
Minimalism lifestyle sangat akrab di telinga generasi millenial dan gen-z. Tetapi, apa yang mereka pahami tentang konsep dari gaya hidup ini terkesan keliru dan tak jarang kontradiktif dengan prinsip dari konsep minimalis itu sendiri.
FROYONION.COM - Siapa yang tidak kenal dengan gaya hidup minimalis? Sebuah konsep ‘hidup sederhana’ yang kini digemari banyak orang, terlebih oleh generasi milenial dan gen-z. Banyak orang berkata, gaya hidup minimalis berarti hanya punya sedikit pakaian dan barang-barang yang memang fungsinya bermanfaat. Apa benar begitu?
Tidak bisa dibenarkan dan disalahkan juga sebenarnya. Semua itu adalah tentang pola pikir kita sebagai pelaku dari gaya hidup tersebut.
Dilansir dari Association For Consumer Research (ACR), “we define minimalism as a preference for an overall low quantity of material possessions. Importantly, this preference is not restricted to a specific domain of material possessions (e.g., only clothes) and includes all physical, storable, and non-perishable items of any size of which the consumer is a permanent owner.”
Intinya gaya hidup minimalis merupakan konsep gaya hidup serba sederhana, tetapi tidak terbatas pada suatu pakaian atau barang. Gaya hidup ini mengedepankan suatu konsep untuk menyimpan dan hanya memiliki apa yang memang dibutuhkan dalam hidup.
Minimalism adalah suatu praktik, bukan hukum. Maka dari itu, seseorang yang ingin hidup minimalis tidak boleh terpaku pada aturan numerik atau dekorasi apa pun. Hal ini yang kebanyakan menjadi kekeliruan tak berujung di dalam mindset masyarakat.
Tidak sedikit yang terjebak dalam pola pikir yang salah dalam menerapkan konsep gaya hidup minimalis. Hal ini kebanyakan disebabkan oleh tontonan dari influencer, youtuber, atau semacamnya yang memamerkan kesuksesannya dalam penerapan gaya hidup minimalis.
Banyak sekali hal-hal yang kontradiktif dari konsep gaya hidup minimalis yang dampaknya dapat mengubah definisi dari konsep aslinya dan akan sulit untuk diurai kembali.
Pertama, minimalis artinya harus punya pakaian dan barang yang sedikit. Faktanya, tidak ada batasan dalam kepemilikan barang dalam konsep minimalis, karena setiap orang punya kebutuhan yang berbeda-beda.
Hidup minimalis itu bukan menyuruhmu untuk hidup pelit dan irit, melainkan selektif. Selektif dalam membeli barang yang memang kamu butuhkan dan cerdas untuk memilah mana yang fungsinya dapat dipakai dalam waktu yang lama.
Orang dengan gaya hidup minimalis cenderung bijak dalam mengelola keuangan karena mereka akan memprioritaskan kebutuhan primer yang mendesak daripada keinginan sesaatnya. Dengan sikap selektif yang mereka miliki, barang yang dibeli jadi lebih memiliki nilai yang besar serta kualitas yang bagus.
Memiliki barang yang sedikit belum tentu minimalis, pun sebaliknya. Terkadang, hal ini dijadikan ajang flexing untuk memperlihatkan seberapa minim barang yang mereka miliki dalam hidupnya. Tentu ini menambah mindset yang salah di mata masyarakat tentang konsep gaya hidup minimalis.
BACA JUGA: INGIN BELAJAR HIDUP MINIMALIS? YUK COBA BACA 5 REKOMENDASI BUKU INI!
Kedua, harus serba aesthetic. Kalau kamu sudah banyak menonton konten-konten tentang gaya hidup minimalis baik dari dalam negeri maupun luar negeri, kamu akan disajikan dengan keestetikan hidup mereka yang kebanyakan serba monokrom, earth tone, atau pastel tone. Menarik banget buat dipandang, bukan?
Kita jadi salah fokus dan malah mendorong mindset bahwa minimalism itu harus serba putih, serba monokrom, serba earth tone, atau singkatnya, serba aesthetic. Padahal, tidak ada syarat atau standar warna tertentu untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku gaya hidup minimalis.
Pola pikir yang salah ini akan mendorong sikap konsumtif tanpa disadari. Dengan berpikir bahwa gaya hidup minimalis harus serba aesthetic, tanpa sadar kamu jadi membeli barang-barang yang kamu pikir dapat membantu menunjang gaya hidup minimalismu tapi justru yang kamu lakukan adalah bentuk dari perilaku konsumtif.
Seperti contohnya mengganti semua pakaianmu menjadi berwarna senada, atau mengganti furniture-mu menjadi serba monokrom, dan lainnya. Menonton promosi orang-orang tentang gaya hidup minimalis yang mereka jalani tanpa sadar tergiur untuk memiliki hidup yang sama seperti mereka. Hal ini malah menjadikanmu keluar dari prinsip dan value yang dibawa oleh konsep hidup minimalis itu sendiri.
Ketiga, hal yang banyak disajikan oleh konten minimalist lifestyle adalah konsep decluttering. Decluttering adalah konsep memisahkan barang yang sekiranya sudah tidak berguna dan menyimpan barang yang masih punya fungsi untuk long-term use. Akan tetapi, banyak orang yang berasumsi bahwa decluttering adalah konsep membuang barang sebanyak-banyaknya.
Tentu hal ini jadi disalahartikan, karena decluttering yang dimaksud adalah memilah mana yang masih diperlukan dan tidak. Memilah pun bukan berarti harus dibuang, bisa juga didonasikan ke panti asuhan, atau kepada yang membutuhkan. Tapi yang perlu dicatat, sebenarnya decluttering bukan berarti hidup minimalis.
Orang yang melakukan decluttering tidak bisa dikategorikan sebagai pelaku gaya hidup minimalis. Bisa saja, mereka melakukan decluttering karena memang ingin membereskan rumahnya, atau memang ingin berdonasi.
Keputusan untuk mengubah gaya hidup menjadi minimalis tidak sepenuhnya salah, malah berdampak baik pada pola pikir tentang hidup sederhana.
Namun, apabila mindset keliru seperti yang telah diuraikan sebelumnya masih berlanjut dan terus dilakukan, value dari konsep minimalis sendiri perlahan akan pudar dan tergantikan pada konsep hidup aesthetic.
Menyederhanakan hidup bukan berarti mengubah keseluruhan aspek fisik dalam hidupmu. Hidup sederhana adalah konsep di mana dirimu sudah mengerti apa yang kamu perlukan dan tidak.
Untuk dapat sukses melakoni suatu gaya hidup baru diperlukan mindset yang cerdas. Maka dari itu, perbanyaklah riset dan pahami konsep dari gaya hidup yang ingin dilakukan agar terhindar dari mindset yang keliru, serta dapat menikmati value yang dibawa dari konsep gaya hidup tersebut. (*/) (Photo credit: Mikhail Nilov)