Anak muda acap kali dianggap banyak protes, tapi nggak punya sumbangsih ke negara. Gimana nih menurut kalian?
FROYONION.COM – Di era yang didominasi oleh Milenial dan Gen Z, suara protes dari generasi muda semakin nyaring terdengar.
Mereka menjadi agen perubahan yang tak ragu menyuarakan aspirasi dan keinginan mereka untuk transformasi positif di tengah-tengah masyarakat.
Dulu sewaktu sekolah kita diajarkan oleh guru untuk kritis dan juga berani mengeluarkan pendapat kita, hal ini juga dijamin juga oleh negara di Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi.
Tapi berkaca dari negara tercinta kita ini, kita sebagai anak muda terkadang juga kerap kali dibungkam untuk bersuara. Malahan ketika bersuara kita acap kali diberi label "terlalu banyak protes."
Atau bahkan anak muda kerap dicap tak punya andil dan kontribusi yang besar untuk negara jadi jangan sok-sokan menilai. Salah satu perkataan ini mungkin pernah dilontarkan oleh Mantan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri disadur Froyonion.com dari CNN.
“Anak muda kita, aduh, saya bilang sama Presiden jangan diam saja, dibilang generasi kita adalah generasi milenial. Saya mau tanya hari ini, apa sumbangsihnya generasi milenial yang sudah tahu teknologi seperti kita bisa viral tanpa harus bertatap langsung, apa sumbangsih kalian terhadap bangsa dan negara ini? Masa hanya demo saja," kata Megawati, Rabu 28 Oktober 2020 lalu.
BACA JUGA: FENOMENA PHUBBING: SAAT GAWAI MENGALAHKAN KEHADIRAN MANUSIA
Pernyataan itu sempat dilontarkan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri seiring dengan banyaknya demonstrasi menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan pemerintah dan DPR.
Aksi tersebut diketahui hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Jakarta, diketahui sempat berujung ricuh hingga ada pembakaran halte dan pos polisi.
Alasan utama mengapa Milenial dan Gen Z dinilai banyak protes ini mungkin bisa dijelaskan dari penelitian terbaru oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama lembaga riset-survei Populix.
Lembaga ini mengungkapkan bahwa milenial dan gen Z memiliki kecenderungan berpikiran terbuka dan juga kritis.
Berdasarkan penelitian yang melibatkan 1.038 responden, sekitar 79% dari mereka menunjukkan sikap terbuka terhadap hal-hal baru, meskipun mungkin berseberangan dengan keyakinan pribadinya.
Dalam postingan resmi Instagram kedua lembaga tersebut, dikemukakan bahwa sikap terbuka ini juga diikuti dengan kebiasaan melakukan pengecekan fakta dari sumber yang dapat dipercaya, mencapai 93% responden yang melakukan tindakan ini.
Survei juga mengindikasikan bahwa generasi ini menganggap logika dan pertimbangan dari berbagai perspektif sangat penting dalam proses pengambilan keputusan.
Milenial dan gen Z juga terkenal tidak menerima informasi begitu saja, melainkan cenderung melakukan verifikasi fakta dari sumber yang dapat dipercaya.
Hal inilah yang mungkin membuat kedua generasi ini tak takut mengeluarkan pendapatnya dan lebih berani dari generasi sebelumnya.
Seperti yang kita tahu belakangan ini banyak sekali anak muda tak segan-segan mengkritik pemerintah lewat platform media sosial. Salah satu anak muda yang belakangan ini viral adalah kritik Bima Yudho Saputro, seorang pelajar yang berada di Australia dan memiliki akun TikTok dengan username @awbimaxreborn, diduga telah dilaporkan ke polisi setelah mengkritik kondisi jalan rusak di Lampung.
Bima, yang sedang menempuh studi di Australia, dituduh menyebarkan hoaks melalui video presentasi berjudul "alasan Lampung tidak maju-maju."
Seorang advokat melaporkannya dengan menggunakan UU ITE, menuduhnya membuat keonaran dengan menyebarkan berita palsu dan informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA.
BACA JUGA: MANJAKAN MATA DENGAN ‘HEALING’ DI 4 PAMERAN SENI GRATIS DI WISMA GEHA JAKARTA
Lewat insiden ini pun banyak yang bertanya-tanya apakah benar jalanan di Lampung rusak parah?
Menyadur dari BBC mencatat sebanyak 37,5% atau setara dengan 7.622 km dari seluruh jalanan di Lampung mengalami kerusakan ringan dan berat.
Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) periode 2020-2021 menunjukkan bahwa Lampung memiliki total ruas jalan sepanjang 20.310 kilometer, terdiri dari Jalan Nasional (1.292km), Jalan Provinsi (3.387km), dan Jalan Kabupaten serta Kota (15.631km).
Dari total tersebut, 62,4% atau sekitar 12.688 km merupakan ruas jalan dengan status baik dan sedang di provinsi ini. Jalan kabupaten dan kota mengalami kerusakan berat paling banyak (16,6%), diikuti oleh jalan provinsi (8%), dan jalan nasional (1,7%).
Akibat dari aksi protesnya tersebut Bima juga mengaku sempat diintervensi oleh pemerintah Lampung hingga mengganggu kehidupan sehari-hari keluarganya juga.
Bukan hanya asal kritik, tapi juga aksi nyata dilakukan sejumlah anak muda juga banyak sekali dilakukan.
Contohnya saja, aksi kritik yang diprakarsai oleh Pandawara Group yang kerap mengangkat isu lingkungan.
Pandawara Group, kelompok pemuda asal Bandung yang dikenal aktif membersihkan sampah di berbagai lokasi. Salah satunya adalah aksi bersih-bersih yang dilakukan Pandawara Grup di Pantai Cibutun-Talanca Desa Sangrawayang, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi pada 6-7 Oktober 2023.
Namun niat baik tidak selalu disambut baik, Kepala Desa Sangrawayang, mereka menolak Pandawara Group membersihkan Pantai Cibutun-Talanca.
Kepala Desa Sangrawayang, Muhtar, mengatakan kepada wartawan bahwa aparat desa tidak dilibatkan dalam kegiatan bersih-bersih yang akan dilakukan oleh Pandawara Grup di wilayahnya. Muhtar mereka menolak karena sebelumnya Pandawara Group tidak berkoordinasi terlebih dahulu kepada pemerintahan desa terkait rencana tersebut sejak awal.
Kalau gini gimana dong? Protes doang dibilang “protes terus padahal nggak punya sumbangsih” ke negeri, tapi saat anak muda berbondong-bondong untuk menunjukkan aksi mereka malah dikecam dan diancam.
Tapi giliran generasi tua yang korupsi hukumannya dikit banget?
Tahun lalu saja, KPK telah menangani 85 kasus tindak pidana korupsi dari 1 Januari hingga 6 Oktober 2023.
Mayoritas kasus melibatkan penyuapan atau gratifikasi sebanyak 44 kasus (51,76%), diikuti oleh korupsi pengadaan barang dan jasa dengan 32 kasus.
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) mencatat 6 kasus, perintangan proses penyidikan 2 kasus, dan pungutan atau pemerasan 1 kasus.
BACA JUGA: SINOPSIS ‘A SHOP FOR KILLERS’ SERIAL TERBARU KIM HYEJUN
Dari total kasus, belum ada yang berkaitan dengan korupsi perizinan dan penyalahgunaan anggaran.
Mayoritas tindak pidana korupsi terjadi di instansi pemerintah kabupaten/kota sebanyak 29 kasus, diikuti oleh instansi kementerian/lembaga (26 kasus), BUMN/BUMD (20 kasus), dan pemerintah provinsi (10 kasus).
Dalam hal profesi pelaku, pejabat eselon I, II, III, dan IV menjadi pelaku utama dengan 39 kasus, diikuti oleh pihak swasta (26 kasus), wali kota/bupati dan wakilnya (4 kasus), hakim (2 kasus), dan pengacara (2 kasus).
Terdapat juga kasus yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, kepala lembaga/kementerian, gubernur, dan profesi lainnya sebanyak 9 kasus.
Sementara itu dalam lima tahun terakhir, ICW mencatat bahwa pada tahun 2021, aparat penegak hukum menindak 533 kasus korupsi dengan potensi kerugian negara mencapai Rp29,4 triliun.
Meskipun jumlah kasus yang ditindak lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya, nilai potensi kerugian negara cenderung terus meningkat selama periode 2017-2021.
ICW memberikan penilaian "D" atau "buruk" terhadap kinerja APH pada tahun 2021, dengan KPK dinilai sangat informatif, sedangkan Kepolisian dan Kejaksaan cenderung tertutup dalam keterbukaan informasi penanganan kasus korupsi.
Generasi Milenial dan Gen Z dikenal sebagai kelompok yang proaktif dan kritis. Aksi protes seperti yang dilakukan oleh pandawara dan Bimo menjadi contoh nyata bagaimana mereka mencoba menggugah kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial dan politik yang dianggap penting.
Protes generasi muda bukan semata keluhan, tetapi sebuah panggilan untuk keadilan dan perubahan yang lebih baik.
Sementara itu, generasi tua, dengan segala pengalaman dan kebijaksanaannya, seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai moral.
BACA JUGA: 4 BRAND YANG ‘BANTING SETIR’ DAN MENGUBAH HALUAN BISNISNYA
Namun, realitas menunjukkan bahwa beberapa dari mereka malah terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara.
Skandal dan kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh senior menggambarkan ironi di mana kelompok yang seharusnya memberikan panutan malah menjadi pelaku.
Seharusnya, kita melihat realitas ini sebagai cermin bagi kita semua. Mengkritisi protes generasi muda tanpa merenung pada perilaku koruptif generasi tua hanyalah menunjukkan ketidakseimbangan pandangan.
Perlunya introspeksi kolektif untuk memahami bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawabnya masing-masing.
Generasi tua dan generasi muda memiliki peran masing-masing dalam membentuk masa depan negara ini. Bukannya saling menyalahkan, mari kita saling mendengar dan bekerja sama.(*/)