
Setuju nggak Civs kalau hidup itu tentang pilihan? Tapi sesimpel nentuin tontonan buat nemenin makan siang aja kita masih sering bingung.
FROYONION.COM - Seberapa sering lo termenung di depan kulkas minimarket sampai setengah jam cuma buat pilih minuman? Lo merasa senewen buat memutuskan mana minuman yang nggak mengandung kopi, komposisi gula di bawah 20 gram, bisa menambah energi buat beraktivitas, dan seger di tenggorokan. Lo berusaha membuat keputusan terbaik dan paling optimal berdasarkan cost dan benefit tiap-tiap opsi.
Pada akhirnya lo milih beli susu, tapi nggak berhenti sampai situ, Civs. Lo mesti mempertimbangkan antara susu sapi, susu kambing, susu almond, atau susu kedelai. Kalau lo pilih susu sapi, lo lebih suka low fat atau nggak? Terus, lo doyan rasa coklat, vanila, stroberi, pisang, melon atau blueberry? Lo mau susu kemasan kotak atau botol? Belum lagi, jumlah merek susu yang seabrek.
Itu hanya segelintir dilema dari banyaknya kasus choice overload yang kita temui di kehidupan sehari-hari. Berjibunnya alternatif pilihan membuat kita overwhelmed. Malahan, karena terlalu lama berpikir, lo mengakhiri renungan lo dengan keputusan yang cenderung kurang memuaskan: lo milih beli air mineral.
Sebenarnya, di era modern yang konon serba ada, serba mudah, dan serba cepat ini, apa yang lo alami terhitung lumrah. Ini bisa disebut sebagai paradox of choice!
Paradox of choice menerangkan kalau banyaknya opsi pilihan yang tersedia nggak bikin kegiatan memilih kita menjadi lebih gampang atau pun membuat kepuasan kita meningkat. Malahan, melubernya pilihan membuat waktu kita terkuras banyak dan membutuhkan usaha lebih besar buat membikin pilihan yang tepat dan optimal.
Kalau cuma diberi pilihan antara susu kedelai rasa vanila dan coklat, bakal lebih mudah bagi kita membandingkan cost dan benefit dua produk tersebut. Tapi, ketika alternatif pilihan bertambah menjadi sepuluh kali lipat, kita kesulitan mengetahui mana yang terbaik. Alih-alih mendapatkan kebebasan untuk memilih, paradox of choice memperlihatkan bahwa banyaknya pilihan justru membatasi kebebasan kita.
Paradox of choice dipopulerkan oleh psikolog Amerika Barry Schwartz dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More is Less (2004). Ia tertarik menjembatani ilmu ekonomi dengan psikologi dalam melihat pengaruh pilihan (choices) terhadap tingkat kebahagiaan orang-orang Barat.
Ia menganalisis kalau pilihan yang kita miliki saat ini makin beragam ketimbang zaman dahulu, tetapi kepuasan konsumen nggak meningkat, berbeda dari yang diharapkan oleh teori ekonomi tradisional.
Internet mengambil peran besar dalam hal ini. Selain minuman mana yang mesti kita coba, ada ratusan pilihan lain kayak jenis pakaian yang harus kita beli, mobil yang harus kita kendarai, produk skincare yang harus kita gunakan, dan daftar lain yang akan terus bertambah.
Adanya marketplace dan media sosial memudahkan kita buat menjangkau dan melihat semua opsi pilihan berbeda tersebut tanpa perlu pergi ke toko fisik. Hal itu merembet pula pada hubungan personal kita, media sosial memungkinkan kita memiliki lusinan pilihan buat berkencan hanya berbekal sentuhan layar.
BACA JUGA: HAL-HAL TERANEH YANG PERNAH DIALAMI PENCARI KERJA DI INDONESIA
Barry Schwartz menyebutkan kalau terdapat dua jenis orang dalam membuat pilihan. Pertama, maximizer, ia akan berusaha memaksimalkan hasil pilihan dengan cara menelusuri dengan detail seluruh pilihan serta menggunakan pembanding untuk mengukur dan menimbang kualitas masing-masing opsi. Tingkat utilitas/kepuasan yang diperoleh seorang maximizer cenderung lebih rendah, apalagi ketika mereka mengetahui kalau ternyata ada pilihan yang lebih baik dari pilihan yang baru ia putuskan.
Kedua, satisficer, ia hanya mempertimbangkan pilihan sesuai kriteria berdasar kebutuhan miliknya, dia nggak peduli opsi di luar kriteria itu. Seorang satisficer cenderung memperoleh kepuasan relatif lebih tinggi karena nggak mengkhawatirkan kemungkinan lain yang lebih baik.
Terlalu banyak pilihan mengakibatkan decision fatigue–kelelahan dalam membuat keputusan. Hal itu bisa berdampak ke resiliensi yang menurun dan capek mental. Schwartz menyebutkan kalau banyaknya pilihan bakal mengarah ke output negatif, kayak:
1. Choice paralysis
Schwartz menuliskan kalau pada akhirnya lo nggak membuat pilihan dan keputusan sama sekali karena “dilumpuhkan” oleh banyaknya pilihan yang ada. Alih-alih merasa punya “privilege” ataupun kemewahan karena variasi pilihan yang beragam, lo justru merasa bingung dan kewalahan.
2. Penurunan kepuasan (degradation in satisfaction)
Dengan banyaknya pilihan, lo punya kecenderungan menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal membuat keputusan yang tepat. Penyesalan itu membuat lo cemas dan stres. Akibatnya, kepuasan lo menurun setelah menentukan pilihan. Hal yang menyedihkan adalah kita nggak pernah tahu opsi yang kita pilih tepat atau nggak tanpa mencobanya. Kita terganggu dengan ketidakpastian dan kita cenderung bikin imaji akan adanya pilihan yang jauh lebih baik.
Singkatnya, Schwartz berpendapat kalau banyaknya pilihan bisa memperumit proses pengambilan keputusan, menguras banyak tenaga, dan punya konsekuensi psikologis.
Yang bisa lo lakuin buat mengatasi choice overload adalah menghindari proses berpikir panjang untuk hal-hal kecil kayak memilih makanan di aplikasi pesan antar atau memilih baju yang mau lo pakai. Lo bisa menyiasati decision fatigue dengan bikin plan berisi daftar makanan yang bakal lo konsumsi seminggu ke depan–begitu juga dengan baju-baju yang bakal lo pakai. Nantinya, lo bisa lebih fokus mengarahkan otak lo buat mengeksekusi major decision yang lebih penting dan krusial ketimbang printilan kecil yang nggak signifikan.
Selain itu, beberapa hal-hal yang bisa lo lakuin buat mengurai decision fatigue di antaranya:
1. Sederhanakan pilihan
Salah satu cara buat mengatasi decision fatigue adalah mengambil lebih sedikit keputusan dengan cara menyederhanakan pilihan. Lo bisa menghindari pengambilan keputusan secara acak dengan membuat daftar atau checklist biar lo nggak perlu cemas mikirin apa yang lo butuhin dan lo mau.
2. Delegasikan keputusan
Lo bisa mendelegasikan keputusan dan membiarkan orang lain membuat keputusan. Dengan mendelegasikannya, lo sekaligus menunjukkan ke orang itu kalau lo mempercayai mereka. Lo bisa mengalihkan pengambilan keputusan sesederhana kasih kesempatan ke teman kerja lo buat milih tempat makan atau biarin pacar lo milih playlist lagu.
3. Bikin keputusan besar di pagi hari
Penelitian menyebutkan kalau pagi hari dinilai sebagai waktu terbaik buat mengambil keputusan karena kita cenderung lebih berhati-hati dan teliti. Sedangkan, di sore hari pengambilan keputusan cenderung lebih impulsif. Hindari buat keputusan di saat lo capek dan lapar.
4. Berhenti menebak-nebak
Hindari berandai-andai seakan-akan lo bisa mengulang waktu dan meralat pilihan yang udah lo ambil. Apalagi, berusaha menebak-nebak pakai skenario “Gimana kalau…?”. Hindari terjebak dalam perfeksionisme akut. Yang mesti lo lakuin cuma buat pilihan dan berbahagialah dengan pilihan itu. Hindari mengkhawatirkan hal yang nggak perlu kayak menebak-nebak apakah pilihan lo bener atau nggak. Soalnya itu cuma menambah beban pikiran dan membuang-buang energi yang semestinya bisa lo alihkan ke hal lain. Ingat-ingat aja kalau pada saat itu lo udah bikin keputusan terbaik dengan banyak pertimbangan dan berdasarkan apa yang lo tahu saat itu.
5. Kembangkan rutinitas sehari-hari
Pengaturan rutinitas dan kebiasaan yang tepat bisa membantu mengurangi kecemasan sekaligus menghemat energi buat mengambil keputusan yang lebih penting. Misal, ketimbang berdebat antara berolahraga atau nggak, mending lo jadikan olahraga sebagai bagian dari rutinitas. Contoh yang lain adalah merencanakan pakaian yang bakal lo pakai sejak awal buat meminimalkan keputusan yang dibuat. Intinya adalah melihat semua keputusan besar dan kecil yang lo buat tiap hari dan pikirin cara buat menyederhanakannya.
Schwartz juga menawarkan enam saran buat membantu lo memilih dan membuat keputusan. Pertama, pahami dan tentukan tujuan lo. Kedua, mengevaluasi seberapa penting tujuan itu. Ketiga, susun dan pertimbangkan pilihan yang tersedia. Keempat, evaluasi pilihan mana yang paling sesuai dengan tujuan lo. Kelima, tentukan winning option atau pilihan yang menguntungkan. Keenam, modifikasi tujuan, sesuaikan tujuan dengan pilihan yang udah lo putusin.
Kalau kata Barry Schwartz di buku The Paradox of Choice, belajar buat memilih itu sulit, apalagi belajar memilih dengan baik jauh lebih sulit. Sampai sini udah paham ‘kan betapa sulitnya merespons jawaban “terserah” di tengah a world of unlimited possibilities ini? Mulai sekarang lo bisa mulai menyederhanakan pilihan biar hidup lo lebih enteng! (*/)