Stories

KREATOR KOMIK 'BRANDAL' AMIR MALIQ: 'KARYA YANG BAGUS ADALAH KARYA YANG JUJUR'

Sebagai seniman di balik studio Meta Comic, Amir Maliq baru-baru ini merilis komik bikinan studionya secara resmi di Webtoon, dengan judul “Brandal”. Amir membeberkan apa yang ingin ia sampaikan di komiknya itu juga ia bercerita soal dunia perkomikan di Indonesia.

title

FROYONION.COM - Amir Maliq, begitu sapaannya, bisa dibilang satu dari sedikit orang yang mampu hidup dengan menggambar komik. Ia mengelola sebuah studio komik yang diberi nama Meta Comic yang kemudian menjadi sebuah wadah bagi para ilustrator dalam mencari nafkah dari menggambar komik.

Pada Jumat malam (23/12/22), gue berkesempatan menghadiri acara selamatan atas penayangan resmi komik buatannya bersama timnya, yang berjudul Brandal di Webtoon

Saat artikel ini ditulis, komik tersebut menempati peringkat 11 di genre aksi. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah capaian yang bagus untuk komik asal Indonesia yang berebut panggung dengan komik-komik asal Korea Selatan.

Selama ini, Amir menawarkan jasa menggambar komik via Fiver. Studio komik yang dikelolanya itu kerap mendapat pesanan dari pelanggan yang kebanyakan berasal dari luar Indonesia.

Yang menjadi kekuatan Brandal adalah gambarnya yang detail, aksinya yang gila dan cenderung brutal, juga beberapa jokes dan pesan yang ditebar secara implisit.

Brandal jelas bukan komik pertama yang ia bikin. Jauh sebelumnya, Amir bersama seorang kawannya pernah membuat komik yang ia beri judul Dictator.

Komik itu dirilisnya secara mandiri dan menggunakan dana pribadinya untuk ongkos cetaknya. Komik itu mengambil konsep seperti majalah Shonen Jump yang memuat beberapa judul komik dalam satu buku. Namun, proyek idealis itu mesti terhenti dan berimbas cerita di komik tersebut nggak bisa lanjut.

BACA JUGA: TANDUK PUTIH: DIARY ‘LEBAY’ SEORANG KOMIKUS LAMONGAN

Komikus Amir Maliq pembuat karya komik Brandal. (Sumber: Dok. Pribadi)
Komikus Amir Maliq pembuat karya komik Brandal. (Sumber: Dok. Pribadi)

Kerumunan orang yang hadir di acara selamatan itu semakin menyesaki gedung JITC yang berlokasi di Ngagel. Jauh sebelum acaranya dimulai, gue sudah berpesan padanya, "Nanti minta waktunya buat ngobrol-ngobrol."

Amir mengiyakan tapi gue harus menunggu hingga kerumunan itu menyusut. Gue baru dapat waktu ngobrol yang enak menjelang tengah malam.

Obrolan kami seenggaknya berlangsung sejam lebih. Kami banyak membahas soal Brandal, soal industri perkomikan di Indonesia, hingga film. 

Karena kami sama-sama arek Suroboyo, kami mengobrol dengan bahasa Suroboyoan yang digado-gado dengan bahasa Indonesia. 

Namun demi kenyamanan, gue (selanjutnya disingkat SK) memilih menulis obrolan dengan Amir (disingkat AM) ini dalam bahasa Indonesia seluruhnya agar lebih enak dibaca semua orang.

Karakter Brandal. (Foto: Akun Facebook Amir Maliq)
Karakter Brandal. (Foto: Akun Facebook Amir Maliq)

SK: “Brandal punya opening yang khas romance banget, bahkan cover awalnya punya kesan begitu. Semua orang yang membaca chapter pertama akan mengira begitu pada awalnya.  Namun, di luar dugaan ternyata komik ini penuh aksi bahkan cenderung brutal. Apa chapter tersebut punya makna tersembunyi?”

AM: “Ya, jelas. Lewat chapter itu gue pengen menyampaikan kekesalan gue ke komik genre romance yang memang lebih laku ketimbang komik aksi. Bahkan saat Webtoon ContestBrandal dikalahkan komik romance. Lewat chapter tersebut gue pengen ngasih tahu ke pembaca bahwa setelah ini nggak bakal ada cerita romance lagi di komik gue. Karena di awal, romance sudah gue matiin.”

SK: “Brandal penuh dengan kekerasan dan cenderung brutal. Bahkan komik peringkat 1 genre aksi di WebtoonLookism, adegan berdarahnya nggak seperti di Brandal. Sebetulnya apa yang pengen lo ceritain di Brandal dengan begitu banyak konten kekerasan di sana?”

AM: “Sebetulnya di Brandal itu gue pengen menceritakan soal dunia 'persilatan' komik Indonesia. Mungkin lo inget sewaktu Tomi, tokoh utama Brandal datang ke rental komik, lalu ia membunuh orang yang jaga rental komik dan menginjak buku komik salah satunya komik cetak dari Meta Comic.

Lewat adegan itu sebetulnya gue pengen menggambarkan kematian komik cetak di tangan Tomi–yang gue anggap mewakili era komik digital atau Webtoon. Bahkan jika lo pembaca komik lama Indonesia, nama Jaganatha itu sebetulnya diambil dari judul komik Indonesia jaman dulu.”

AM: “Metafor yang menarik. Tapi kalo boleh jujur, Brandal mirip sekali dengan John Wick. Baik dari adegan berdarahnya hingga world building-nya yang bahas dunia para pembunuh. Apa lo terinspirasi dari situ?”

AM: “Bisa dibilang begitu. Dulu gue punya ide pengen membahas dunia perkomikan Indonesia juga keresahan-keresahan gue. Namun gue belum nemu bentuk yang pas buat menyampaikannya. Hingga kemudian John Wick datang menyelesaikan masalah itu dan jadilah Brandal.”

SK: “Gue sempat baca beberapa komentar di komik lo. Banyak pembaca mengeluhkan chapter lo kelewat pendek. Ada pembelaan untuk ini?”

AM: “Ada banyak faktor yang bikin chapter-nya jadi terkesan pendek. Pertama, mungkin karena pembaca kita terbiasa dengan komik Korea Selatan yang punya banyak panel, sekitar 60-an panel. Sedangkan di Brandal hanya sekitar 50 panel.

Tapi jika dilihat dengan teliti, yang bikin komik Korea Selatan bisa punya banyak panel adalah banyaknya adegan yang misalnya di Brandal dijadikan dalam satu panel, tapi di komik Korea Selatan bisa dijadikan dua panel.

Alasan kedua, di Brandal kami banyak memainkan ekspresi dan itu makan banyak panel. Kami nggak terlalu suka bercerita lewat balon teks buat menyampaikan emosi tokohnya. Dan mungkin itu juga alasan cerita di Brandal terkesan singkat.”

SK: “Kalo misalnya Brandal dapat komentar negatif, apa reaksi lo?”

AM: “Ya palingan gue cuma misuh (mengumpat) sendiri, nggak gue tulis di komen. Haha.”

SK: “Kabarnya ada enam orang yang menggarap Brandal ini termasuk lo. Itu benar?”

AM: “Ya, benar. Gue yang punya ide ceritanya sekaligus megang marketing-nya. Terus lima orang lainnya punya bagian mengembangkan ide ceritanya sekaligus teman diskusi gue, ada yang bagian bikin line art, ada juga bagian gambar lalu bagian coloring sendiri.”

SK: “Jadi pendapatan komik Brandal dibagi enam?”

AM: “Iya, benar.”

SK: “Cukup?”

AM: “Kalau dibilang cukup, sebetulnya masih kurang sih. Gue bahkan mesti keluar duit lagi buat menggaji anak-anak dengan layak.

Tapi kembali lagi ya, tujuan awal gue bikin komik ini buat menyampaikan keresahan gue, sebagai media gue meluapkan kekesalan, jadi gue nggak mikirin sih.” 

SK: “Jadi Brandal komik idealis?”

AM: “Bisa dibilang begitu. Gue bikin Brandal karena ngerasa capek bikin komik orang lain terus, makanya gue pengen bikin komik gue sendiri buat ngasih nafkah batin gue. Hehe.”

SK: “Menurut lo, bisa nggak sih hidup dari bikin komik di Webtoon?”

AM: “Bisa saja sebenarnya. Kalo misal komik lo ternyata sukses besar dan diedarkan ke berbagai negara oleh pihak Webtoon, royaltinya bakal gede. Tapi gue tahu untuk mencapainya tentu nggak gampang.”

SK: “Sejauh ini puas dengan apa yang dicapai Brandal?”

AM: “Puas. Gue lega sudah numpahin banyak keresahan gue di sana.”

SK: “Sekarang ini kan di industri film Indonesia genre aksi sepertinya mulai naik lagi. Ambil contoh film The Big 4 yang di peringkat top 2 global untuk film non-english. Kita sedikit berandai-andai, jika komik Brandal misalnya dilirik produser untuk dijadikan film, lo bakal kasih nggak?”

AM: “Boleh, tapi kita harus ikut ngerjain.”

SK: “Karena pengen menjajal industri film juga?”

AM: “Nggak juga sih. Kita cuman nggak pengen nyawa dari Brandal ini hilang gara-gara mereka cuman nyari cuannya aja tapi digarapnya ngasal. Gue lebih suka kalo yang ambil itu adalah fans dari Brandal. Gue bakal lepas dan nggak ikut campur kalo yang ambil betulan ngerti Brandal.

Gue nggak pengen aja kejadian seperti di film Gatotkaca. Soalnya jujur aja ya, Gatotkaca itu punya potensi jadi film yang bagus. Cuma gara-gara rebutan jadi investor di film itu, dan mereka cuma pengen ambil duitnya aja, filmnya jadi flop.”

SK: “Ngomong-ngomong soal film superhero lokal, sudah nonton film Sri Asih?”

AM: “Sudah. Dan menurut gue, yang jadi bintangnya justru Jatmiko, si Reza Rahadian, dan bukan Sri Asih.

Karena menurut gue, kemarahan Jatmiko punya motif yang jelas. Di lingkungan orang kaya, ia dihina sebagai polisi miskin. Di lingkungan orang miskin, ia malah dimusuhi.

Sedangkan gue nggak nemu motif yang kuat buat kemarahan Sri Asih.

Dan jujur saja, gue ngantuk pas final battle-nya, karena gue berharap ada pendekatan emosional di scene itu ketimbang hanya baku hantam saja. Misalnya, Sri Asih membiarkan Jatmiko buat mukulin dirinya sampai kemarahan Jatmiko ini betulan hilang.

SK: “Dari sekian banyak karakter komik di Bumilangit, sejauh ini mana yang jadi favorit lo?”

AM: “Bapak Pengkor sih. Haha. Bahkan jika seumpama gue punya kesempatan bikin ceritanya, gue pengen mengembangkan karakter ini. Bayangan gue, ia bisa jadi sosok Godfather atau Joker versi semesta komik Bumilangit.

Menurut gue karakter Bapak Pengkor ini menarik dan banyak hal yang bisa digali darinya. Karena menurut gue, ia tuh sukses jadi Bapak bagi anak-anak asuhnya hingga mereka rela mati demi ia, meski kita tahu kalo ia itu orang jahat.”

SK: “Oke. Menurut lo, karya yang bagus itu kayak gimana?”

AM: “Karya yang jujur. Karya yang menyampaikan keresahan. Dari pengamatan gue, karya yang laku itu kebanyakan adalah karya yang ingin menyuarakan sesuatu dan jujur apa adanya.

Karya seperti ini biasanya datang dari seniman yang mau menelanjangi dirinya sendiri, seniman yang menganggap dirinya bukan siapa-siapa bahkan mengakui kalau ia sebetulnya cupu.

Banyak seniman yang menganggap dirinya sebagai orang yang diberkahi Tuhan dengan bakat istimewa, sehingga banyak menahan diri saat menyampaikan keresahan dalam karyanya. Jeleknya, begitu karyanya nggak sukses, mereka cenderung depresi, bahkan beberapa menyalahkan pembaca karena dianggap punya selera rendah.

Selamanya karya lo nggak bakal punya nyawa kalo nggak ada keresahan yang ingin lo sampaikan dan lo nggak totalitas jujurnya bahkan jika lo nggak mengakui kalo lo sebenarnya tuh cupu.

Ya, menurut gue, seniman sebetulnya adalah orang yang nggak bisa menyelesaikan masalahnya di dunia nyata makanya ia bikin karya sebagai media buat menumpahkan keresahannya itu.

Dan ngomong-ngomong karya yang jujur, gue jadi ingat interview dari Hideaki Anno, kreator Evangelion. Sewaktu ditanya, apa yang paling ia benci dari karyanya? Ia jawab, sewaktu melihat gambaran dirinya dalam karyanya.

Sebagai contoh, ada scene di anime itu yang rasanya nggak akan muncul dari seniman yang menganggap dirinya istimewa. Yaitu, ketika Shinji masturbasi di depan teman perempuannya yang lagi tergeletak sakit dan nggak sengaja teteknya kelihatan. Gue nggak tahu apa konteks di balik scene itu. Tapi yang pasti, scene itu pasti lahir dari kejujuran kreatornya.”

SK: “Tadi di awal lo sempat menyinggung soal dunia perkomikan di Indonesia. Dan kesannya cukup suram kelihatannya. Kenapa bisa begitu?”

AM: “Ya karena di Indonesia, industri komiknya belum ajeg dan nggak terstruktur. Bahkan banyak komikus di luar sana bikin karya tapi nggak tahu harus ditaruh mana karyanya.

Juga karena banyak komikus ngerjain apa-apanya sendiri. Dari bikin ceritanya, menggambar dan coloring, bahkan marketing-nya juga ia yang pegang sendiri. Dan itu bikin pikiran kreator komik jadi terbagi-bagi.

Seharusnya industri komik itu punya divisinya sendiri-sendiri. Kayak bagian ide cerita sendiri, bagian line art sendiri, lalu bagian gambar juga coloring sendiri, dan bagian marketing-nya sendiri. Itu yang gue lakuin di studio Meta Comic ini.”

SK: “Ada tips buat mereka yang ingin masuk ke dunia komik?”

AM: “Hmmmh apa yaa? Palingan saran gue sih pahami risikonya. Dunia komik itu penuh rasa sakit. Terutama di Indonesia yang memang industri komiknya belum ajeg.

Lo harus tahu dulu apa yang lo pengen sih. Kalo lo tujuannya bikin karya, lo harus menerima kalo ternyata komik lo nggak sukses. Tapi kalo tujuan lo pengen sukses, gue rasa cara lain lebih mudah ketimbang bikin komik.

Ini yang gue pelajari dari komik-komik gue sebelumnya yang gagal. Lo harus paham dulu risikonya, biar nggak kaget begitu masuk ke dunia komik yang ternyata begini.

Bahkan mereka yang komiknya sukses pun nggak lepas dari risiko. Misalnya Yoshihiro Togashi, kreator Hunter x Hunter harus mengorbankan kesehatannya demi komiknya. Bahkan Eiichiro Oda, kreator One Piece, hidupnya disetir oleh orang lain demi mewujudkan dunia fantasi miliknya di komik.

Orang mengira semakin sukses komik lo, hidup lo jadi makin enak. Ta**lah itu. Ketika komik lo sukses tanggung jawab lo juga makin gede dan lo jadi makin sibuk.

Ya, gue rasa itu sih saran dari gue. Pahami dulu risikonya dan tanya ke diri lo, benar nggak sih ini yang gue pengen? Kalo lo belum paham risikonya dan ngamuk-ngamuk sendiri begitu masuk ke dunia komik, gue angkat tangan, nggak ada saran buat orang kayak begitu.”

SK: “Pertanyaan terakhir, ada proyek berikutnya?”

AM: “Ada beberapa. Gue mau kolaborasi dengan seorang kreator buat ikutan Silent Manga Contest. Juga rencananya gue bakal bikin komik lain di Webtoon. Terus satu lagi proyek komik One Shot.” (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan