Esensi

BELAJAR DARI PENGALAMAN PAHIT: CARI PACAR LEWAT JALUR TWITTER

Saya percaya, jodoh katanya emang jorok, kita bisa ketemu di mana aja, termasuk di Twitter (walaupun saya belum berhasil). Kalau kalian percaya juga nggak?

title

FROYONION.COM - Menurut testimoni teman terdekat, saya terkenal anti pacaran sama temen sendiri. Gimana ya, rasanya tuh nggak tertarik aja karena kita udah tau semua baik – buruknya. 

Menyadari hal itu, akhirnya saya mencari gebetan via internet, dan pacar online pertama saya dulu didapat dari Twitter. Iya, Twitter yang isinya cuma tempat sambat atau shitposting doang bisa jadi lapak mencari jodoh. Saat itu, sekitar tahun 2015 – 2016, aplikasi kencan seperti Tinder mungkin sudah ada, tapi nggak semasif saat ini.

Saya ceritakan sedikit, gimana alur pencarian gebetan/pacar di Twitter ini ya. Biasanya, akan ada akun selebtwit yang mencetus dan meramaikan acara ini dengan memakai tagar tertentu. Kalau sekarang sih seperti #Birojodoh bang Alit (@shitlicious) atau #Lovestory bang Aup (@Radenrauf).

Formatnya biasanya mirip-mirip. Mereka akan membuat tweet dengan ketentuan yang berlaku: perkenalkan nama, domisili, hobi, tujuan ikutannya apa, dan unggah foto. Oh iya, nggak lupa pake tagarnya juga biar nggak susah dicari. Dari situ, biasanya bakal rame yang ikutan dengan me-reply tweet awal tadi.

Kalau sekarang sih yang saya perhatikan, isinya nggak melulu cari pasangan. Ada yang pengen mutualan aja atau cari temen ngobrol, macem-macem deh tujuannya. Tapi, saya jarang melihat ada yang mencari friends with benefit di sini ya. Kalau itu banyaknya di lapak menfess.

BACA JUGA: RAMAI DI TIKTOK DAN TWITTER, APA ITU ‘BOYFRIEND AIR’?

Nanti dari situ, kita tinggal nimbrung aja (kalau bahasa zaman sekarang sih ‘jbjb’), atau bisa juga langsung follow orang-orangnya. Sebelum itu, biasanya ada hal yang saya perhatikan: apakah fotonya cakep (versi saya) atau lebih baik lagi kalau satu domisili. Ini penting karena nantinya nggak akan berat di ongkos untuk ketemuan. Seandainya nggak cocok juga nggak rugi-rugi amat.

Terus testimoninya gimana? 

Ada kok orang-orang yang memang cocok sampai jenjang pernikahan. Tapi kalau saya, nggak seberuntung itu. Saya malah ketemu orang yang macem-macem. Ada yang akhirnya jadi pacar hingga berakhir jadi mantan, ada juga yang akhirnya temenan aja.

Kalau ditanya, saat ini apakah saya masih melakukan itu? Saya sih memilih berhenti

Kenapa? 

Pertama, malu. Dulu, belum banyak teman saya yang ikutan main Twitter. Jadi, mau ikut-ikutan nyari jodoh di timeline pun rasanya pede-pede aja. Tapi lain cerita kalau sekarang. Rasanya malu banget, takut diceng-cengin. Lebih tepatnya, takut dikira desperate banget buat nyari pacar dan dikira nggak laku, apalagi melihat umur yang semakin dewasa (baca: tua).

Kedua, dari pengalaman yang sudah-sudah, ternyata sampai saat ini belum ada yang berjodoh. Semuanya kandas di tengah jalan. Boro-boro bisa jalan, mungkin bisa dibilang usia hubungannya pun masih merangkak, tapi jalannya keburu longsor. 

Meskipun masa-masa itu sudah berlalu, tapi sampai saat ini saya masih ingat segala emosi dan perasaannya, dan masih sanggup untuk menceritakannya lagi.

Saya pernah menjalin hubungan dari biro jodoh Twitter. Kala itu saya merasa sudah sangat berjuang, mendukung, dan menemani dia dari nol, tapi akhirnya dia ingin berjalan sendiri dan fokus dengan kehidupannya, tanpa saya di dalamnya. 

Di lain cerita, saya juga pernah cukup berani menjalin hubungan jarak jauh dengan orang yang baru saya kenal beberapa bulan saja lewat Twitter. Endingnya? Bisa ditebak, ‘jarak’ itu lah yang akhirnya jadi alasan untuk tidak sejalan lagi.

Bukan kisah baru memang, tapi saya rasa, sampai saat ini masih banyak yang mengalaminya. 

Dari kegagalan demi kegagalan yang saya alami, akhirnya saya bisa bangkit dan menerima. Saya juga menyadari kalau dalam suatu hubungan, setiap orang pasti punya kesalahan masing-masing. Termasuk saya, walaupun saat itu merasa jadi pihak yang paling tersakiti.

Walaupun udah dapet hikmahnya, tapi saat ini rasanya masih kapok untuk cari pacar lewat Twitter. Nanti, seandainya keinginan itu muncul lagi, ada beberapa hal yang jadi perhatian saya sebelum memutuskan menjalin hubungan:

1. Saat merasa kesepian dan nggak bahagia sama diri sendiri, seharusnya yang saya lakukan bukan mencari orang lain, tapi fokus melakukan hal-hal yang membuat hidup saya bahagia. Jadi, ketika pacar sibuk atau lagi LDR, saya punya hal lain untuk dikerjakan, bukan malah jadi clingy nggak karuan.

2. Masa pedekate digunakan sebaik mungkin untuk tau latar belakang dan karakter masing-masing. Kemarin, saya terlalu mudah jatuh dan baper, sehingga banyak hal-hal yang seharusnya diobrolin di awal malah dilewati gitu aja.

3. Nggak terburu-buru untuk mengatakan ‘iya’. Saat terlalu lama flirting via DM atau chat, saya nggak punya waktu untuk mengenal dia secara langsung. Kalau hanya kenal online kan rasanya sangat abu-abu ya, sedangkan kalau face-to-face akan ada banyak hal yang bisa saya perhatikan dan buktikan secara langsung.

4. Saya akan lebih memperhatikan lagi bagaimana dia berinteraksi di media sosial. Media sosial saat ini bisa menjadi jejak digital seseorang. Dari sana, sedikitnya saya jadi punya gambaran, seperti apa sih orang yang sedang saya dekati ini. Memang nggak selalu valid, tapi saya agak lega karena sudah memegang informasi yang bisa saya cocokkan sendiri ketika bertemu doi. 

5. Mengedukasi diri dan mencari tau, apa sih yang sebenarnya penting buat saya dalam suatu hubungan itu? Sehingga nantinya, saya nggak mudah terombang-ambing kalau sudah punya batasan-batasan tersendiri. 

Nah, itu aja pelajaran yang bisa saya petik dari manis pahitnya kisah percintaan saya lewat Twitter. Saya percaya, jodoh katanya emang jorok, kita bisa ketemu di mana aja, termasuk di Twitter (walaupun saya belum berhasil). 

Kalau kalian percaya juga nggak? (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

E. Nur Badriah

Seorang taurus dan babu dari seekor kucing persia