Esensi

MENELUSURI KEHIDUPAN PARA GEN Z YANG HIDUP DI DAERAH

Selama ini Gen Z di kota-kota besar mendominasi konten dan pemberitaan. Bagaimana dengan Gen Z yang tinggal di daerah?

title

FROYONION.COM - Lahir antara tahun 1997 hingga 2012, Generasi Z atau singkatannya adalah Gen Z beruntung sekali dengan adanya kemajuan teknologi seperti sekarang. 

Namun, kemudahan dalam mengakses informasi itu ternyata memengaruhi pembuatan keputusan dan pilihan hidup bagi para Gen Z. Ada juga dampak negatif dari informasi yang dikonsumsi oleh Gen Z ini menyebabkan permasalahan baru dalam hidup mereka.

Sebagai bagian dari Gen Z, penulis sendiri juga bisa mengamati beragam perilaku dan kebiasaan yang viral di dunia maya. 

Namun, yang penulis lihat sekarang ini para Gen Z metropolis dengan segala polah tingkahnya lebih banyak menyita perhatian warganet. 

BACA JUGA: PENELITI SEBUT GEN Z KURANG BERMINAT NONTON ADEGAN PANAS DI FILM

Konten-konten FYP dan cuitan di X (Twitter) tentang keluh kesah Gen Z metropolis sebenarnya kurang relevan bagi penulis yang menjadi bagian Gen Z daerah. Sebagai catatan, penulis adalah Gen Z yang tinggal di Solo dengan lingkaran pertemanan yang  tidak neko-neko.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa terjadi overgeneralisasi karakter Gen Z yang kita bisa saksikan di media sosial. Seolah-olah Gen Z metropolis adalah cerminan dari keseluruhan Gen Z termasuk kami yang tinggal di daerah di luar ibukota dan daerah penyangganya. 

Di sini, penulis ingin mengupas seluk beluk kehidupan Gen Z di daerah-daerah yang belum banyak dibahas di media sosial tetapi perlu untuk diketahui.

PERTEMANAN ANTI RIBET 

Yang pertama adalah soal pertemanan. Bagi kami Gen Z daerah, nilai dari sebuah pertemanan bukan hanya sebagai tempat nongkrong untuk meredam stres/ beban psikologis dari kehidupan keluarga, kuliah atau kerja. 

Pertemanan bagi Gen Z daerah bermakna lebih dari itu. Pertemanan yang dipegang sejak lama oleh sebagian besar Gen Z di daerah adalah tentang kesolidannya.

Berdasarkan konten bertema Gen Z metropolis yang beredar di media sosial, pertemanan cenderung terkesan ribet karena Gen Z terlalu mengkotak-kotakkan teman-temannya. Padahal yang paling utama dalam pertemanan itu adalah mencari teman-teman yang baik dan bermanfaat.

BACA JUGA: ‘SOFT SAVING’: MENABUNG DANA PENSIUN ALA GEN Z

Kita mungkin pernah mendengar istilah-istilah seperti friend with benefits, teman party, anak skena, dan perkumpulan penikmat senja yang tentu istilah-istilah tersebut sangat relevan dan identik dengan Gen Z. Bahkan ada juga sebuah circle pertemanan yang menggunakan kriteria material, misal circle khusus pemilik iPhone, circle Pajero, dan lain sebagainya. 

Bagi kami anak-anak Gen Z daerah, berteman itu simpel saja. Tidak perlu neko-neko harus menyaring teman berdasarkan pada benda yang kita punya, seberapa terkenal kita di sekolah dan seberapa banyak followers Instagram kita. 

Masalah pribadi pun tidak akan menjadi bahan mengobrol di tongkrongan dan dijadikan sebagai bahan cerita ketika PDKT. Yang terpenting bagi kami adalah adanya sebuah pertemanan yang bisa diajak susah senang bersama-sama. Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai “kanca kenthel sak lawase”, yang berarti berkomitmen untuk menjadi teman selamanya tanpa memandang pencapaian yang dimiliki oleh teman kita.

BANGGA DENGAN KAMPUNGNYA

Yang kedua adalah soal kepercayaan diri dalam menerima takdir terlahir sebagai anak daerah. Tentu bagi Gen Z, sebutan “kampungan” dan “ndeso ini memiliki citra ‘miring’. Padahal, memiliki latar belakang sebagai orang kampung bisa menjadi sebuah kebanggaan tersendiri dan justru sesuatu yang patut disyukuri.

Kenapa penulis bisa berargumen seperti itu? Bagi kami Gen Z daerah, hidup di daerah merupakan sebuah tantangan. Kami harus bisa berkembang dengan keterbatasan yang ada sembari masih bisa mengeksplorasi alam bebas. Dari sinilah ketangguhan mental dan kreativitas kami terbentuk. 

BACA JUGA: MENGENAL COTTAGE CORE GAYA HIDUP ALA PEDESAAN EROPA YANG SEDANG DIGANDRUNGI GEN Z

Dalam hal mencari kesenangan pun, kami tidak muluk-muluk. Tidak ada konsep hedonis metropolis yang sekadar nongkrong dan pesta besar-besaran. Kami sudah senang bisa mengobrol bersama di warung-warung kopi terdekat karena bagi kami kebersamaan yang paling penting dan tidak perlu ditopang dengan hal-hal mahal-mahal. 

Kami juga tidak begitu up to date dengan istilah-istilah kekinian dan juga tidak berbicara dengan mencampuradukkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bagi kami, bahasa daerahlah yang mampu mengantar kami untuk bisa terus akrab selama-lamanya. Walaupun kadang di sini banyak dari kami yang suka ceplas-ceplos, tetapi dari situlah anak Gen Z di daerah memiliki mentalitas yang sedikit lebih unggul karena telah terbiasa dengan perkataan berkedok jokes ndagel.

BEDA MASALAH MENTAL 

Yang ketiga adalah mengenai mentalitas yang terlatih pada Gen Z di daerah. Stereotip Gen Z yang dikenal sebagai generasi manja tak berlaku untuk kami yang di daerah. 

Tanpa menampik pentingnya kesehatan mental,  kami yang di daerah ini merasa kurang relate dengan para influencers dan musisi metropolis yang membahas isu mental health dalam konten dan karya mereka. 

Dalam pengamatan penulis, isu kesehatan mental lebih banyak dibicarakan di kota-kota besar. Buktinya para kreator konten kesehatan mental lebih banyak menggandeng narasumber dari kota-kota besar juga. Jarang sekali ditemukan influencers daerah yang membawa tema kesehatan mental sebagai topik konten.

Meski demikian, Gen Z daerah juga punya masalah mental mereka sendiri. Sayangnya, masalah mental Gen Z daerah sangat jarang dilirik para influencers kesehatan mental. Beberapa masalah itu misalnya sabung ayam, meninggal akibat meneguk miras oplosan, balapan liar, dan hal-hal bodoh lainnya yang diakibatkan keterbatasan akan informasi dan lingkungan yang peduli terhadap isu mental health.

TAK MUDAH MENGELUH

Pekerjaan yang paling enak itu kalau sesuai dengan passion kita. Tenaga dan pikiran akan lebih mengalir lancar meski kita harus menjalani seabrek rutinitas kerja. Rasa capek yang mendera seolah terbayar dengan kepuasaan setelah kita dapat menyelesaikan pekerjaan yang kita sukai.

Hal inilah yang mendorong Gen Z yang sedang menempuh dunia kerja saat ini untuk memperjuangkan cita-citanya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. 

Tekanan yang dialami di tempat kerja kadang menjatuhkan mental para Gen metropolis. Ada saja keluh kesah di awal kerja, misalnya terhadap jam kerja, teman kerja yang tidak sefrekuensi dan gaji yang pas-pasan. Hal tersebutlah yang kadang membuat para Gen Z ini sering resign dan mencari pekerjaan lainnya.

Bagi sebagian Gen Z daerah, pekerjaan yang sekarang ini membuatnya capek mereka yakni jalan tersebut merupakan batu loncatan untuk ke tahap karier yang lebih baik. Itulah mengapa para Gen Z daerah ini mampu beradaptasi dalam pekerjaan apapun. Mereka tidak gengsi dengan apa yang mereka kerjakan saat ini. Yang paling penting dari mereka adalah untuk tidak terlalu lama membebani orang lain.

Bekerja bisa di mana saja adalah tagline yang biasanya dijadikan prinsip bagi anak daerah. Tak heran jika para Gen Z daerah ini mampu beradaptasi ketika berada di perantauan. Ketika berada di kota besar pun mereka tidak mempermasalahkan ketidaktersediaan hiburan yang ada di sebuah kota, karena gaya hidupnya di daerah saja sudah sederhana.

MASIH TAKUT DAN TAAT TERHADAP TUHAN

Ketika Gen Z daerah berkunjung ke kota-kota besar, seringkali mereka terkejut karena menyaksikan realitas kehidupan yang berbeda jauh. Banyak cerita teman-teman Gen Z penulis tentang kehidupan sesama Gen Z di perkotaan yang serba bebas. Melihat gadis-gadis muda merokok, siswa SMA minum minuman beralkohol, dan bahkan ada juga yang terang-terangan mengaku dirinya sebagai seorang agnostik.

Tidak dapat dipungkiri perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat membuat mereka terpapar dengan beragam pikiran-pikiran bebas yang sangat jauh dari norma agama yang berlaku di Indonesia.

Harus diakui juga bahwa level religiositas Gen Z sekarang ini mulai pudar. Kita bisa lihat dari sebagian anak-anak muda sekarang yang meninggalkan ritual ibadah dan merasa tidak ada masalah dengan hal itu. ‘Kekosongan’ dalam hal agama ini mereka coba isi dengan menyibukkan diri untuk mengikuti tren-tren terkini dan bekerja keras mencari uang sebanyak mungkin. 

Meskipun demikian, masih ada para Gen Z daerah yang masih setia dengan Tuhan. Bagi kami para Gen Z daerah, keberadaan Tuhan ini masih menjadi pelipur lara ketika jiwa dan raga membutuhkan pencerahan dari-Nya.

Dengan semua penjelasan ini, semoga makin banyak yang paham bahwa Gen Z bukanlah cuma yang kita saksikan di media sosial. Jangan lupakan kami Gen Z yang bertebaran di daerah-daerah selain Jakarta dan sekitarnya, yang hampir tak pernah dibahas media-media massa. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Fajar Novianto Alfitroh

Sedang menjalani masa gap year.Menulis artikel sebagai wadah healing di beberapa media,seperti Mojok,Geotimes Kompasiana dan Froyonion ini