Esensi

‘ACADEMESE’: SAAT AKADEMISI LEBIH INGIN TERLIHAT PINTAR KETIMBANG ‘MEMBUMIKAN’ ILMU

Alih-alih menuangkan ilmu yang membumi; yang mudah dimengerti kaum awam, budaya academese justru fokus flexing reputasi diri dengan puluhan karya yang susah dipahami. Mereka malah tidak menawarkan hal yang baru.

title

FROYONION.COM - Seperti yang diketahui selama ini, Civs, komunitas akademik di universitas lebih dituntut untuk mencurahkan keilmuannya pada tulisan jurnal yang menggunakan format, gaya, dan kosakata akademik sehingga susah untuk dikonsumsi masyarakat.

Padahal jika diperhatikan secara seksama, Indonesia berada di peringkat tertinggi untuk jumlah penerbitan karya ilmiah di Asia Tenggara. Dilansir dari sistem pemeringkatan jurnal ilmiah Scimago, menunjukkan bahwa pada tahun 2022 jumlah riset di Indonesia berada di posisi ke-40 dari 242 negara.

Namun sayangnya, meskipun Indonesia memiliki jumlah produksi riset yang banyak. Kumpulan ilmu yang dituangkan dalam karya tersebut tidak diikuti dengan penyebarluasan ilmu pengetahuan yang baik kepada masyarakat awam yang menjadi salah satu pihak yang paling membutuhkannya.

Bahkan seorang profesor dan mantan rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, Edy Suandi Hamid mengatakan bahwa penyebarluasan ilmu pengetahuan yang lemah ini merupakan 'pemborosan besar hasil riset' di Indonesia.

Dan gue sebagai mahasiswa yang juga acap kali membutuhkan sumber ilmu pengetahuan untuk keperluan tugas, gue cukup kesulitan untuk bisa mengakses penelitian yang gue perlukan dan disaat yang bersamaan ketika ada sumber penelitian yang didapatkan, malah ngebikin gue kesulitan dalam memahami inti dari jurnal tersebut.

Gak jarang, ketika udah ngabisin waktu buat memahami jurnal-jurnal ilmiah, gue kek ngerasa ini si penelitinya ngebikin karya hanya untuk formalitas atau biar 'keliatan pinter' dengan menonjolkan kredibilitas ilmiahnya. Padahal sering kali, isi yang hendak mereka sampaikan pada akhirnya juga gak terlalu penting amat alias gak menawarkan hal baru sama sekali.

BACA JUGA: LIKA-LIKU KULIAH HYBRID: EFEKTIVITAS DAN ENAK NGGAK ENAKNYA

EDUKASI YANG KURANG 'MEMBUMI'

Sejauh ini, memang para akademisi di Indonesia di tuntut oleh masing-masing universitasnya untuk dapat mencurahkan keilmuannya dalam tulisan di berbagai jurnal nasional maupun internasional.

Gak heran juga si karena tuntutan tersebut, para akademisi juga menulis tulisan dengan format atau gaya bahasa yang terlalu akademik alias terlalu tinggi, lebih-lebih orang awam. Bahkan karena terlalu sering untuk menulis tulisan dengan gaya bahasa yang seperti itu, ketika mereka menulis di koran maupun dibeberapa media online. Pada akhirnya, tulisan mereka hanya dapat dipahami oleh masyarakat dengan kualifikasi pendidikan tinggi.

Dari pengalaman gue sendiri, sebagai Mahasiswa jurusan Tafsir al-Qur'an. Ketika melihat beberapa media online yang memuat tulisan seputar al-Qur'an dan Islam yang rata-rata penulisnya itu dari jurusan gue. Sering kali gue nemuin artikel dengan bahasa yang terlalu kaku dan kurang membumi.

Bahkan gue pun sempet bingung, ini tulisan memang hasil dari mereka atau cuman sekedar copas dari jurnal skripsi,  tanpa mereka ubah maupun disederhanakan. Padahal visi dari media tersebut bukan untuk akademisi saja, melainkan juga kepada para masyarakat awam. 

Nah, jurang yang cukup lebar antara penulis akademik dengan masyarakat umum ini yang dinilai sebagai "Edukasi Kurang Membumi". Yang jelas gue gak tau pasti, tapi bisa saja ini karena keluasan wawasan akademisi yang terlalu tinggi dan meninggi  sehingga mereka gak terlalu memikirkan dan mempertimbangkan apakah tulisan mereka bisa dicerna oleh orang awam.

BACA JUGA: 2 MUSISI INDONESIA YANG PATUT DIJADIKAN MATA KULIAH KAYAK TAYLOR SWIFT

MEMBONGKAR BUDAYA ‘ACADEMESE’ DARI AKARNYA

Kalau dipikir-pikir lagi, budaya begini udah terjadi semenjak masuk ke bangku perkuliahan, bahkan bisa juga terjadi sebelum itu. Contohnya, ketika dalam kelas gue sering banget nemuin dosen yang bahkan hampir satu semester gak pernah masuk kedalam kelas dengan berbagai alasan klasik.

Dan ketika masukpun, mereka gak komunikatif sama sekali dalam menerangkan ilmunya ke kami sebagai mahasiswa. Mungkin dimaklumi jika itu terjadi kepada para mahasiswa semester tinggi yang mendekati abadi. Namun, gimana kalo terjadi ke mahasiswa baru yang masih butuh dibimbing?

Hanya diberi tugas, presentasi sendiri, dikasih penjelasan yang sukar dipahami kayak kode doi. Lama kelamaan, mahasiswa pun akan menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Gak heran aja, banyak fenomena copas sana sini, ngak-nguk dan bengong sendiri pas presentasi dan lain sebagainya.

Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa para dosen suka membuat tulisan maupun penjelasan yang susah dipahami? Dalam studi yang dilakukan oleh Daniel Oppenheimer, seorang profesor psikologi Carnegie Mellon University di Amerika Serikat.

Doi bahkan menemukan 86% respondennya mengaku memang sengaja menggunakan kosakata maupun penyampaian yang rumit dan susah dipahami agar mereka terdengar lebih ilmiah. Hmm, agaknya memang pengen Flexing kepintaran dengan menonjolkan kredibilitas ilmiah, bodo amat pembaca mau paham atau gak, yang penting tugas terpenuhi.

Namun, tanpa lari dari kemunafikan gua pasti yakin masih ada beberapa dosen maupun akademisi lainnya yang bisa membedakan antara target pembaca dari komunitas akademik dengan mereka yang orang awam. Menulis dengan bahasa sederhana, melalui tulisan populer di media massa dan lain sebagainya. 

Semoga ke depannya banyak akademisi menerbitkan tulisannya dengan menyajikan edukasi yang membumi dan berpihak kepada pembaca awam. (*/)

BACA JUGA: POLEMIK PENDIDIKAN SEKS, KONDOM, DAN VIRGINITAS DI TENGAH MASYARAKAT

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Bayu Dewantara

Mahasiswa UI(n) Jakarta, Content Writer, Civillion, Penulis buku antologi "Jangan Bandingkan Diriku" dan "Kumpulan Esai Tafsir Progresif"