Gen Z dan generasi yang lebih muda mulai meninggalkan Google sebagai mesin pencarian informasi. Lalu apa yang menjadi gantinya? Dan apa saja dampak dari fenomena tersebut?
FROYONION.COM - Muncul pertama kali pada menjelang 90-an akhir silam, kepopuleran Google sebagai mesin pencarian agaknya akan mulai memudar dalam waktu dekat ini.
Pasalnya, sebagian besar Gen Z perlahan mulai meninggalkan Google dan jarang memanfaatkannya sebagai mesin pencarian utama.
Sebagai gantinya, mereka lebih cenderung menggunakan media sosial untuk mencari informasi soal berbagai hal.
Bahkan informasi menyangkut rekomendasi restoran, barang yang bakal dibeli hingga destinasi wisata yang oke.
Lalu bagaimana nasib Google ke depannya? Juga apa dampaknya jika ada?
Meski internet sudah ditemukan jauh sebelum Google ada, namun keberadaan mesin pencarian bikinan Larry Page ini membuat manfaat internet dapat dirasakan secara global.
Google membuat segalanya lebih mudah. Ia menjelma gudang segala informasi dengan banyak pintu. Kita hanya butuh ‘kunci’ yang tepat untuk membuka salah satunya.
Terlebih dengan munculnya media blog, makin kaya informasi yang bisa kita peroleh. Media blog menjadi ekosistem bagi blogger untuk menjaring pembaca dan mencari keuntungan dari iklan.
Tak heran, banyak terlahir berbagai jenis blog. Tak hanya blog yang punya niche yang pakem seperti musik dan buku, melainkan juga blog soal keluh-kesah kehidupan.
Bahkan Google juga menjadi salah satu yang berperan dalam bertumbuhnya media sosial, ketika media sosial berupa situs yang hanya bisa diakses di mesin pencarian.
BACA JUGA: DARI MESIN CETAK HINGGA ONLYFANS, EVOLUSI DAN INOVASI DALAM INDUSTRI PORNOGRAFI
Namun, dengan munculnya OS Android, media sosial yang dulu bergantung pada mesin pencarian seperti Google, misalnya, mulai memisahkan diri dan membangun model aplikasinya sendiri.
Dengan user interface yang terus membaik dari tahun ke tahun, penambahan berbagai fitur, juga perubahan perilaku pengguna internet; siapa sangka media sosial kini menjadi pilihan utama bagi generasi muda yang tumbuh bersama Google.
Dikutip dari laman Fortune, analis Bernstein Mark Shmulik membagikan hasil surveinya yang dilakukan pada April 2024 oleh Forbes Advisor dan Talker Research terhadap 2.000 orang di Amerika.
Terungkap fakta bahwa 45% Gen Z lebih cenderung menggunakan media sosial seperti TikTok dan Instagram untuk melakukan pencarian, ketimbang memanfaatkan Google.
Jumlah ini lebih banyak dibandingkan Milenial yang hanya sekitar 35%, Gen X yang hanya sekitar 20%, sedangkan Boomer hanya sekitar 10% saja.
“Peserta yang lebih muda hanya ‘searching’, bukan lagi ‘Googling’,” ungkap Shmulik.
Fakta ini semakin dipertegas dengan data dari GWI Core. Terungkap, ada tahun 2016, sekitar 40% menggunakan media sosial sebagai sumber informasi. Jumlah itu naik menjadi 52% pada 2023 lalu.
Para Gen Z lebih sering membuka TikTok dan Instagram untuk mencari informasi seperti rekomendasi restoran, merek barang yang ingin mereka beli, hingga di mana mereka akan berlibur.
Sedangkan untuk melakukan belanja, mereka akan mengandalkan e-commerce, seperti Amazon dan sebagainya.
BACA JUGA: TIKTOK RESMI MERILIS FITUR SPOTLIGHT, JADI SAINGANNYA ROTTEN TOMATOES?
Lalu untuk mencari hiburan di waktu senggang, Netflix dan sejenisnya menyediakan sumber daya yang dibutuhkan buat melepas penat.
Bahkan lahirnya ChatGPT dan AI lainnya, semakin membuat Google tak lagi jadi pilihan utama.
Ketimbang mengetikkan kata kunci dan membuka satu persatu situs yang dianggap relevan, ChatGPT langsung menggelar semua informasi yang dibutuhkan dalam hitungan detik.
Segala fakta ini jelas menjadi ancaman serius bagi raksasa teknologi tersebut. Google yang baru-baru ini kalah di persidangan dalam kasus anti-monopoli, terancam kehilangan pendapatannya dalam jumlah besar.
Berkurangnya jumlah pengguna internet yang melakukan pencarian di Google, bisa berpengaruh pada berkurangnya pihak yang memanfaatkan layanan iklan dari Google.
Hal ini memungkinkan mereka bisa kehilangan uang ratusan milyar dollar sebagai pemasukan per tahun.
Lebih jauh lagi, portal media online yang bergantung pada iklan Google sebagai sumber pemasukan, juga dapat terancam hal tersebut.
Ke depannya, bukan tidak mungkin akan banyak perusahaan media online bubar dan berguguran.
Meski demikian, bukan berarti Google tanpa upaya untuk menyelamatkan diri. Dalam perlombaan Artificial Intelligence, misalnya Google sudah mengembangkan dan merilis Gemini AI sebagai saingan ChatGPT.
Mereka juga menginvestasikan banyak uang untuk mengembangkan teknologi kacamata AR yang diramalkan menjadi cara baru dalam menjelajah internet.
Hal ini juga demi menarik minat Gen Z yang lebih tertarik pada citra visual, seperti gambar dan video, dibandingkan teks.
BACA JUGA: PLATFORM TIKTOK DIDUGA MELANGGAR PRIVASI ANAK, SEPARAH APA HINGGA KENA GUGAT?
Sementara itu, portal media juga tak tinggal diam. Untuk menarik pembaca kalangan muda ini, sering kali mereka juga membagikan link artikel di media sosial tempat para generasi muda ini menghabiskan banyak waktu mereka.
Pemanfaatan reels hingga story Instagram, menjadi salah satu jalan yang ditempuh untuk bisa menghimpun jumlah pembaca.
Di lain sisi, beberapa portal media juga mulai membangun aplikasi mereka sendiri.
Untuk mendapat pemasukan tanpa bergantung pada iklan Google, mereka cenderung menerapkan sistem berlangganan. Beberapa juga menggunakan sistem donasi untuk menutupi biaya operasional.
Meski begitu, tanpa bermaksud buat menakut-nakuti, berkurangnya jumlah Gen Z yang ‘Googling’ bisa jadi alarm tanda waspada bagi mereka yang menggantungkan hidup dari iklan Google.
Itu bisa berarti berkurangnya pengunjung portal media secara drastis.
Bisa juga diartikan, sudah jadi kewajiban bagi pemilik portal media buat membangun akun media sosial mereka sebagai sarana promosi artikel mereka.
Setidaknya cara tersebut membantu mereka untuk bertahan saat ini dari gempuran konten visual dan audio yang lebih digandrungi sekarang. (*/)