangku SMP. Tanpa sengaja, Yacko mendengarkan musik Hip Hop di radio dan tertarik dengan beat-nya yang bisa bikin kepala ngangguk-ngangguk.

Berangkat dari ketertarikan itu, Yacko mempelajari lebih lanjut tentang musik Hip Hop sampai akhirnya bergabung dan dari sebuah grup yang bernaung di sebuah radio. Yacko menyadari bahwa ternyata musik Hip Hop memiliki kelebihan unik, yaitu kebebasan membahas banyak hal dalam lirik. Ditambah dengan kebiasaannya menulis diary, Yacko makin merasa bahwa Hip Hop adalah wadah yang cocok untuknya. 

Tapi ternyata, jalan untuk menjadi seorang rapper gak semulus aspal Sudirman, Civs. Banyak banget tantangan buat seorang Yacko untuk bisa menggapai impiannya.

Kehadirannya di skena musik Hip Hop punya misi: membuat anak Hip Hop lebih melek isu gender.  (Foto: Dok. pribadi Yacko)


“Zaman gue dulu gak banyak pilihan (soal referensi lagu), ngikut tren dari radio aja. TV juga cuma musik-musik mainstream yang diputer, Hip Hop belom masuk. Jadi, satu-satunya cara buat ngikut tren kalo gak dari majalah, ya radio,” jelasnya.

Sebagai seorang perempuan yang masuk ke ‘musiknya laki-laki’, Yacko juga punya pengalaman nggak enak. Mulai dari dilarang nge-rap sama pacarnya, bertengkar dengan teman sesama pelaku Hip Hop, diremehkan sama penyelenggara festival, sampai dilecehkan pas manggung udah pernah dialami ibu satu anak ini.

Namun, hal tersebut tidak membuat Yacko patah semangat. Berkat kerja keras dan tekadnya, perlahan orang-orang mulai bisa menerima karyanya. Satu per satu mimpinya di Hip Hop tercapai, seperti merilis album, manggung di luar negeri, hingga menyekolahkan putrinya dari uang hasil ia berkarya di Hip Hop.

“Gue terkadang sampe ngerasa Hip Hop itu manjain gue. Karena alhamdulilah, mimpi gue di Hip Hop satu per satu tercapai,” ucapnya.

Terkait gender issue yang sudah mengakar di Hip Hop, Yacko mencoba untuk mengedukasi orang-orang baik itu pelaku maupun penikmat Hip Hop untuk tidak menormalisasi hal tersebut. Ini dibuktikan ketika ia berkesempatan menjadi Program Director dari sebuah festival Hip Hop bertajuk “Flavs The Seeds”, di mana Yacko menyelipkan iklan layanan masyarakat tentang kekerasan cyber berbasis gender.

Berat sih sebenernya kalo ngomongin Hip Hop dan perempuan. Bahkan sampai sekarang masih banyak yang belom aware sama hal ini. Tapi gue akan coba terus edukasi agar nantinya hal ini nggak terus-terusan dinormalisasi sama orang-orang,” tegas Yacko.

Dari banyaknya hal di skena Hip Hop yang kurang bersahabat untuk perempuan, Yacko tetaplah Yacko. Ia membuktikan bahwa gender bukan menjadi sebuah alasan untuk berhenti berkarya. Bahkan, dari sini Yacko justru bisa teriak lebih keras untuk mereka yang masih suka mengglorifikasi tentang gender issue. Semakin kencang isu tersebut berhembus, akan semakin lantang pula Yacko bersuara untuk menghentikan hal tersebut. 

“Bukan untuk sok keren apa gimana, justru dengan begini sebenernya gue berusaha untuk jadi normal aja, hahaha..” kata Yacko sambil tertawa kecil.

MENGAJAR UNTUK BELAJAR

Yacko bersama anak didiknya. (Foto: Dok. pribadi Yacko)

Di samping kesibukannya sebagai rapper, siapa sangka ternyata Yacko juga berprofesi sebagai dosen dan Head of Campus di UniSadhuGuna, Pondok Indah, yang disebutnya sebagai program kampus untuk kuliah di luar negeri.

Entah lo setuju atau nggak, tapi menurut gue rapper dan dosen adalah dua bidang gue sangat bertolak belakang. Terus gue mikir: kok bisa rapper kepikiran buat jadi dosen?

“Gue mulai kepikiran mau ngajar itu pas kuliah, karena gue sadar gue orangnya seneng sharing dan suka mendengarkan. Di Hip Hop kan prinsipnya sharing message ya, waktu itu gue kepikiran pengen rilis album. Nah, untuk bisa sharing kan kita perlu mendengar juga. Perlu belajar gitu lah, baru akhirnya kita bisa sharing. Akhirnya gue mencari pekerjaan yang kira-kira bisa bikin gue sharing sekaligus belajar, barulah kepikiran kenapa nggak ngajar aja? Ternyata frekuensinya sama kayak Hip Hop,” Yacko menjelaskan.

Pada tahun 2006, Yacko yang baru menyelesaikan studi Master-nya langsung mencoba apply ke salah satu college di Jakarta Barat untuk mengajar dan diterima, meskipun sebelumnya ia nggak punya pengalaman ngajar ataupun sekedar jadi asisten dosen semasa kuliah.

Yacko sedang mengajar di kelas (Foto: Dok. pribadi Yacko)

Ada masanya Yacko mencoba untuk memisahkan personanya ketika manggung dan mengajar. 

“Karena gue nggak mau keliatan rambut warna-warni pas ngajar, gue sampe pake wig. Terus kan gue sempet punya smiling piercing juga di area deket gusi atas, itu masih ada pas awal gue ngajar. Beruntungnya sih karena gue mengajar di international college, bos gue masih bisa kasih toleransi, asalkan gue tetep serius ngajar,” kenangnya.

Karena lingkungan kampus yang ternyata bisa menerima, perlahan Yacko tidak lagi memisahkan personanya. Ia nggak terlalu banyak mikir lagi tentang penampilannya, walaupun tetap akan menyesuaikan dalam momen-momen tertentu seperti saat bertemu dengan orang tua murid.

Ketika ditanya mengenai momen yang tak terlupakan ketika mengajar, ada jawaban yang cukup mengejutkan gue.

“Beberapa kali gue dapet calon anak didik yang orang tuanya mempercayakan anaknya untuk kuliah di tempat gue karena sosok gue. Kebetulan anaknya suka musik, ketika melihat gue sebagai Head of Campus juga punya kegiatan bermusik, mereka percaya bahwa anaknya bisa belajar di sini. Gue tersanjung di situ, karena memang gue melakukan ini sebenernya bukan buat apa-apa, tapi impact-nya sampe segininya,” Yacko menjelaskan.

KOLERASI ANTARA BERMUSIK DAN MENGAJAR

Dari aktivitas mengajar ini, banyak hal yang bisa diimplementasikan Yacko ke proses kreatif ketika dirinya sedang bermusik. Menurutnya, berkomunikasi dengan anak didik membantunya untuk tetap relevan terhadap tren yang anak muda zaman sekarang.

Mendengar sharing dari anak didik gue bisa jadi bahan cerita dilirik lagu gue. Hal itu bikin sudut pandang gue dalam melihat banyak hal jadi semakin luas. Misalnya, kalo dulu pas gue remaja kesannya tuh kita nggak boleh stres. Stres dikit pasti akan dikatain ‘haduh gitu aja kok stres sih..’, kalo sekarang nggak semua orang bisa digituin,” tegasnya.

Selain itu, kegiatan Yacko mengajar juga membantunya ketika harus dihadapkan dengan urusan administratif ketika sedang bermusik. Ia jadi tahu bagaimana caranya menulis press release yang baik ataupun menulis profile. Yacko juga melihat bahwa hal ini kurang diperhatikan oleh kebanyakan pelaku Hip Hop tanah air.

“Kadang gue juga gerah ketika media cuma ngeberitain musik yang itu-itu aja, tapi pas gue ngeliat hal ini gue jadi sadar bahwa bisa jadi pelakunya nggak bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh media,” katanya.

Untuk ke depannya, Yacko berharap untuk tetap bisa menjalankan kedua bidang ini dengan baik secara beriringan. Karena bagi Yacko bermusik dan mengajar adalah satu kesatuan yang nggak bisa dipisahkan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Ronald

Half mature music producer / rapper