Stories

SHANTY HARMAYN: ‘DI DUNIA PERFILMAN, YOU CAN'T DO IT ALONE. YOU'RE A TEAM’

Produser perempuan kenamaan Indonesia, Shanty Harmayn, mengungkapkan harapannya bagi film-film lokal di momen Hari Film Nasional ke-73 tahun ini.

title

FROYONION.COM - Tanggal 30 Maret 1950, untuk pertama kalinya, film yang diproduksi oleh perusahaan Indonesia diciptakan. Film itu bertajuk Darah dan Doa karya bapak perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Selanjutnya, melalui momen bersejarah itu, 30 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Film Nasional di Indonesia.

Tepat 73 tahun setelahnya, Hari Film Nasional masih semarak dirayakan, kali ini mengusung tema “Bercermin Pada Masa Lalu, Merencanakan Masa Depan”. Tentunya bukan tanpa sebab, hal yang telah diusahakan dan tercipta di masa lalu, jadi pondasi kuat tentang peningkatan signifikan yang terjadi di industri perfilman Indonesia saat ini.

Dan melalui momen perayaan Hari Film Nasional di tahun 2023 ini, Froyonion berkesempatan untuk mewawancarai satu sosok penting perfilman tanah air. Beliau adalah seorang perempuan yang sukses memproduksi film-film berkualitas–bahkan kerap diikutsertakan dalam festival film internasional.

Sosok itu adalah Shanty Harmayn, yang telah memproduksi film-film yang nggak asing lagi di telinga sinefil Indonesia, misalnya Perempuan Tanah Jahanam yang memenangkan Piala Citra untuk kategori Film Cerita Panjang Terbaik Festival Film Indonesia tahun 2020, juga film Sang Penari yang juga mampu membawa pulang Piala Citra di Kategori Film Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2012.

AWAL KARIER SHANTY HARMAYN

Shanty lahir di Jakarta pada 29 Juli 1967. Sejak kecilnya, minat Shanty pada perfilman tumbuh secara tidak sengaja. Suatu hari, seorang teman ayahnya menitipkan sekitar 1000 kaset video berisi film cerita, acara TV, serta film dokumenter. Saat itu dirinya masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar, dan tanpa disadari, sebagian film yang ia tonton saat itu merupakan film-film yang memenangi dan masuk dalam nominasi Academy Award. Hal inilah yang akhirnya terpatri di pikiran Shanty, dan secara tidak langsung menciptakan fondasi tentang bagaimana sebuah film award-winner menuangkan kisah.

Setelah menempuh pendidikan S1 di bidang Komunikasi Massa Universitas Indonesia, Shanty kemudian melanjutkan studinya di Stanford University dari 1992 hingga 1994. Dirinya menerima gelar Master of Arts di bidang Documentary FIlm.

Setelah pendidikan yang ditempuhnya, niatnya untuk berkiprah di industri film semakin sempurna. Beberapa tahun berselang, Shanty mendirikan Salto Film Company di tahun 1998. Lalu bersama Natacha Devillers, ia mendirikan Jakarta International Film Festival (JiFFest) setahun setelahnya.

Beberapa film besar yang diproduserinya di awal tahun 2000-an misalnya Pasir Berbisik (2021), Banyu Biru (2005), The Photograph (2007), dan Garuda di Dadaku (2009).

Selain film panjang, dirinya juga pernah membuat seri dokumenter bertajuk Libraries on Fire: When an Elder Dies, A Book Burns, dan A Ray of Hope.

BERKARIER SEBAGAI PRODUSER FILM

Lewat film-film yang menjadi referensinya, yang akhirnya mengantarkannya untuk menciptakan film-film baru yang mampu menyabet berbagai penghargaan, Shanty memegang dan menjunjung tinggi sebuah indikator penting yang akhirnya menjadi guideline-nya ketika memproduseri sebuah film.

“Sebagai produser, indikator dalam menilai kesuksesan sebuah film itu ada banyak. Setiap film punya koridornya masing-masing. Terpenting, yang jadi nomor satu, adalah  “Does it speak to your target audience?” ujarnya.

“Kedua, karena kami adalah filmmaker, pencapaian-pencapaian sinematik jadi hal yang ingin kami kejar pula. Apakah itu dalam bentuk visual storytelling, aspek teknis lainnya, atau performance [aktor/aktris] yang belum pernah kita lihat sebelumnya, dan itu yang membuat saya bilang ‘Oh, this is a good movie’,” tambah Shanty.

Shanty membentuk BASE Entertainment pada tahun 2018 bersama Aoura L. Chandra, Tanya Yuson, dan Ben Soebiakto. BASE sendiri merupakan studio film gabungan dari Salto Films, Million Pictures, dan Kawi Content yang dulunya berbasis di Singapura.

Melalui BASE Entertainment, Shanty telah bekerja sama dengan figur-figur terbaik di industri perfilman Indonesia, misalnya Joko Anwar, Dian Sastrowardoyo, dan Jason Iskandar. 

Salah satu ‘buah’ yang dihasilkan dari kerja sama ini adalah Perempuan Tanah Jahanam–yang seperti Shanty katakan, mampu menghadirkan indikator-indikator kesuksesan sebuah film seperti atmospheric & psychological horror yang intens, sinematografi yang berkualitas, serta performance dari sang aktris, yaitu Christine Hakim yang menuai pujian dari penikmat film.

Namun, layaknya sebuah film yang besar, tentu tercipta dan hadir bukan tanpa tantangan.

“Setiap film punya tantangan masing-masing. Saya waktu itu sedang produksi film besar, jumlah kru besar, genre film drama perang, yang koordinasinya luar biasa, kemudian krunya dari berbagai negara. Waktu kita sedang prep, ada hal-hal yang di luar dugaan, sehingga saya harus membuat keputusan untuk berhenti atau lanjut [produksi]. Jadi hal-hal ini, kalau untuk produser tuh life-and-death. Puji syukur waktu itu punya tim yang luar biasa, karena kita tidak bisa [menjalankannya] sendiri,” jelas sosok di balik penciptaan BASE Entertainment ini.

Dan dalam beberapa waktu ke depan, sekuel dari film legendaris Indonesia yang diproduseri Shanty juga akan dirilis, yaitu Petualangan Sherina 2. Selain itu, Shanty juga memproduseri salah satu seri web yang cukup ditunggu-tunggu untuk dirilis di Netflix di tahun 2023 ini, yaitu Gadis Kretek.

INI KUNCINYA DI DUNIA PERFILMAN, YOU CAN'T DO IT ALONE. YOU'RE A TEAM.

Menurut Shanty, dalam industri perfilman, semua stakeholders harus mampu memposisikan diri sebagai anggota tim. Untuk itu, para pekerja industri perfilman harus sering-sering berkumpul, berdiskusi, serta bekerja sama untuk menciptakan sebuah film yang dapat dinikmati banyak kalangan.

SHANTY HARMAYN, DAN HARAPANNYA UNTUK HARI FILM NASIONAL

“Industri perfilman Indonesia saat ini berada di golden moment. Begitu banyak kesempatan yang ada, dan bagi generasi muda yang ingin masuk ke perfilman, then you have the best moment ever. Jadi jangan ragu, just do it, karena kita harus ambil risiko, just jump, nyebur, berenang,” jelas Shanty.

Menurutnya, industri perfilman lokal saat ini berada di kondisi yang sangat kompetitif. Setiap sisinya menuntut agar pelakunya dapat bekerja se-profesional mungkin, untuk itu, setiap orang harus fokus dengan apa yang bisa mereka berikan, dan terus mempertajam skill

PRACTICE, PRACTICE, PRACTICE, WORK WITH SO MANY PEOPLE SEHINGGA PUNYA PENGALAMAN BEKERJA DENGAN KERAGAMAN ITU.

“Saya ingin mendoakan bahwa perfilman nasional akan terus maju. Kita dapat bercerita dengan penuh keragaman. Saya juga mengharapkan kita akan mendapatkan pencapaian-pencapaian yang lebih, baik itu dari teknis, lalu cerita perempuan yang ada, cerita keragaman Indonesia, sehingga ini dapat mempertahankan dinamika pertumbuhan industri perfilman yang ada saat ini.” pungkas Shanty Harmayn, dalam harapannya untuk Hari Film Nasional ke-73. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Garry

Content writer Froyonion, suka belajar hal-hal baru, gaming, dunia kreatif lah pokoknya.