Berdasarkan sejumlah data, Indonesia digadang-gadang jadi penyumbang sampah plastik terbesar ke-2 di dunia. Padahal, sampah ini bahaya banget cuy kalau diabaikan. Gimana sih ya pemerintah harus bersikap sebagai pemangku kebijakan?
FROYONION.COM - Penanganan sampah di Indonesia seringkali memang jadi polemik yang seolah nggak terselesaikan hingga sekarang ini ya Civs. Banyak memang kebijakan-kebijakan yang sudah diambil sama pemerintah, tapi belum kelihatan secara nyata hasilnya hingga sekarang.
Makanya kan belakangan muncul kelompok anak-anak muda yang ikut menggairahkan semangat penanganan sampah di negeri ini. Memang harus diakui juga sih, kalau masalah sampah ini sebenarnya bukan urusan yang hanya harus diselesaikan oleh pemerintah saja. Masyarakat sipil dan lo lo pada juga sebenarnya punya tanggung jawab yang sama.
Kepedulian terhadap sampah memang perlu terus dibangun. Salah satu masalah yang harus jadi perhatian khalayak adalah sampah plastik di Indonesia. Buat gambaran nih, coba gue mengutip hasil dari kajian yang dilakukan oleh Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) pada 2022 lalu.
Mereka menguji kandungan mikroplastik di 68 sungai strategis nasional dan ternyata masih banyak sungai yang tercemar kandungan sampah ini. Padahal, as you know mikroplastik adalah salah satu partikel plastik kasat mata yang mencemari lingkungan dan sangat berbahaya bagi tubuh. Bukan cuma buat biota laut yang hidup di perairan doang Civs, tapi manusia yang banyak bersinggungan dengan hal itu juga bisa sangat terdampak.
Dari hasil studi ESN, ditemukan 5 Provinsi tertinggi dengan kontaminasi partikel mikroplastik, yakni:
1. Jawa Timur = 636 partikel/100 liter
2. Sumatera Utara = 520 partikel/100 liter
3. Sumatera Barat = 508 partikel/100 liter
4. Bangka Belitung = 497 partikel/100 liter
5. Sulawesi Tengah = 417 partikel/100 liter
Buat mendalami masalah ini, gue coba ngobrol dengan Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi. Lembaga ini turut menjadi salah satu tim yang menggerakkan ekspedisi sungai nusantara 2022 itu. Nah, kalau kata Prigi sebenarnya masalah pengelolaan sampah plastik di Indonesia itu disebabkan oleh banyak hal.
BACA JUGA: STARTUP ANAK MUDA KREATIF MAKASSAR INI ‘UPCYCLE’ SAMPAH PLASTIK
Salah satu yang disoroti doi sih adalah soal nggak adanya keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini. Hal itu kemudian juga diperparah dengan apatisme beberapa masyarakat terhadap isu sampah ini.
"Prinsipnya sih, nggak ada keseriusan. Pemerintahnya ke kanan, masyarakatnya ke kiri. Jadi nggak pernah nyambung. Makanya, kami kan mengungkap dampak-dampaknya lah, dari mikroplastik itu. Harapan kami bisa jadi pengingat masyarakat, kalau dampak sampah ini berbahaya karena kan ke paru-paru, ke kesehatan, dan lain-lain," kata Prigi saat berbincang via sambungan telepon, Senin (13/2).
Harus lo ingat cuy, kalau air sungai itu punya peranan vital banget dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya juga sih menurut gue, kengerian sampa plastik di sungai itu juga bisa kelihatan kasat mata kok. Cek aja coba bantaran sungai dekat rumah lo, pasti bakal ada sampah-sampah plastik yang menumpuk di ujung perairannya.
Sebagai gambaran, ini beberapa contoh kontaminasi partikel plastik berukuran kecil yang mendominasi di sungai Indonesia.
1. Fibre atau Serat (49,2%) yang bersumber dari degradasi kain sintetik. Biasanya sampah jenis ini dihasilkan dari kegiatan rumah tangga seperti pencucian kain, limbah tekstil, dll.
2. Film (25,6%) berasal dari degradasi sampah plastik yang tipis dan lentur seperti kresek ataupun kemasan plastik single layer.
3. Fragment (18,6%) dari degradasi plastik yang lebih kaku dan tebal seperti kemasan sachet, tutup botol, botol, dan lainnya.
4. Pellet (4%) yang merupakan mikroplastik primer langsung dari hasil produksi pabrik. Biasanya ditemukan sebagai bahan baku pembuatan produk plastik.
5. Foam (0,4%) dari degradasi plastik dengan struktur foam atau busa. Misalnya styrofoam, polietilena, ataupun polivinil klorida.
Salah satu kebijakan yang diterapkan pemerintah, misalnya pengelolaan sampah yang dibuat secara terpadu dan sistemik melibatkan masyarakat, swasta dan pemerintah dari tingkat pusat hingga ke daerah. Salah satu yang dilakukan pemerintah, merujuk kajian Ecoton, ialah metode landfill.
Menurut mereka metode ini berbahaya karena pengelolaan sampah hanya sebatas membuang, mengangkut, dan menimbun sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) sehingga pemanfaatan terhadap sampah-sampah itu menjadi minim.
Padahal, dengan pengelolaan yang serampangan itu bisa menyebabkan mikroplastik kian mengancam keberlangsungan. Banyak TPA yang overload di Indonesia jadi contoh bahayanya pengelolaan dengan metode itu.
Hal tersebut pun akhirnya menyebabkan kontaminasi mikroplastik di 68 sungai di Indonesia sebagaimana diteliti oleh tim ekspedisi.
Nah, kalau menurut Ecoton sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan buat menyelesaikan masalah pengelolaan sampah plastik agar nggak berlanjut kerusakannya menjadi mikroplastik.
Misalnya, menerapkan konsep zero waste city dalam tata kelola sampah di setiap daerah. Dengan begitu, pemilahan sampah mutlak harus dilakukan secara lebih bijak.
Kalau memang upaya tersebut bisa dimaksimalkan maka beban sampah yang akan masuk ke TPA akan berkurang sehingga meminimalisir kebocoran sampah plastik ke lingkungan.
Bukan cuma itu, pemerintah juga bisa mendorong produsen penghasil sampah plastik agar merancang peta jalan pengurangan sampah secara lebih tegas. Hal ini penting untuk menekan kemasan-kemasan baru yang tercipta dan berpotensi mencemari lingkungan.
Fyi guys, ada aturan yang bisa dijadikan pedoman buat merealisasikan itu yakni dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah.
BACA JUGA: SAMPAH BERSERAKAN DI MANDALIKA, TEMPAT SAMPAH KURANG BANYAK APA EMANG KEBIASAAN?
Ecoton juga menyebutkan kalau pemerintah sekarang ini nggak boleh lagi mengambil jalan pintas pengelolaan sampah melalui solusi RDF a.k.a Refuse Derived Fuel atau metode yang memisahkan sampah padat perkantoran antara fraksi yang mudah terbakar dengan yang sulit terbakar. Cara ini dianggap berbahaya karena memanfaatkan bahan bakar dari limbah atau sampah yang dihomogenisasi.
Beberapa senyawa yang disoroti dari hasil pembakaran RDF, seperti kimia dioksin, logam berat, polutan organik, hingga partikel halus ke udara yang bisa membahayakan kesehatan manusia.
Nah cuy, harus lo tahu kalau beberapa senyawa itu adalah cikal bakal dari beberapa penyakit berbahaya seperti kanker, masalah reproduksi, dan gangguan hormon.
"KLHK harus segera membuat baku mutu mikroplastik untuk melindungi kesehatan penduduk Indonesia, karena jika kontaminasi mikroplastik dalam air sungai tidak dikendalikan maka yang menjadi korban adalah manusia karena saat ini diketahui bahwa ikan, seafood telah tercemar mikroplastik, bahkan dalam lambung,plasenta, paru-paru, air susu ibu dan darah manusia telah ditemukan mikroplastik," ucap Prigi.
Kalau dari beberapa diskusi dan bahan bacaan yang gue cermati, memang kayaknya pemerintah itu punya 'gong' yang paling kuat buat menyelesaikan persoalan ini. Meskipun memang harus diikuti oleh kesadaran penuh dari masyarakatnya.
Tapi, regulasi yang jelas dan terarah sebenarnya juga diperlukan dong sehingga kita sebagai masyarakat juga tahu apa yang dibutuhkan. (*/)