Esensi

MENUTUPI KONDISI HIDUP YANG LAGI SULIT DENGAN ‘DUCK SYNDROME’

Duck Syndrome adalah situasi ketika seseorang berupaya menampilkan gambaran kehidupan yang sempurna meskipun sedang kesulitan. Apakah kalian juga melakukan hal ini?

title

FROYONION.COMKalian tentu memiliki teman yang tampak sukses dan diidolakan banyak orang. Namun, siapa sangka, di balik kesuksesannya itu, ia mungkin sedang menghadapi banyak beban dan kesulitan dalam menjalani hidupnya? Hal ini sering disebut sebagai Duck Syndrome.

Menurut Psych Central, Duck Syndrome terjadi ketika seseorang berusaha menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, padahal sebenarnya harus bekerja keras untuk menjaga semuanya tampak baik-baik saja. 

Istilah ini merujuk pada perilaku di mana seseorang berjuang dengan banyak masalah, namun tetap menampilkan kesan baik-baik saja di depan orang lain. Duck Syndrome pertama kali dikenalkan oleh Universitas Stanford dan menjadi perhatian khusus di kalangan mahasiswa.

Bayangkan seekor bebek yang sedang berenang. Di atas permukaan air, ia tampak santai dan tenang. Namun, di bawah air, kaki bebek itu terus bergerak dengan susah payah. Demikian pula, Duck Syndrome sering terjadi pada remaja yang masih bersekolah atau berkuliah, serta orang-orang dewasa muda yang baru memulai karir.

Seringkali, mereka telah mencapai prestasi yang luar biasa, seperti lulus dari universitas bergengsi dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Namun, di balik kesuksesan itu, mereka mungkin menghadapi banyak tekanan, seperti masalah mental di tempat kerja atau kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

Beban untuk menjaga citra diri yang sempurna sebagai murid atau karyawan yang sukses seringkali membuat mereka merasa tertekan. Mereka merasa harus terus menunjukkan bahwa mereka mampu mengatasi semua hal dengan mudah, meskipun sebenarnya sedang mengalami kesulitan.

BACA JUGA: SERING MERASA BAHAGIA, LO YAKIN NGGAK KENA DUCK SYNDROME?

Menurut jurnal yang disusun oleh Maura Ressa, et al. (2023) Beberapa indikator yang dihadapi oleh mahasiswa, kadang-kadang terkait dengan Duck Syndrome di lingkungan perguruan tinggi, adalah transisi kehidupan kampus yang melibatkan peningkatan tuntutan akademik, kegiatan ekstrakurikuler yang intens, serta perubahan sosial saat mereka menjalani kehidupan jauh dari keluarga, terutama bagi mahasiswa yang berasal dari luar daerah. 

Media sosial juga memainkan peran dalam memunculkan perbandingan diri dengan orang lain, sementara tekanan dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan akademik yang kompetitif juga dapat memberikan kontribusi terhadap Duck Syndrome.

Duck syndrome sering kali muncul sebagai respons terhadap tingkat stres yang tinggi, dan dapat menjadi awal dari masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya.

Faktor eksternal juga dapat memengaruhi terjadinya Duck Syndrome. Misalnya, tekanan dari orang-orang terdekat yang selalu membanggakan prestasi mereka, atau pola asuh yang cenderung mengawasi segala hal yang dilakukan anak secara berlebihan.

Kemudian, faktor berikutnya yang seringkali menyebabkan Duck Syndrome adalah ke-tidak-realistis-an dalam menetapkan tujuan hidup. Pencapaian yang tinggi namun sulit diraih dapat membuat individu merasa gagal dan tertekan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menetapkan tujuan yang sesuai dan dapat dicapai secara realistis.

BACA JUGA: ‘DOPAMINE NATION’: SAAT KEMUDAHAN CIPTAKAN KEBAHAGIAAN SEMU

Selanjutnya, menurut Psych Central, gejala Duck Syndrome cenderung hanya disadari oleh individu yang mengalaminya dan tidak semua orang mengalami gejala yang sama. 

Namun, ada beberapa tanda umum yang dapat menunjukkan bahwa seseorang mengalami Duck Syndrome, seperti membandingkan diri dengan orang lain, merasa bahwa orang lain lebih unggul, merasa gagal dalam memenuhi tuntutan hidup, takut akan pengawasan atau kritik, serta merasa bahwa orang lain mencoba mengatur situasi untuk menguji kinerja individu.

Duck Syndrome bukanlah sesuatu yang seharusnya diabaikan. Penting bagi kita untuk mengakui bahwa hidup tidak selalu mulus, dan kita tidak perlu terus menerus menunjukkan kesempurnaan. Mengakui kelemahan dan berbicara tentang kesulitan yang kita alami adalah langkah pertama untuk mengatasi Duck Syndrome ini dan menjaga kesehatan mental kita.

Meskipun tidak diakui sebagai diagnosis resmi dalam bidang psikologi, Duck Syndrome tetap menjadi permasalahan yang harus ditangani. Apabila dibiarkan terus menerus, perilaku ini dapat berdampak buruk pada kesehatan, seperti memaksa tubuh untuk bekerja di luar kemampuannya.

Selain itu, Duck Syndrome juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Khususnya ketika mengalami kegagalan, seseorang mungkin akan merasa putus asa dan seolah-olah tidak ada jalan keluar. 

Jika kamu mulai merasakan tanda-tanda tersebut dan merasa terganggu dalam kehidupan sehari-hari, langkah pertama yang dapat kamu lakukan adalah mengikuti sesi psikoterapi atau terapi bicara.

Dalam sesi terapi ini, kamu dapat mengungkapkan semua perasaan dan kekhawatiran kepada terapis atau psikolog. 

Mereka akan membantu kamu menemukan solusi bersama-sama. Selain itu, pilihan lain yang dapat dipertimbangkan adalah terapi interpersonal. Dalam terapi ini, kamu akan dibimbing untuk membangun keterampilan dalam mengatasi emosi dan situasi yang terkait secara efektif.

Terakhir,  strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi Duck Syndrome adalah dengan menerapkan prinsip SMART dalam menetapkan tujuan. Konsep SMART merujuk pada Spesifik (Specific), Terukur (Measurable), Dapat Diraih (Achievable), dan Relevan (Relevant). 

Dengan menggunakan prinsip-prinsip ini, individu dapat menghindari tekanan berlebihan di masa depan dan mencapai kesuksesan sesuai dengan yang diharapkan.

Pertama-tama, tujuan haruslah spesifik, artinya jelas dan terinci. Daripada menetapkan tujuan umum seperti "ingin sukses," lebih baik menetapkan tujuan yang spesifik seperti "mencapai peningkatan 30% dalam penjualan tahun ini."

Selanjutnya, tujuan harus dapat diukur, sehingga kemajuannya dapat dinilai secara objektif. Misalnya, jika tujuan adalah meningkatkan kehadiran dalam pertemuan, maka persentase kehadiran dapat dijadikan ukuran keberhasilan.

Kemudian, tujuan haruslah dapat diraih. Ini berarti tujuan harus realistis dan sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. Menetapkan tujuan yang terlalu tinggi atau tidak mungkin dicapai hanya akan meningkatkan tekanan dan risiko Duck Syndrome. 

Selain itu, tujuan juga harus relevan dengan nilai dan prioritas pribadi. Tujuan yang relevan akan memotivasi seseorang untuk berusaha lebih keras demi mencapainya.

Dengan mempertimbangkan semua aspek SMART dalam menetapkan tujuan, seseorang dapat menghindari perasaan terbebani atau gagal di masa depan. Tujuan yang spesifik, terukur, dapat diraih, dan relevan akan memberikan arah yang jelas dan motivasi yang kuat untuk meraih kesuksesan tanpa terjebak dalam Duck Syndrome. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Abdillah Qomaru Zaman

Lulusan Ilmu Politik, freelance penulis dan pelatih silat.