Trends

PADA GEGERAN SOAL BATIK DIHINA, BUKANKAH KITA EMANG TIDAK PERNAH MENGHARGAINYA?

Mahyar Tousi dan Sophie Corcoran dicecar oleh netizen +62 karena dianggap menghina batik. Padahal kita aja (mungkin) nggak pernah menghargai batik, tapi pas dihina bersikap seolah si paling peduli. Netizen +62 itu yang penting ribut aja.

title

FROYONION.COM - Kalo ditanya berita apa yang gue tahu dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, gue akan jawab, pertama berita Menteri PUPR, Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc yang merangkap jadi fotografer saat KTT G20, kedua berita Ibu Iriana yang dihina karena disamakan dengan pembantu, dan ketiga berita tentang batik yang juga kabarnya dihina oleh warga negara asing. 

Kok cuma berita yang di luar substansi dari KTT G20 Bali? Ya sorry, gue nih orang awam yang nggak paham mengenai isu besar di KTT G20 Bali itu. Pun bukankah ketiga berita itu yang baru-baru ini ramai diberitakan oleh media dan sempat menjadi trending dimana-mana wabil khusus di jagad Twitter? Sehingga dari situ juga menyita perhatian kita, kan?

Nah, untuk berita terkait Menteri PUPR dan Ibu Iriana itu nggak akan gue ulas pada tulisan ini. Sebab gue mau mengulas perihal batik yang kabarnya dihina oleh Mahyar Tousi selaku warga London, dan Sophie Corcoran selaku warga negara Inggris. 

Mahyar Tousi itu membuat cuitan di Twitter-nya yang dengan menuliskan, “What on earth are these idiots wearing?!” disertai dengan foto delegasi G20 yakni Presiden FIFA, Gianni Infantino, Menteri Perdagangan Indonesia, Zulkifli Hasan, Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, dan pendiri World Economic Forum  (WEF), Klaus Martin Schwab yang memakai pakaian batik saat dinner

Akhirnya, karena netizen Indonesia merasa cuitan itu menghina batik, bergegaslah mereka mengoptimalkan jempolnya untuk menghujat ybs. Gue nggak perlu copas hinaan/cacian itu disini, ya. Kalo kalian penasaran silahkan ketik nama “Mahyar Tousi” di pencarian Twitter, niscaya kalian akan dapatkan ragam hinaan dan umpatan dari para netizen Indonesia. Hal itu menandakan bagaimana barbar-nya netizen +62. 

Nah, setelah ramai akan hujatan dan kecaman dari netizen Indonesia, cuitan Mahyar Tousi itu pun akhirnya dihapus dan dirinya segera melakukan klarifikasi lalu meminta maaf. 

Tidak berbeda dengan Mahyar Tousi, Sophie Corcoran juga menggunakan foto yang sama dengannya, namun berbeda teks-nya. Isi cuitan di Twitter-nya yakni, “Why are they all dressed the same - and like that”. Lebih lanjut ia juga menuliskan, “Lolll this isn’t even controversial - I’m just asking why they’re all dressed the same way lol what are they doing. (emoticon ketawa) How is this controversial.”

Melalui cuitan itu pula dirinya bernasib kurang-lebih sama dengan Mahyar Tousi, yakni dirujak oleh netizen Indonesia. Bahkan ada yang menghina namanya itu. Gila, nama lho dihina. Itu pemberian orang tua, kawan, dan udah cacat logika kalo nyerangnya ke nama. 

Kembali ke cuitan mereka berdua. Jika kita telaah lagi, kedua cuitan itu sebenarnya tidak secara terang-terangan menghina batik. Mereka berdua hanya menanyakan perihal pakaian apa yang dikenakan (orang-orang yang ada didalam foto itu), dan kenapa mereka memakai pakaian yang sama, yang dalam hal ini adalah batik. Wajar sih menurut gue karena mereka bukan orang Indonesia, walaupun batik sendiri sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya Takbenda. Pun mereka tidak benar-benar menghina batik atau mengata-ngatai batik ke arah yang negatif secara terang-terangan, kan?

Tapi yang jelas, bagi gue isu tentang penghinaan terhadap batik ini hanyalah isu yang sifatnya momentum berulang. Flashback ke belakang, dulu isu Reog yang mau diakuisisi sama Malaysia, warga +62 marah-marah. Terus wayang kulit yang dulu pernah diklaim sama Malaysia, warga +62 juga mencak-mencak. Dan masih soal wayang ini yang belum genap setahun tepatnya pada Februari lalu, sempat ramai juga lantaran dianggap sebagai barang yang haram oleh Ustadz Khalid Basalamah, dari situ  pula “sang ustadz” menuai kecaman dari netizen dan akhirnya dirinya minta maaf. 

Lalu apakah hubungan itu semua dengan hinaan batik di awal tulisan? Adalah terletak pada marah-marah-nya itu. Makiannya netizen Indonesia itu, lho. Kayak udah mendarah daging. Dan mungkin ini sudah jadi budaya masyarakat kita. Budaya kita bukan memakai batik tapi marah-marah. 

Dari situ gue jadi inget kutipan di akun Twitter-nya Mbah Sujiwo Tejo yang mengatakan, “Sebab bagi mereka mungkin yang penting gaduh, bukan ngebela wayang. Nonton wayang aja mungkin gak pernah. Apalagi nanggap wayang. Tanpa dimusnahkan, wayang akan musnah sendiri kalau gak ada lagi yang nonton atau nanggap,"

Kutipan di atas memang digunakan pada wayang yang dulu sempat viral, tapi gue rasa hal itu bisa dikontekstualkan ke isu batik ini. Di mana banyak netizen yang marah-marah karena ada WNA yang menghina batik tapi mereka atau mungkin kita semua tidak pernah mengapresiasi batik. Jangankan mengapresiasi secara lebih, mungkin sekedar memakai batik saja kita masih jarang. Pakaian batik kita masih sering tergantung di lemari, bukan? 

Bahkan gue sendiri punya pengalaman di lingkungan tempat tinggal gue bahwa pakaian batik ini selalu diidentikan dengan outfit kondangan. Kalo ada yang memakai batik langsung ada yang nyiyirin, “Mau kondangan kemana?” Hadehhh. Seolah batik cenderung eksklusif yang hanya digunakan untuk kondangan saja. Bahkan mungkin kita lebih bangga memakai kemeja daripada batik. Itu harusnya udah masuk penghinaan juga, kan?

Pun bukankah batik acap kali digunakan sebagai pakaian yang sifatnya formalitas belaka? Seperti dresscode di acara tertentu, pakaian di hari tertentu karena kewajiban dari kantor/kampus/sekolah, atau pas hari batik yang banyak masyarakat berlomba-lomba memakai batik. Sehingga, apakah menggunakan batik untuk hal-hal yang sifatnya formalitas semata, bisa dibilang bentuk apresiasi? 

Dan juga kembali lagi ke permasalahan yang menghina itu, orang-orang yang marah-marah itu seolah menjadi orang yang paling membela batik. Paling mengapresiasi batik. Siap si paling. Padahal sekilas gue lihat dan baca-baca komentarnya tidak ada tuh pihak dari budayawan, pengrajin batik yang marah atau tersinggung karena ada WNA yang menghina batik. Justru banyak kalangan netizen pada umumnya bahkan influencer yang ikut misuh-misuh dan merujak Mahyar Tousi dan Sophie Corcoran karena dianggap menghina batik. Emang dasarnya seperti kata Mbah Tejo, YANG PENTING GADUH.  

Lalu pertanyaan, apakah yang membela batik itu harus mengapresiasi batik? Kalo menurut gue, aneh aja sih kalo ada orang yang awalnya nggak pernah mengapresiasi batik lalu tiba-tiba marah-marah saat batik dihina. 

Ngomong-ngomong, gue klarifikasi di akhir tulisan bahwa gue nggak  mendukung atau membela Mahyar Tousi dan Sophie Corcoran, ya. Ketemu aja belum pernah, kenal aja nggak, dan apa untungnya kalo gue bela mereka. Sekian, dan jangan lupa marah-marah hari ini. Oh ya, daripada marah-marah soal batik bukanlah lebih baik marah-marah sama perampasan lahan, kriminalisasi aktivis, hukum yang nggak pernah tegak, pemimpin yang korup, aparat yang bikin malu, dll. Gue kira marah-marah soal itu lebih bermutu sih. (*/)

BACA JUGA: KALEM KETEMU IDOLA, JANGAN ASAL TEROBOS PASPAMPRES JOKOWI

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Khoirul Atfifudin

Masih berkuliah di Universitas Mercu Buana, Yogyakarta. Saat ini sedang memiliki ketertarikan pada dunia musik dan tulis-menulis.