Esensi

TREN DEINFLUENCING MENGUNTUNGKAN ATAU MALAH MERUGIKAN?

Apa itu Deinfluencing yang jadi tren baru di kalangan influencer TikTok? Apakah tren ini membawa keuntungan atau malah kerugian?

title

FROYONION.COM - ‘Deinfluencing’ jadi tren baru di kalangan influencer TikTok akhir-akhir ini. Lewat tren ini para influencer membagikan ulasan jujur tentang produk-produk yang menurut mereka over claim

Kalau biasanya para influencer mempengaruhi pengikutnya untuk membeli produk, kali ini mereka mengajak pengikutnya untuk berhenti membeli. Tren Deinfluencing nampaknya mendapat banyak perhatian, melihat tagar Deinfluencing di TikTok mencapai 291,2 juta penayangan (per 4 Maret).

Tren ini tentunya dibutuhkan oleh publik, mengingat banyaknya iklan produk yang menggiurkan. Impulsive buying dan berkurangnya kepercayaan publik terhadap para influencer digadang-gadang menjadi alasan tren yang satu ini muncul.

Ada banyak pertanyaan yang berkaitan dengan tren Deinfluencing ini. Mulai dari apakah industri influencer akan terancam, apakah tren Deinfluencing akan menghentikan impulsive buying hingga bagaimana dampaknya terhadap brand.

Apa itu Deinfluencing?

Deinfluencing sebenarnya merujuk pada kegiatan mempengaruhi seseorang untuk berhenti membeli suatu produk atau setidaknya seseorang bisa berpikir dua kali ketika ingin membeli sebuah produk.

Deinfluencing adalah mencegah orang-orang untuk membeli produk viral yang ternyata tidak sebanding dengan klaimnya. Para influencer mengunggah video tentang produk-produk apa saja yang menurut mereka over claim.

Tren ini diharapkan mampu mengurangi kebiasaan FOMO (Fear Of Missing Out) para konsumen akan produk viral. Gak jarang kan di antara kita yang tergiur dengan produk viral?

Influencer membantu para pengikutnya untuk membedah produk-produk mahal. Pengikut bisa berpikir dua kali apakah mereka harus membeli produk mahal tersebut atau tidak.

Biasanya influencer juga akan memberikan rekomendasi alternatif produk lainnya jika produk tersebut benar-benar over claimInfluencer masih mengizinkan pengikutnya untuk tetap menjadi bagian dari tren, dikutip dari pernyataan Alyssa Kromelis.

Meskipun mendapat banyak dukungan, sebenarnya publik mengecam para influencer yang menyertakan link referral. Mereka mencurigai bahwa yang sebenarnya influencer lakukan adalah endorsement.

Kesalahan lain tentang Deinfluencing yang menurut publik kurang pas adalah influencer membuat konten Deinfluencing berdasarkan ketidakcocokan mereka. Padahal seharusnya para influencer membuat konten berdasarkan ketidaksesuaian klaim produk. 

Tren Deinfluencing banyak disuarakan oleh beauty content creator di TikTok. Mereka menyuarakan make up atau skin care apa saja yang tidak seharusnya masuk dalam bucket list pengikutnya.

Walaupun lebih banyak beauty content creator, tapi ada pula creator lainnya yang menyuarakan beberapa hal yang menurut mereka masuk dalam produk Deinfluencing. Misalnya saja buku, pakaian, hingga perabotan rumah.

Seorang profesor dari Wharton School tidak terkejut dengan kemunculan tren Deinfluencing ini. Menurutnya hal ini merupakan pasang surut dari sentimen konsumen yang sebelumnya ekstrem kemudian mengalami pergerakan ke arah lainnya.

BACA JUGA: FROM PARUNG TO FROYONION: INI PENGALAMAN GUE JADI TIKTOK INTERN

Apakah pekerjaan influencer akan terancam karena tren Deinfluencing?

Tren Deinfluencing seakan-akan membantah apa yang dikatakan para influencer. Seperti yang sering kita lihat kalau influencer bertugas untuk mempengaruhi para pengikutnya dalam melakukan keputusan pembelian.

Perusahaan Nielsen melaporkan bahwa 61% pengguna media sosial di Indonesia yang mem-follow influencer membeli produk yang disarankan oleh influencer. Berkat pengaruh itu banyak pelaku bisnis yang melibatkan influencer dalam pemasaran mereka.

Ketika influencer menyarankan suatu produk biasanya ada hal yang kita pertanyakan. Apakah mereka benar-benar mengulas produk tersebut atau mereka mendapatkan endorsement.

Baru-baru ini yang menjadi viral di TikTok adalah Mikayla Noguiera, seorang beauty content creator yang diduga melakukan ulasan palsu. Melalui akunnya, ia mengatakan bahwa kelentikan bulu matanya diakibatkan dari penggunaan maskara brand “L”. 

Hal tersebut kemudian menjadi kontroversi dan membuat publik kembali mempertanyakan apakah influencer benar-benar dapat dipercaya. Netizen menemukan bahwa kelentikan bulu matanya dikarenakan penggunaan bulu mata palsu.

Setelah kontroversi itu lalu muncullah tren Deinfluencing. Para influencer seakan mendapat kesempatan untuk membuang skeptis pengikutnya jika kejujuran influencer perlu dipertanyakan.

Lewat tren Deinfluencing para influencer mencoba kembali menumbuhkan kepercayaan pengikutnya, menurut Josie Bullard. Deinfluencing membuka pandangan baru publik bahwa influencer benar dapat dipercaya.

Nicole Wade, seorang brand collaboration coach dan content creator mengungkapkan kepada TODAY bahwa ada kemungkinan jika kedepannya para influencer akan menolak kesepakatan dengan brand yang tidak sejalan dengan minat mereka. Hal tersebut dilakukan agar publik tetap mempercayai mereka.

Terkait pertanyaan apakah pekerjaan influencer akan hilang? Sebenarnya tidak ada yang tau bagaimana influencer akan terus berperan kedepannya. Tapi selama influencer bisa menjaga kepercayaan pengikutnya pekerjaan influencer akan lebih aman.

Apakah tren Deinfluencing akan menghentikan impulsive buying?

Adanya tren Deinfluencing diharapkan bisa membantu publik untuk mempertimbangkan kembali apakah mereka perlu membeli produk tersebut atau tidak. Sehingga impulsive buying tidak akan terjadi, yang menguras kantong kita.

Tapi apa iya Deinfluencing bisa menghentikan publik untuk tidak impulsive buying

Karen Wu, seorang content creator di TikTok mengatakan jika publik sudah dicekoki oleh pemikiran bahwa mereka harus membeli setiap produk viral. Oleh sebab itu terjadi impulsive buying, keinginan untuk membeli barang secara tiba-tiba.

Ketika influencer memberikan rekomendasi alternatif produk, sebenarnya masih mendorong pengikutnya untuk melakukan proses pembelian. Kalau kata perusahaan riset pasar Insider Intelligence, “Deinfluencing is still influencing”.

Lewat tren Deinfluencing ini sebenarnya masih belum bisa dikatakan dapat mencegah publik untuk tidak impulsive buying sepenuhnya. Tapi setidaknya publik bisa berpikir beberapa kali sebelum akhirnya mereka memilih untuk melakukan pembelian atau tidak.

Bagaimana dampak Deinfluencing terhadap brand?

Tren Deinfluencing ini sebenarnya bisa menjadi kesempatan bagi brand untuk mengumpulkan kritik dari para influencer. Dengan begitu brand bisa menghemat dana mereka untuk melakukan riset, ungkap Madison Potter, seorang influencer sekaligus brand strategist lewat HuffPost.

Melihat konten-konten dari para creator, beberapa di antaranya mendapat komentar dari para brand yang menerima kritikan mereka. Seperti yang dikatakan Madison Potter sebelumnya, brand bisa melakukan riset secara gratis.

Selain itu, brand bisa saja meningkatkan kepercayaan publik karena mereka mau menerima kritikan tersebut. Publik akan percaya bahwa brand mau mempertimbangkan kritik dan meningkatkan kualitasnya. 

Bagi para brand yang ingin melakukan endorsement pun perlu melakukan riset lebih. Pastikan mencari influencer yang benar-benar dipercaya oleh konsumen, yang sebelumnya sudah memiliki ketertarikan terhadap brand kalian.

Kalau pendapat kalian sendiri gimana nih Civs, adanya tren Deinfluencing jadi merugikan atau malah menguntungkan? Kira-kira produk apa aja nih, yang masuk dalam produk Deinfluencing kalau menurut kalian? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Hesti YA

Mending nulis daripada overthinking