Tech

KENAPA AI ART DINILAI PROBLEMATIK DAN NGGAK ETIS OLEH BANYAK SENIMAN?

Akhir-akhir ini, AI System yang bisa menciptakan gambar berdasarkan input berupa teks jadi makin marak di media sosial. Tapi, ternyata hal ini mendapat banyak penolakan dari para seniman konvensional. Apa penyebabnya?

title

FROYONION.COM - Civs, seberapa sering lo melihat teman-teman lo mem-posting selfie-nya dengan filter ala anime? Dan seberapa sering juga lo melihat sebuah lukisan landscape yang keren tapi ternyata itu buatan AI?

Seperti yang lo tahu, AI Art atau filter muka anime jadi topik yang lagi ‘panas’ banget akhir-akhir ini. Banyak Gen-Z dan millenials yang FOMO, lalu berujung mencoba menggunakan aplikasi-aplikasi ini untuk di-posting di media sosial mereka.

Kalo digunakan untuk keperluan pribadi sih nggak masalah ya, tapi apa jadinya kalo seorang seniman menggunakan AI Art untuk keperluan komersial seperti menjual karya itu selayaknya karya ciptaan mereka sendiri, atau mem-posting AI Art tersebut di platform macam ArtStationDeviantArt, atau Behance sebagai portfolio?

STIGMA NEGATIF AI ART DI KALANGAN SENIMAN DUNIA

Permasalahan inilah yang sedang menimpa ArtStation–sebuah digital platform untuk men-showcase karya seni serta terkoneksi dengan seniman-seniman lainnya di seluruh dunia.

Ribuan seniman 2D dan 3D terpantau melakukan aksi protes di dalam ArtStation dengan mem-posting gambar “Say No To AI Generated Images”. Mereka meminta platform itu untuk segera menghapus karya ciptaan AI yang malah terpampang di homepage ArtStation. 

Bentuk protes terhadap AI Art di platform ArtStation. (Sumber: ArtStation)
Bentuk protes terhadap AI Art di platform ArtStation. (Sumber: ArtStation)

Seniman-seniman ini berdalih bahwa karya yang diciptakan AI ‘merendahkan’ karya seniman digital. Selain itu, mereka juga beralasan kalo AI Art semakin mempersulit peluang seniman ‘asli’ untuk ditemukan oleh potential clients dalam platform tersebut, Civs.

Salah satu inisiator protes terhadap ArtStation, juga merupakan 2D Art Lead untuk game SMITE, Jon Neimester, mengatakan bahwa fungsi ArtStation adalah sebagai platform yang menghubungkan art director dengan talent. Kalo platform ini dibanjiri dengan AI Art, maka ArtStation bakal ‘mati’ karena ditinggalkan oleh art directors dan talents. Doi juga menambahkan bahwa keadaan ArtStation yang dipenuhi AI Art ini menghancurkan integritas dan fungsi utama dari platform itu sendiri.

Selain permasalahan yang menimpa ArtStation, beragam opini negatif tentang perkembangan AI Art juga turut didorong dengan kemunculan beragam website dan aplikasi berbasis AI baru-baru ini. Contohnya kayak MidJourney, DALL-E, Stable Diffusion, mobile app Lensa AI, juga filter-filter yang bisa mengubah muka manusia jadi bentuk kartun di TikTok, Instagram, dan Snapchat.

Newgrounds–sebuah komunitas berbagai konten kreatif–misalnya, menciptakan aturan baru terkait AI Art, yang melarang seniman untuk membagikan karya yang tercipta dari Artbreeder–alat berbasis machine learning yang menggabungkan 2 atau lebih gambar menjadi satu gambar utuh, Civs.

Dilansir dari ExtremeTech, ada beberapa contoh kasus yang memperbolehkan seniman membagikan karya AI dalam platform Newgrounds. Misalnya, seniman yang menggunakan AI dalam menciptakan karya wajib menyatakan bahwa mereka menggunakan bantuan AI untuk menciptakan sebagian dari karya mereka. Newgrounds juga melarang seniman untuk melakukan metode tracing / menjiplak gambar ciptaan AI kemudian mengatasnamakan karya itu sebagai ciptaan mereka sendiri.

Tapi, di luar permasalahan etika, kekhawatiran apa lagi sih yang menghantui para seniman digital / konvensional tentang AI Art?

KEHADIRAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE NGGAK TERELAKKAN

Dikutip dari NFTNowDouglas Hofstadter–penulis dan pemenang Pulitzer Prize atas buku berjudul Godel, Escher, Bach: an Eternal Golden Braid pernah menyampaikan keresahannya tentang kecerdasan buatan.

Kalimatnya kira-kira berbunyi: “Jika seseorang mampu menciptakan karya artistik yang kompleks, halus, dan penuh dengan ‘kedalaman’ yang tak tertandingi namun dapat diremehkan oleh sebuah chip kecil, maka hal ini dapat menghilangkan esensi tentang arti menjadi seorang manusia.

Rasanya, keresahannya itu kini dirasakan oleh lebih banyak orang, terutama bagi mereka yang berkecimpung langsung di industri seni.

Namun, pendekatan yang lebih positif terhadap AI Art juga dilakukan oleh banyak seniman lainnya, salah satunya adalah Mr.Kinur, seorang pelaku seni 3D sekaligus editor head di Froyonion yang menganggap bahwa AI seharusnya bisa dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai referensi atau ide yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

“[AI] yang menggunakan prompt berbasis teks hanya sebagai alat untuk membantu pekerjaan aja sih. MidJourney misalnya, kita sebagai user perlu ngasih prompt, kalo Lensa AI nggak ngasih prompt. Kalo kita ngasih prompt yang jelek, hasil karyanya nggak akan keren juga, feel yang lo pengen nggak akan tercapai juga,” jelas Kinur.

Kinur menganggap AI bukan sebagai ancaman, karena memang dari sisi pengerjaan aset / model 3D, aplikasi seperti Maya dan Blender bisa dibilang udah ‘semi-AI’.

Tapi, hal yang berbeda mungkin dirasakan oleh seniman 2D / illustrator

“Karena mereka harus bikin sketch dulu. Kalo hal yang bertentangan adalah perihal pemakaian AI untuk keuntungan (finansial) pribadi sendiri mereka. Plek-plekan dijual,” tambahnya.

Ada sebuah contoh positif yang bisa dilakukan komunitas / platform seni di luar sana. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh FormFunction, sebuah marketplace seni dengan basis blockchain dari Solana.

“FormFunction udah bikin fitur baru, lo bisa kasih disclaimer dan ada rubrik khusus untuk AI Art. Jadi bisa ngasih awareness dan bahan kontemplasi ke potential client: “Worth it nggak ya kalo gue beli karya ini?”.

Lebih jauh tentang idealisme dalam berkarya, seniman 3D ini nggak mempermasalahkan tentang bentuk dari sebuah karya. Ia meyakini bahwa hal terpenting adalah pesan yang ingin seniman sampaikan lewat karyanya.

“Titik di mana idealisme bisa tertuang adalah di pesan. Yang terpenting, pesan dan isinya  bisa tersampaikan. Mau kayak gimanapun bentuk karyanya itu ya bebas aja, karena itu adalah ‘kesan’ yang lo bikin sendiri,” tambah seniman yang biasa dipanggil ‘Mister’ ini.

“Kalo lo menikmati, dan yang melihat juga menikmati, ya udah that’s it. Nggak ada masalah. Semuanya adalah pilihan, perihal suka atau nggak suka,” pungkas Kinur.

‘Kerungsingan’ yang tercipta atas kolaborasi manusia dan AI ini menciptakan ethical labyrinth yang seakan tanpa jalan keluar. Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan etika adalah dengan melihat AI Art dengan sudut pandang yang lebih positif, yaitu cukup jadikan ‘uluran tangan’ AI sebagai referensi tambahan pada karya yang ingin diciptakan.

Juga, nggak dipungkiri bahwa dalam dunia seni, menjadi seniman yang idealis vs memandang pekerjaan secara ‘realistis’ (baca: cuan) menjadi perdebatan yang nggak ada habisnya pula. Akan selalu ada oknum pelaku seni yang memanfaatkan AI sebagai sumber penghidupan meskipun di-bash seniman lainnya, one way or another.

Untuk itu, masing-masing seniman pun harus mengedepankan empati atas pekerjaan seniman lainnya, serta selalu percaya, bahwa potential client akan selalu melihat value dari sebuah karya seni yang diciptakan atas kerja keras senimannya.

Frontalnya, jangan takut karya lo kalah dengan karya ciptaan AI. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.