Esensi

BENARKAH AI YANG PINTAR JUSTRU BIKIN MANUSIA JADI MALAS DAN BODOH?

Sebuah penelitian yang dikerjakan oleh Dell’Acqua mencoba membuktikan, bahwa AI yang semakin pintar membuat manusia menjadi pemalas dan bodoh. Check it out!

title

FROYONION.COM - Sejak ChatGPT diperkenalkan dan mendapatkan panggungnya, tak butuh waktu lama bagi kecerdasan buatan atau AI lainnya untuk bermunculan.

Kini, tidak hanya soal menghasilkan tulisan atau artikel yang informatif saja yang bisa ditangani oleh AI. Melainkan juga pekerjaan kreatif lainnya, seperti menggambar bahkan meramu nada untuk dijadikan sebuah lagu.

Bahkan sekarang untuk melakukan kerja coding, seseorang tak perlu repot-repot menekuri layar komputer sampai botak. Cukup dengan AI, pekerjaan coding bakal kelar dalam waktu singkat.

Masifnya perkembangan AI sejalan dengan meningkatnya kekhawatiran soal bahaya dan dampak buruk yang menyertainya.

BACA JUGA: DISRUPSI ARTIFICIAL INTELLIGENCE DI INDUSTRI MUSIK, APA MANFAATNYA BAGI MUSISI?

Banyak orang mulai khawatir bahwa AI akan membuat keahlian mereka menjadi tidak lagi dibutuhkan sehingga mereka bisa saja kehilangan pekerjaan dengan mudah.

Namun kekhawatiran terbesar dari masifnya perkembangan AI adalah: berkat itu manusia akan menjadi bodoh dan pemalas. Hal ini bisa saja terjadi karena hilangnya kemauan untuk belajar dan mempertajam keahlian lantaran semua bisa ditangani oleh AI.

Baru-baru ini, sebuah penelitian yang melibatkan banyak ahli dan ditayangkan oleh laman Big Think, menunjukkan bahwa kekhawatiran itu nyata adanya.

AI SEMAKIN PINTAR, MANUSIA SEMAKIN BODOH?

Penelitian tersebut melibatkan beberapa tim ahli seperti ahli di bidang ilmu sosial Harvard Fabrizio Dell’Acqua, Edward McFowland III, dan Karim Lakhanu. Bersama Hila Lifshitz-Assaf dari Warwick Business School dan Katherine Kellogg dari MIT.

Selain itu para ahli tersebut juga mendapatkan bantuan dari Boston Consulting Group (BCG) sebagai pihak yang merancang tugas-tugas yang akan diujikan untuk menjalankan eksperimen yang melibatkan nyaris 800 tenaga konsultan.

Metode penelitian dimulai dengan membagi ratusan konsultan tersebut menjadi dua kelompok secara acak. Kelompok pertama berisi para konsultan yang akan mengerjakan tugas dengan bantuan ChatGPT-4. Sedangkan kelompok lainnya berisi para konsultan yang mengerjakan semua tugas dengan cara standar.

Hasilnya, kinerja para konsultan yang bekerja dengan mengandalkan ChatGPT-4 jauh lebih baik dan cepat ketimbang kelompok yang bekerja dengan cara standar.

BACA JUGA: MARAKNYA PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI), BAKAL JADI ANCAMAN BAGI PEKERJA KREATIF?

Meski begitu, lewat pengamatan yang lebih mendalam, ditemukan fakta yang cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, hasil kerja dari kelompok pertama, sebagian besarnya justru dikerjakan oleh AI.

Ditemukan bahwa mereka sekadar menuliskan perintah dan mengajukan pertanyaan pada kolom yang tersedia, dan membiarkan ChatGPT mengerjakannya untuk mereka. Bahkan mereka tak perlu repot-repot melakukan editing hasil kerja AI tersebut.

Namun ketika tugas selanjutnya diberikan, yakni berupa tugas yang sulit untuk dikerjakan oleh AI dengan benar, hasilnya semakin mempertegas kekhawatiran terkait AI.

Mereka yang mengandalkan AI hanya bisa menyelesaikan 60% hingga 70% tugas yang diberikan dengan benar. Sementara mereka yang bekerja secara standar tanpa bantuan AI justru mampu merampungkannya hingga 84%.

Hasil ini menunjukkan, bahwa ketergantungan pada AI membuat orang cenderung menjadi malas, sembrono bahkan kurang terampil saat mengerjakan tugas yang diberikan.

Hal ini karena seringnya mereka cenderung hanya percaya begitu saja pada output yang diberikan oleh AI secara membabi buta tanpa disertai pertimbangan. Bahkan tanpa kroscek lebih lanjut dan mendalam untuk memastikan valid tidaknya rekomendasi yang diberikan oleh AI.

Secara tersirat, penelitian Dell’Acqua ini seolah ingin memperingatkan kita bahwa dengan semakin canggih dan pintarnya AI, manusia akan semakin malas untuk belajar dan mempertajam keterampilannya. Dan perilaku semacam ini lambat-laun akan membuat umat manusia jadi semakin bodoh dan pemalas.

MATINYA KEPAKARAN DI ERA AI

Ada banyak film yang memprediksi gambaran masa depan manusia dengan AI. Dan kebanyakan prediksi yang ditampilkan, seringkali mengarah pada distopia atau kehancuran umat manusia itu sendiri.

Dalam film Terminator misalnya, berkat AI yang sangat cerdas bernama SkyNet, perang antara manusia dengan mesin terjadi dan bikin umat manusia berada di ambang kepunahan.

Meski kesannya kelewat berlebihan, kita mungkin perlu waspadainya sekarang, mengingat dalam waktu dekat orang-orang mulai merancang AI yang bisa menghasilkan AI lainnya.

Contoh lainnya ada di film Wall E, yang menampilkan manusia menjadi gendut dan malas (bahkan untuk sekadar mengambil minuman) karena kelewat tergantung pada teknologi. Prediksi ini nyaris mirip dengan manusia sekarang yang bahkan terlalu malas untuk menyetir mobil.

Tentu, kita berharap semua prediksi buruk itu tidak akan terjadi. Hanya saja jika melihat situasinya sekarang, belakangan prediksi-prediksi itu tampak semakin nyata bakal terwujud.

Sama halnya dengan teknologi dan mesin-mesin yang sudah lebih dulu ada, AI sebetulnya lahir dari upaya manusia untuk mengatasi kesulitannya dan semakin memudahkan pekerjaan mereka. Dan barangkali juga lahir dari keinginan manusia untuk terus maju dan berinovasi dalam menciptakan teknologi yang baru.

Sayangnya, kini manusia seolah sudah terlalu jauh melesat maju dan tidak ada yang menyadari kapan mereka harus berhenti, dan apa yang seharusnya tidak mereka ciptakan.

Lahirnya ChatGPT perlu diakui membawa banyak sekali kemudahan. Berkat kinerja AI, manusia kini tak perlu lagi repot-repot mengunjungi banyak situs satu persatu dan membuang waktu untuk membacanya guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Bahkan kini mereka tidak perlu lagi repot menyusun semuanya sendiri atau memilah informasi mana yang perlu ditambahkan dan mana yang mesti dibuang, karena semua sudah ditangani oleh AI dalam waktu hitungan detik saja.

Pada AI model lainnya, misalnya pada AI untuk menggambar seperti Dall.E, seseorang yang sebelumnya tidak punya keahlian menggambar, bisa menghasilkan gambar berkat AI tanpa perlu ia repot belajar lebih dahulu membuat lingkaran yang sempurna sebagai tahapan awal dalam belajar menggambar.

Bahkan beberapa waktu lalu, sebuah AI untuk musik berhasil menciptakan sebuah lagu yang dalam waktu singkat laris-manis didengarkan orang-orang. Padahal kreatornya, orang yang menjalankan AI tersebut tidak punya keahlian musik sebelumnya.

Namun, dari lahirnya beragam jenis AI untuk kerja kreatif seperti menulis, menggambar bahkan mengarang lagu; memperlihatkan bahwa tak ayal lagi manusia sekarang menganggap kegiatan belajar atau mempelajari sesuatu untuk menguasai suatu keahlian, adalah salah satu kesulitan yang mesti disingkirkan dan bukannya suatu keharusan atau fitrahnya manusia.

Padahal untuk mendapatkan sebuah ilmu atau keahlian, seseorang harus belajar. Dan lumrahnya, belajar memang harus sulit dan melelahkan.

Hal ini sejalan dengan salah satu petuah dari salah seorang ulama salaf, Yahya bin Abi Katsir yang mengatakan bahwa, ilmu tidak akan datang pada tubuh yang santai (malas). Seolah itu mempertegas bahwa ilmu dan kesulitan untuk memperolehnya adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.

Pada akhirnya, ancaman dari lahirnya AI yang sesungguhnya dan paling berdampak pada kehidupan manusia ke depannya, adalah soal hilangnya kemauan untuk belajar. Bukannya soal perang antara mesin dengan manusia yang rasanya kelewat jauh dan fiksi.

Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin matinya kepakaran yang banyak dibahas oleh berbagai media, akan semakin menjadi-jadi dan dampaknya akan sulit untuk dipulihkan.

Tentunya kita tidak bisa mengabaikan begitu saja lahirnya AI. Dan barangkali itu berarti bahwa tak ada jalan untuk kembali, tak ada langkah pasti untuk mencegah bencana yang bisa muncul karenanya.

Namun ini justru bikin saya teringat pada salah satu ungkapan dari salah satu tokoh fiktif dari film Ready Player One, James Halliday yang rasanya menarik untuk direnungkan dalam menghadapi situasi sekarang: “Why can’t we go backward–for once? Backward, really fast. Fast as we can.” (*/) 

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan