Sports

PERASAAN DOANG ATAU MEMANG HYPE PIALA DUNIA TAHUN INI MEREDUP?

Piala Dunia Qatar 2022 sudah resmi dibuka Civs. Tapi kok kayaknya hype ajang sepak bola empat tahunan ini nggak seramai sebelumnya ya?

title

FROYONION.COM - Piala Dunia 2022 di Qatar resmi sudah dimulai. Opening ceremony yang dilakukan dengan begitu megah di AI Bayt Stadium, Al Khor sudah lo saksikan dari balik layar kaca atau mungkin lo punya kesempatan emas buat nyaksiin itu langsung di sana. 

FYI, anggaran buat penyelenggaraan Piala Dunia tahun ini memakan biaya jumbo dan bahkan digadang-gadang termahal sepanjang sejarah umat manusia. Setidaknya, uang sebesar USD 220 miliar atau setara Rp3,4 ribu triliun (asumsi 1 USD = Rp15 ribu) sudah dikucurkan.

Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan Piala Dunia 2018 lalu di Rusia yang hanya memakan biaya USD 11,6 Miliar atau setara Rp180 triliun. Ataupun Piala Dunia 2014 di Brasil yang memakan biaya USD 15 miliar atau setara Rp230 triliun.

Tapi menurut gue, biaya mahal yang digelontorkan buat perhelatan ajang sepak bola terbesar di dunia ini nggak sebanding dengan hype ataupun euforia yang dirasakan tahun-tahun sebelumnya. Ini perasaan gue aja atau memang benar kejadian ya? 

Biasanya beberapa pekan sebelum opening ceremony dilakukan, gue bisa merasakan atmosfer Piala Dunia secara nyata meski nggak berada di negara penyelenggara. Banyak atribut sepak bola, ornamen-ornamen negara yang ikut ambil bagian, trending topic di sosial media, promosi buat nonton bareng sampai obrolan di tongkrongan yang semuanya bahas tentang Piala Dunia.

Obrolan terkait prediksi siapa pemenang ajang ini, tim yang dijagokan, pemain yang bakal paling bersinar, hingga trivia-trivia lain seputar itu seharusnya sudah menjamur. 

Euforia itu juga makin lengkap dengan adanya official theme song dari Piala Dunia yang sudah populer dan bakal banyak dinyanyikan sama orang-orang jelang penyelenggaraannya. 

Nah, hal-hal itu sebenarnya yang gue nggak dapetin tahun ini. Seolah hype dari penyelenggaraan Piala Dunia mulai meredup dan nggak begitu disukai lagi sama orang-orang. Padahal, penggemar sepak bola yang menantikan penyelenggaraan event empat tahunan ini sangat banyak lho. 

BACA JUGA: BADAI CEDERA HANTAM PIALA DUNIA

HAL TEKNIS YANG PICU HYPE MEMUDAR

Sebenarnya ada beberapa hal teknis yang mungkin ikut ambil bagian dari redupnya gema Piala Dunia tahun ini. Nggak bisa dipungkiri juga, banyak dobrakan sejarah yang dilakukan penyelenggara.

Salah satunya waktu penyelenggaraan di akhir tahun, yakni pada November hingga Desember mendatang. Hal ini tentu sangat berbeda dengan apa yang dilakukan pendahulunya. 

Sebelumnya itu nggak pernah ada penyelenggaraan Piala Dunia yang dilakukan pada jelang musim dingin. Sejak Piala Dunia pertama yang digelar 1930, event ini selalu dilakukan pada musim panas, yakni antara bulan Mei, Juni, dan Juli.

Apa sih sebenarnya pengaruh waktu tersebut?

Banyak Civs, lo harus sadar juga kalau event bola bergengsi itu bukan cuma Piala Dunia. Liga-liga sepak bola di dunia masih berlangsung di waktu ini sehingga atensi penonton sudah terbagi jauh-jauh hari sebelumnya. Gegera Piala Dunia dihelat, beberapa liga pun harus terpaksa dihentikan meski musim belum selesai.

Menurut gue hal ini berpengaruh besar karena banyak euforia yang masih dirasakan sama pecinta bola di liga lokal. Mereka masih memberikan dukungan penuh terhadap tim terbaiknya yang bertanding dalam skala nasional.

Di tengah keriuhan itu, tiba-tiba Piala Dunia muncul. Dari sisi teknis itu saja, lo bisa identifikasi masalah berikutnya. Yakni persiapan tim nasional yang jadi sangat mepet.

Hal tersebut tentu sangat berbeda kalau Piala Dunia digelar pada musim panas di mana biasanya liga-liga nasional sudah berakhir.

Sekedar informasi, Piala Dunia digelar pada bulan Desember bukan tanpa sebab. Pasalnya, Qatar sebagai negara penyelenggara memiliki suhu mencapai 40 derajat celcius pada musim panas, sehingga dikhawatirkan dapat memicu dehidrasi. Nah, suhu di negara tersebut lebih rendah pada bulan Desember sehingga fisik para pemain tidak akan terganggu akibat cuaca saat bertanding.  

Masalah lain yang cukup mentereng adalah theme song yang dipakai untuk menghiasi semarak Piala Dunia kali ini. Lagu "Hayya Hayya (Better Together)" nampaknya nggak berhasil mendongkrak keseruan Piala Dunia. Sejak dirilis 7 bulan lalu, kalau gue lihat di YouTube sekarang ini sih penontonnya baru sekitar 38 juta orang ya. 

Lagu tersebut nyatanya nggak begitu populer di kalangan penikmat sepak bola, bahkan gegap gempitanya pun nggak sampai ke kuping kita beberapa warga Indonesia. 

Jelas hype tersebut beda banget sama era Piala Dunia 2010 yang memakai lagu "Waka Waka (This is For Africa)" sebagai official theme song mereka. Lagu yang dibawakan Shakira ini benar-benar populer dan dinyanyikan dimana-mana. Bahkan, sampai sekarang pun pasti lo nggak bakal lupa hype Piala Dunia 2010 gara-gara lagu ini. 

Tapi, bukan cuma itu saja sih. Sejak awal penunjukan Qatar sebagai tuan rumah sudah banyak juga kontroversi yang bermunculan. Misalnya, tuduhan korupsi saat penunjukkan negara tersebut sebagai tuan rumah pada 2010 lalu. 

Sejak awal berbagai isu miring tentang persiapan Piala Dunia tahun ini pun sering bermunculan. Nggak cuma itu Civs, ada juga malah isu terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pembangunan berbagai sarana dan prasarana fasilitas penunjang ajang bergengsi ini.

Berbagai pemberitaan negatif tentang acara ini pun sepertinya turut meredupkan suasana gegap gempita yang seharusnya bisa dirasakan dengan hebat. 

Well, tapi nasi sudah menjadi bubur sih

PECINTA OLAHRAGA MAKIN PUDAR? 

Sudut pandang lain sebenarnya bisa kita analisis dari pola perilaku generasi sekarang (Gen Z) yang bisa dikatakan makin tidak menjadikan olahraga sebagai hal yang disukainya. Nggak bisa dipungkiri Civs, ada perubahan perilaku antara generasi dulu dengan sekarang.

Sebuah survei yang dilakukan Morning Consult pada 2020 lalu menggambarkan kalau Gen Z berusia 13-23 tahun itu notabene mendeklarasikan dirinya bukan sebagai penggemar olahraga. Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan generasi orang dewasa ataupun milenial dalam survei tersebut.

Tercatat hanya 53 persen Gen Z yang menyatakan diri suka olahraga. Sementara, terdapat 63 persen kalangan orang dewasa dan 69 persen kalangan milenial yang menyukai olahraga. 

Gen Z pun diidentifikasi lebih jarang menonton pertandingan olahraga jika dibandingkan dengan orang dewasa atau millennials. Dari survei itu, 39 persen Gen Z menyatakan nggak pernah menonton siaran olahraga apapun. Beda halnya dengan generasi milenial sebanyak 20 persen dan orang dewasa 28 persen. 

Memang sih, gap generasi tersebut nggak bisa kita hindari. Makanya sebenarnya penting buat para pemangku kebijakan melakukan antisipasi sehingga olahraga bisa tetap menjadi hiburan yang relevan dengan perkembangan zaman.

Kalau kita peka dengan perkembangan teknologi, sekarang ini nonton pertandingan secara live atau langsung melalui siaran kayaknya sudah nggak jadi populer lagi. Kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu yang lebih singkat, misalnya dengan hanya menonton cuplikan pertandingan di sosial media.

Nah, pola perilaku itu juga sebenarnya menurut gue turut mempengaruhi hype Piala Dunia tahun ini. Nonton bareng (Nobar) bukan jadi kegiatan yang dinanti-nantikan lagi setelah empat tahun menunggu. 

Tapi apapun itu masalahnya, harapan gue sih kecintaan kita terhadap olahraga nggak bakal pernah pudar. Ada ungkapan yang menyatakan kalau olahraga itu adalah salah satu elemen yang bisa menyatukan banyak pihak.

Piala Dunia ini seharusnya jadi ajang buat kita bergembira bersama dan saling menjunjung sportivitas. 

Terlepas dari itu semua, opening ceremony yang telah berlangsung kemarin tetap patut diacungi jempol. Panggung yang gemerlap, megah, serta perpaduan dengan budaya lokal nggak lupa disajikan. Salah satu epic moment menurut gue saat kita disuguhkan berbagai atraksi untuk membawa kita flashback pada gelaran Piala Dunia dari tahun ke tahun. (*/)

BACA JUGA: JELANG PEMBUKAAN PIALA DUNIA 2022: KENAPA FANS SEPAK BOLA ENGGAN MENERIMA K-POP MASUK KE DUNIA MEREKA?

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Michael Josua

Cuma mantan wartawan yang sekarang hijrah jadi pekerja kantoran, suka motret sama nulis. Udah itu aja, sih!