
Tiap hari, kita terpapar banyak informasi jadi wajar saja kalau kita lupa tentang suatu hal. Dengan Second Brain, anak muda kreatif kayak lo bisa menyimpan personal knowledge assets sampai detail hal kecil sekali pun.
FROYONION.COM - Pernah ga sih Civs, lo lagi scroll timeline Instagram terus nemu suatu info soal hobi atau minat lo, akhirnya lo save deh info itu memakai fitur save?
Pasti sering lah ya.
Mungkin, lo juga pernah ambil tangkapan layar waktu baca-baca thread di Twitter. Dua hal itu lo lakukan karena merasa kalau apa yang lo save tadi bisa berguna nantinya untuk dipakai saat lo lagi ada project atau mungkin saat lo ingin meningkatkan skill.
Tapi setelah saat itu tiba, lo bingung apa yang mesti dilakukan terus malah bisa aja kehabisan waktu karena lama mencari screenshot layar tempo hari itu. Akhirnya, niat ingin produktif eh malah tidak efektif.
Hal itu terjadi, entah karena lo lupa kapan save informasinya, udah save tapi kehapus, bingung karena kebanyakan informasi, atau bahkan ga lo save sama sekali – karena merasa sudah cukup untuk disimpan di ingatan saja –.
Mungkin, sebagian orang memang ada yang diberikan anugerah untuk bisa mengingat hal-hal kecil meski itu berjuta-juta jumlahnya.
Namun, tak jarang otak kita tidak seberuntung itu untuk mengingat berbagai hal. Apalagi, setiap hari kita dihadapkan dengan berbagai informasi.
Misal, pagi hari lo buka Instagram dan dapat lima informasi terkait lowongan magang, siangnya lo buka situs berita dan baca sekitar sembilan berita, tak lupa malamnya lo buka Twitter dan menemukan satu thread menarik yang menjelaskan satu peristiwa dengan komprehensif. Itu baru tiga kegiatan kecil aja waktu lo buka handphone. Belum lagi kalau lo nonton film, baca buku, jalan-jalan ketemu orang lain, wah pasti banyak info deh.
Menurut New York Times, setiap harinya diperkirakan kita itu bisa memproses informasi sampai 34 gigabytes. Sementara, otak kita pada dasarnya digunakan untuk berpikir, jadilah kelupaan.
Untuk itulah, kita membutuhkan suatu alat untuk menyimpan informasi-informasi penting yang kita dapatkan.
Sebagian dari lo mungkin kenal dengan istilah tools atau metodologi yang bernama Second Brain. Sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Tiago Forte, seorang pakar produktivitas dunia, yang juga menulis buku tentang hal itu: Building a Second Brain. Second Brain merujuk pada sistem manajemen pengetahuan pribadi yang dapat membantu dalam mengumpulkan, menyimpan, menyortir, serta mengatur ide dan informasi dengan menggunakan teknologi sebagai tools-nya.
Second Brain ini akan sangat bermanfaat karena bisa mereduksi pekerjaan otak kita dan menyimpan referensi informasi dengan baik. Sehingga saat lo membutuhkannya dan ingin mengembangkannya Civs, lo tahu di mana lo bisa mencarinya.
Kegiatan saving dan screenshot tadi adalah salah satu cara menciptakan Second Brain. Nah, Second Brain diperlukan untuk siapa pun apalagi bagi lo yang bekerja memakai informasi dan pengetahuan sebagai bahan baku utamanya, misalnya content creator, jurnalis, peneliti, guru, desainer, dan masih banyak lagi. Buat lo seorang atlet pun misalnya, bisa dipakai untuk mencatat informasi terkait model atau teknik latihan yang bisa dilakukan.
Nah, tools yang bisa lo pake pun beragam, lo bisa pake Evernote, Notion, Joplin, Google Keeps, atau tools lain yang cocok buat lo. Setidaknya, ada tiga standar yang bisa lo pakai dalam menentukan tools apa yang bisa digunakan, yaitu: 1) Simplicity, apa pun tools yang sederhana dan efisien untuk dapat lo akses dan organize, 2) Flexibility, berkaitan dengan kemudahannya untuk diadaptasi seiring perjalanan hidup lo pokoknya yang bisa di-reorganize dengan mudah, 3) Practicality atau praktis, bisa menyesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi lo dan juga bisa diakses setiap harinya.
Terus, gimana sih caranya menciptakan Second Brain? Dalam bukunya, Tiago Forte menyebut ada 4 tahapan yang dapat dilakukan, ia beri nama CODE (Capture, Organize, Distill, and Express). Langsung aja kita bahas satu per satu, Civs!
Capture atau menangkap, kebiasaan yang perlu lo lakukan setiap kali menemukan masukan informasi atau pengetahuan. Entah itu yang lo temukan dalam gambar, artikel, podcast, diskusi, kelas, atau bahkan dalam keheningan tiap malam saat lo merenungi apa tujuan hidup lo Civs, hehehe. Intinya, saat lo menemukan itu lo segera menangkapnya entah itu dengan taking note atau meng-screenshot.
Organize atau mengorganisasikan, ialah tahapan yang seharusnya lo lakukan setelah saving informasi yang lo dapat di Instagram tadi Civs, yaitu dengan mengelolanya. Kalau kita hanya menangkap informasinya saja, knowledge assets yang kita punya itu cenderung hanya akan menjadi tumpukan informasi yang overload.
Akhirnya, kurang memberi inspirasi atau justru malah membuat lo muak. Untuk itu, lo perlu mengorganisasikan informasi tersebut. Forte menawarkan untuk menggunakan teknik lagi di tahap ini dengan PARA (Project, Areas, Resource, and Archives).
Jadi, lo bisa membagi informasi yang lo dapat ke dalam empat kategori tersebut. Misalnya kita sebut ke dalam folder. Di folder Project lo bisa memasukan informasi terkait project yang lo kerjakan, dengan catatan project itu memiliki deadline dan atau pasti akan selesai.
Misalnya, project desain klien, tugas makalah matkul, dan lainnya. Sementara itu, di folder Areas, lo bisa menyimpan informasi yang berkaitan dengan kegiatan long term lo yang akan terus berjalan dan atau ga tahu kapan udahannya, misalnya: track keuangan. Pokoknya, hal-hal dinamis yang butuh pengawasan konstan. Lalu, di folder Resource, lo bisa masukin input-input yang sekiranya akan menjadi sumber yang bisa lo pakai, misal topik atau tips terkait minat dan hobi.
Terakhir, folder Archives sesuai namanya bisa lo jadikan arsip untuk menyimpan hal-hal yang sudah selesai atau tidak relevan lagi dengan apa yang lagi lo jalanin. Eitss, tapi bukan berarti folder ini adalah trash ya, karena bisa aja nantinya lo menemukan project yang mirip-mirip sama apa yang udah lo lakukan sebelumnya. Di situlah folder archives bekerja.
Distill atau mengurangi, maksudnya adalah memurnikan informasi yang lo dapat. Sederhananya, saat lo menemukan artikel yang menarik, tentu lo ga disarankan untuk copy paste tulisan atau hanya mencantumkan link saja sebagai catatan. Nantinya, lo perlu membaca ulang lagi bukan? Maka dari itu, lo perlu menyederhanakan informasi panjang dan kompleks itu. Misalnya, lo cukup meng-highlight kalimat penting atau kata kuncinya aja. Lebih jauh, lo bisa membuat ringkasan singkat terkait sebuah informasi.
Express atau mengekspresikan, nah tentu sebuah informasi yang lo kumpulkan dan pahami baik-baik ini tentu tidak akan berguna kalau tidak lo kembangkan. Lo bisa memulainya dengan membuat konten tulisan atau mempraktekkannya saat latihan.
Tapi Civs, balik lagi ke permasalahan tadi, kadang setelah kita meng-capture, mengorganisasikan, bahkan setelah membuat catatannya sekali pun, sering kali karya kita sulit mengembangkannya. Nah, sebenarnya ini pembahasan yang cukup berbeda lagi. Namun, mungkin ada dua kesalahan yang lo lakukan: pertama lo mengambil informasi yang salah dan tidak relevan, kedua lo membuat catatan yang tidak efektif untuk lo pahami.
Ada berbagai teknik yang bisa lo lakukan, yaitu pertama dengan mengorganisasikan input secara PARA tadi, juga dengan membuat catatan yang efektif. Dalam membuat catatan ini, tentu setiap orang punya caranya masing-masing. Buat lo yang masih bingung, mungkin lo bisa menggunakan teknik zettelkasten: sebuah teknik mencatat yang digunakan Niklas Luhmann di mana catatan disusun dan dihubungkan, pokoknya sistemnya dibuat untuk mudah dikontrol dan dikembangkan.
Matt Giaro, dalam artikelnya menyebut: jika dibandingkan, antara PARA atau zettelkasten, ia lebih memilih zettelkasten karena dinilai lebih efektif. Padahal, menurut gue itu dua hal yang berbeda ga sih, Civs? Ibaratnya, PARA adalah tool yang bisa dipakai pada tahapan organize sementara zettelkasten bisa dipakai untuk proses distill information.
Apa pun itu, gimana nih Civs, udah mengaplikasikan Second Brain ini untuk kemudahan produktivitas lo belum? Pakai tools dan cara yang cocok dan buat lo nyaman ya, Civs! (*/)