Sports

MOTOGP TANPA VALENTINO ROSSI: MAKIN KEHILANGAN ATENSI?

Valentino Rossi telah pensiun dari ajang balapan MotoGP pada tahun lalu. Kepergian sang legenda diikuti hilangnya penggemar MotoGP dalam jumlah yang sangat besar. Kenapa Valentino Rossi sebegitu istimewanya bagi MotoGP?

title

FROYONION.COM - MotoGP sekarang ini menjadi obat tidur paling ampuh. Hanya dengan menonton balapan selama hampir sejam itu lo bakal segera merasa ngantuk karena balapan sepanjang lebih dari 20 lap itu hanya berisi motor yang saling berbaris layaknya konvoi.

Hal inilah yang kemudian membuat balapan MotoGP akhirnya mulai ditinggalkan fans. Di warkop dan cafe yang jadi tempat nongkrong anak muda, nggak lagi menjadikan balapan MotoGP sebagai prioritas. Bahkan jika mereka disuruh memilih antara menonton balapan MotoGP atau video orkes dangdut koplo, mereka jelas bakal memilih opsi kedua.

Kita bisa saja menyalahkan Dorna yang telah menyeragamkan semua motor yang ikut balapan baik di tim pabrikan ataupun tim satelit; juga hadirnya perangkat ECU buat menjinakkan motor sehingga peran pembalap sedikit berpengaruh sekarang ini; juga kita bisa saja menyalahkan hadirnya perangkat winglet yang membuat motor MotoGP jadi mirip mobil F1, yang membuat pembalap kesulitan melakukan overtaking.

Ada banyak alasan teknis yang bisa lo pakai. Lo bisa membaca semua itu di banyak artikel yang bertebaran di internet. Namun, ada satu alasan penting, sependek pengetahuan gue, yang nggak dianggap sebagai salah satu alasan menurunnya jumlah fans MotoGP. Yaitu, pensiunnya Valentino Rossi. Atau lebih tepatnya hilangnya sosok seperti Valentino Rossi.

Seandainya Valentino Rossi diibaratkan sebagai sebuah agama di MotoGP, dengan yakin gue bilang, Rossi akan jadi agama dengan jumlah jemaat terbesar sedunia. Serius.

Kepergian Rossi dari dunia balap MotoGP, juga diikuti kepergian para fans MotoGP dalam jumlah yang sangat besar. Pendapat gue ini memang terkesan amat subjektif, tapi gue punya alasan kuat kenapa Valentino Rossi sebegitu spesial bagi MotoGP–ini dibuktikan dengan dipensiunkannya nomor 46.

Sebelum gue menyebutkan apa alasannya, mari kita bahas lebih dulu apa yang membuat sebuah kompetisi menarik ditonton, sebut saja misal dalam sepakbola atau balapan atau olahraga kompetitif lainnya?

Ambil saja contoh Liga Premier Inggris yang dianggap sebagai liga sepakbola paling kompetitif di dunia. Yang membuat Liga Premier Inggris begitu digandrungi ketimbang liga sepakbola lainnya adalah banyaknya klub-klub hebat di liga tersebut.

Meski begitu, peta kekuatan harus mengerucut setidaknya pada dua klub–atau tiga lah. Dan inilah yang terjadi bahkan di Liga Premier Inggris. Boleh saja banyak klub hebat di sana, tapi beberapa harusnya hanya jadi batu sandungan bagi dua atau tiga klub papan atas yang tengah bersaing memperebutkan juara liga.

Hal yang sama harusnya juga berlaku di ajang balapan, seperti MotoGP. Dorna selaku penyelenggara ajang balapan MotoGP memang melakukan langkah hebat dengan mengeluarkan kebijakan yang menyeragamkan semua motor, baik dari segi kubikasi maupun perangkat elektroniknya. MotoGP pada akhirnya menjadi cukup kompetitif karena siapa pun bisa jadi juara, siapa pun bisa naik podium–dan memang itulah tujuannya Dorna.

Namun, yang pada akhirnya dilupakan oleh Dorna adalah juara nggak seharusnya jadi milik semua pembalap, hanya yang benar-benar layaklah yang berhak mendapatkannya. Sebuah kompetisi bukanlah tempat untuk mencari keadilan.  Kompetisi hanya mengenal mengalahkan atau dikalahkan, nyaris seperti judi.

MotoGP pun berangsur ditinggalkan penggemarnya karena hilangnya rivalitas di sana. Namun, berbeda dengan liga sepakbola, rivalitas di ajang balapan MotoGP harusnya nggak hanya terjadi di papan klasemen saja, melainkan juga di lintasan balap. Sebab di tiap serinya, semua pembalap berlomba jadi yang tercepat di lintasan yang sama; nggak seperti di sepakbola yang tiap pekannya satu klub bertemu dengan klub yang berbeda-beda.

Dan yang mampu menghadirkan rivalitas semacam itu, sejauh ini, hanya Valentino Rossi. Dan inilah alasan pertama yang menjadikan Valentino Rossi begitu istimewa di ajang balapan MotoGP.

Kebanyakan rivalitas di ajang balapan MotoGP nyaris selalu melibatkan Valentino Rossi. Ketika ada dua pembalap saling bersaing dengan sengit, entah di lintasan maupun di papan klasemen, di sana selalu ada nama Valentino Rossi.

Rivalitas Valentino Rossi kali pertama terjadi dengan Max Biaggi, pembalap yang juga sama-sama berasal dari Italia. Rivalitas keduanya di lintasan balap bahkan sudah terjadi sejak tahun 2001 ketika GP500 masih menjadi kelas tertinggi MotoGP.

Salah satu hal yang menarik dari Rossi adalah ia nggak pernah menyembunyikan rivalitas antara ia dengan pesaingnya. Ketika Rossi telah memutuskan menjadikan seorang pembalap sebagai rival utamanya, ia akan benar-benar menunjukkannya.

Perseteruan Rossi dan Biaggi ini terlihat banget di balapan GP Suzuka, Jepang, pada tahun 2001 silam. Saat itu Max Biaggi menyikut Rossi ketika keduanya sama-sama melaju kencang di lintasan lurus. Biaggi menganggap motor Rossi terlalu menempel dengan motornya. Aksi Biaggi ini membuat Rossi keluar dari aspal dan melaju di gravel dengan kecepatan tinggi.

Nggak lama kemudian ketika Rossi berhasil menyalip Max Biaggi di tikungan, Rossi membalas dengan mengacungkan jari tengah.

Nggak cukup di situ saja, di GP Catalunya, Spanyol, pada tahun 2001, Rossi dan Biaggi pernah berkelahi sebelum naik ke podium. Insiden ini dikenal dengan insiden "gigitan nyamuk" mengacu pada luka memar di wajah Max Biaggi.

Dari tahun 2001 hingga 2005 Rossi benar-benar menunjukkan dominasinya dengan menjadi juara lima kali beruntun. Pada era itu bisa dibilang belum menemukan lawan yang tangguh, meski di lintasan balap ia sering terlibat aksi overtaking dengan beberapa pembalap top lainnya selain Max Biaggi seperti Marco Melandri, Loris Capirossi, dan Sete Gibernau.

Tahun 2006 sebetulnya Rossi masih menunjukkan dominasinya, namun sayangnya ia mengalami beberapa kendala dengan motor livery Camel Yamaha warna kuningnya itu yang membuatnya kerap gagal menyelesaikan balapan. Kesialan Rossi di tahun itu membuat Nicky Hayden keluar jadi juara MotoGP di akhir musim.

Rivalitas Rossi dengan Max Biaggi di MotoGP usai setelah Max Biaggi memutuskan hengkang ke Superbike pada tahun 2006. 

Namun Rossi justru terlibat rivalitas dengan Casey Stoner yang sedang garang bersama Ducati. Itu terjadi pada tahun 2007.

Rivalitas Rossi dengan Stoner bisa dibilang juga rivalitas dua motor dengan karakteristik yang berbeda. Ducati yang ditunggangi Stoner punya kecepatan gila saat melaju di lintasan lurus. Dan Yamaha yang ditunggangi Rossi punya kemampuan melibas tikungan yang mumpuni.

Dengan rivalitas kedua pembalap itu, MotoGP musim 2007 menjadi tontonan yang menyenangkan. Alur balapnya di tiap seri balapannya selalu begini, di tikungan Rossi selalu berhasil menyalip Casey Stoner, namun begitu keluar tikungan dan melaju ke lintasan lurus, Casey Stoner bakal kembali memimpin, hingga kemudian kembali disalip Rossi di tikungan. Di akhir musim, Stoner berhasil keluar sebagai juaranya.

Rossi comeback dengan menyabet gelar juara dua tahun beruntun setelahnya. Penyakit aneh yang dialami Stoner saat menunggangi Ducati jadi alasan mengendurnya perlawanan pembalap asal Australia itu.

Rossi kembali terlibat rivalitas setelah Jorge Lorenzo masuk ke tim pabrikan Yamaha dan menjadi rekan setimnya. Meski berada dalam naungan tim yang sama, nyatanya hal itu nggak membuat Rossi sungkan buat bersaing.

Selanjutnya datang juga si baby alien, Marc Marquez, yang pada akhirnya terlibat rivalitas sengit dengan Valentino Rossi. Bahkan di MotoGP musim 2015, Rossi menuduh bahwa Marc Marquez sengaja bersekongkol dengan Jorge Lorenzo untuk menggagalkan gelar kesepuluhnya di MotoGP.

Puncak dari rivalitas ini terlihat di GP Sepang, Malaysia musim 2015. Siapapun tentu dapat melihat Marquez di seri balapan itu memang sedang cari gara-gara dengan Valentino Rossi. Ini terlihat dengan manuver-manuver berbahaya yang dilakukan Marquez kepada Rossi padahal saat itu masih di lap-lap awal, masih terlalu pagi untuk menunjukkan pertarungan sengit apalagi bukan untuk posisi pertama.

Namun, performa Rossi di MotoGP semakin menurun karena beberapa faktor hingga ia kesulitan buat bersaing.  Mulai dari cedera bahu yang nggak kunjung pulih, motor yang nggak cocok dengan gaya balapnya, juga faktor usia yang makin menua.

The Doctor (julukan Rossi) telah memutuskan pensiun pada tahun lalu sambil membawa semua pasukan kuningnya dan menjadi kehilangan besar bagi ajang balap MotoGP.

Pada akhirnya banyak pembalap yang akan naik ke podium dan menjadi juara di akhir musim. Di sana posisi Valentino Rossi nggak tergantikan.

Namun belum ada pembalap yang mampu menggantikan Valentino Rossi sebagai The Director (julukan Rossi lainnya) yang mampu menciptakan rivalitas dan drama di lintasan balap sehingga MotoGP jadi tontonan yang menghibur.

Sosok ini nggak muncul bahkan dalam diri Casey Stoner, Jorge Lorenzo maupun ia yang dijuluki inhuman, Marc Marquez. Nggak juga muncul di pembalap seperti Fabio Quartararo, Bagnaia, dan pembalap lainnya sekarang ini.

Sebab Rossi bukanlah pembalap yang doyan melesat jauh sendirian meninggalkan semua pembalap di belakangnya seperti yang dilakukan nama-nama yang gue sebut di atas. Seperti yang pernah dikatakan seorang pengamat MotoGP, Carlo Pernat: "Saat Valentino Rossi menang di kelas 500cc, dia begitu dominan dan perkasa. Dia pernah menunggu musuhnya sampai dua lap terakhir untuk membuktikan bahwa dia lebih kuat. Marquez? No ... No … " katanya. 

"Marquez ingin menang, dia tidak tertarik menunggu dua lap terakhir untuk menawarkan lebih banyak pertunjukan atau tontonan duel menegangkan. Marc hanya ingin menang," tambahnya.

Ya, itulah yang dilakukan Rossi: menantang rivalnya buat duel menjelang lap-lap terakhir. Jika lo mau buktinya, lo bisa melihatnya tayangan ulang balapan yang dilalui Rossi bersama para rivalnya.

Terlebih lagi sebagai seorang penampil yang menjadikan lintasan sebagai panggungnya, Rossi nggak hanya kelihatan menonjol dari aksinya saat melibas lawannya di tikungan. Ia betulan menonjol dari detail-detail kecil seperti dari desain helm yang dikenakannya tiap balapan.

Meski sepele hal kecil semacam ini mampu menarik perhatian penggemar, bahkan membuat penasaran desain macam apa lagi yang bakal muncul di helm Valentino Rossi di balapan sebelumnya.

Belum lagi bagaimana cara Rossi melakukan selebrasi unik di tiap kemenangannya, seperti menyewa pengacara dan melakukan penandatanganan sertifikat yang memastikan gelar juaranya; bermain bowling; atau menunda naik podium untuk pergi ke toilet portable di pinggir sirkuit.

Sejauh ini, baru Jorge Lorenzo yang meniru gaya Rossi dengan mendesain helmnya mulai dari astronot hingga Iron Man, juga selebrasi unik seperti berjalan lambat layaknya astronot seraya menancapkan bendera.

Dan semua inilah yang kemudian bakal kita rindukan dari Valentino Rossi, sebagai fans MotoGP. Semoga kita dapat melihatnya lagi ke depan. Mungkin dalam diri pembalap seperti Bagnaia dan Morbidelli mengingat keduanya adalah anak didik Rossi. Tapi siapa pun bolehlah, entah itu Bastianini atau Quartararo. Karena jujur saja, MotoGP sekarang ini sangat membosankan. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan