Movies

KENAPA SIH FILM HEIST SANGAT LANGKA DI INDONESIA?

Angga Dwimas Sasongko cukup berani mengusung genre heist dalam film Mencuri Raden Saleh. Kenapa sih film heist kok jarang ada di Indonesia? Begini pengamatan gue.

title

FROYONION.COM - Ketika Angga Dwimas Sasongko mengumumkan bakal menggarap film bergenre heist (pencurian) berjudul Mencuri Raden Saleh, banyak orang menantikannya, penasaran bakal seperti apa film heist bikinan sutradara yang sukses menggarap film NKCTHI itu.

Namun nggak sedikit juga yang meragukan kualitasnya, mengingat film bergenre heist lainnya yang pernah digarap sineas Indonesia, punya kualitas yang bapuknya minta ampun. 

Film heist bisa dibilang genre yang rumit buat diusung utamanya di Indonesia. Meski masih berbau action, nyatanya dalam film heist yang mesti ditonjolkan adalah intrik dan perencanaan para tokoh dalam melakukan perampokan.

Jika melihat film heist garapan Hollywood, film bergenre ini punya beberapa tahapan atau formula yang umum dipakai. Misalnya, film bakal dimulai dengan dicetuskannya niatan buat merampok, biasanya bank.

Kemudian berlanjut dengan mengumpulkan kru yang diperlukan, yang diikuti dengan pembagian tugas masing-masing kru.

Berikutnya, master plan pun dirancang, kelemahan-kelemahan dari prosedur keamanan tempat yang menjadi target perampokan pun dicari; lalu dengan cara apa mereka bakal masuk; juga bagaimana mereka berhasil lolos dengan selamat tanpa meninggalkan jejak.

Semua tahapan di atas ada dalam film Mencuri Raden Saleh, bahkan ada bonus plot twist soal pengkhianatan. Dengan begini, bisa dibilang film Mencuri Raden Saleh sebetulnya sudah memenuhi syarat sebagai film heist.

Meski begitu, tantangan bagi Angga Dwimas Sasongko nggak berhenti di situ saja. Nggak selesai hanya dengan memakai konsep yang sama dengan film heist garapan Hollywood.

Ketika membawa genre ini ke industri perfilman Indonesia, Angga bakal dituntut untuk menghadirkan film heist yang nggak hanya penuh intrik melainkan juga harus relateable dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia alias tetap membumi.

Sebagai penonton yang banyak terpapar film heist garapan Hollywood, lo tentunya bakal akrab dengan teknologi super canggih yang kerap dipakai sama para kru perampokan, belum lagi dengan perlengkapan senjata yang rasanya nggak bisa didapat dengan cara sembarangan di Indonesia.

Tentunya bakal jadi aneh rasanya jika Angga mengadopsi elemen-elemen tersebut ke film heist garapannya, misalnya dengan memasukkan teknologi super canggih, persenjataan lengkap beserta rompi antipeluru, supercar, dan agen rahasia yang jago tempur.

Bukan hanya karena para cast-nya merupakan anak-anak muda Gen-Z yang belum terbiasa merencanakan perampokan, melainkan juga karena hal-hal di atas nggak nyambung dengan kondisi masyarakat kita.

Sebagai misal kalau Angga memaksa untuk memasukkan teknologi super canggih dalam filmnya, gue rasa bakal ada kecanggungan yang muncul, efeknya bakal sama seperti saat lo melihat seseorang datang ke pesta pernikahan tapi dia pakai jersey bola lengkap dengan sepatu futsalnya. Atas nama kebebasan berekspresi hal ini sah-sah saja. Akan tetapi, itu bakal jadi kebebasan yang nggak pada tempatnya.

Sebab sebagaimana kita tahu, bagaimana lambatnya industri teknologi kita. Coba saja lo sebutin merek hape atau laptop buatan produsen lokal. Lo pasti bakal kesulitan nemuinnya karena rasanya memang hampir nggak ada.

Indonesia memang sempat gempar dengan kemunculan mobil listrik yang digagas oleh Dahlan Iskan. Akan tetapi teknologi itu pun mandeg di tengah jalan meski sudah mengusung slogan "karya anak bangsa" hanya karena alasan konyol: nggak ada knalpotnya.

Makanya nggak heran, film heist yang memasukkan teknologi super canggih dan persenjataan lengkap, hanya jadi milik Hollywood dan bukannya kita. Akan terasa wajar jika semua itu hadir di film bikinan industri media kreatif sekelas Hollywood, tapi aneh jika ada di film bikinan sineas kita.

Inilah yang kemudian jadi batu sandungan bagi sineas kita ketika ingin membuat film ala Hollywood yang melibatkan teknologi super canggih. Dan ini jugalah yang kemudian menjadi alasan di balik langkanya film heist di industri film kita. Bahkan bisa dibilang, untuk saat ini, hampir nggak mungkin sineas kita kepikiran untuk membuat film bergenre sci-fi (science fiction).

Memang pada akhirnya generasi muda kita makin melek dengan teknologi, namun generasi sebelumnya kebanyakan bukanlah generasi yang melek dengan teknologi, bahkan nggak akrab dengan riset pengembangan teknologi. Ambil contoh, hal sepele seperti e-KTP yang masih harus difotokopi secara manual saat kita mengurus segala hal yang berhubungan dengan birokrasi, padahal dulu digembar-gemborkan bahwa e-KTP hanya perlu di-scan saja.

Mesti diakui kebanyakan masyarakat kita masih tradisional dan masih berputar dengan masalah yang itu-itu saja seperti kemiskinan dan segala masalah turunannya. Bahkan kebanyakan masyarakat kita masih menggandrungi logika mistis dan hantu-hantuan.

Maka nggak heran, film drama dan film horor menjadi genre yang paling banyak digarap di industri perfilman.

Meski begitu, akan jadi tantangan tersendiri bagi para sineas kita yang ingin menghadirkan genre yang jarang diusung, seperti heist atau sci-fi. Bagi mereka yang bekerja di industri media kreatif seperti film, kreativitas mereka bakal diuji buat mencari solusi bagaimana membuat film heist atau sci-fi namun tetap membumi dan relateable dengan kondisi masyarakat kita kini. Mau nggak mau mereka harus menemukan formulanya.

Dan itulah yang kemudian dilakukan oleh Angga Dwimas Sasongko dan tim penulis film Mencuri Raden Saleh. Meski masih mengadopsi formula dalam film heist pada umumnya, mereka nggak terlalu bergantung pada teknologi super canggih dan justru mengandalkan kecerdikan para cast-nya yang kebanyakan anak muda. Memang nggak terlalu wah, tapi untuk film heist bikinan lokal, film ini jelas punya nilai lebih.

Hal yang sama juga dilakukan Joko Anwar saat menggarap film pembuka jagat sinematik Bumi Langit, Gundala. Sebagai penonton yang kerap dimanjakan dengan efek visual film-film superhero Marvel yang penuh dengan teknologi super canggih, bisa jadi lo nggak terlalu terkesan dengan konflik yang dibawakan Joko Anwar di Gundala melalui Bapak Pengkor dan kroni-kroninya.

Tapi bagi gue, konflik yang ditaruh dalam Gundala, adalah konflik yang tepat untuk film superhero lokal. Gue malah nggak bisa membayangkan jika Gundala misalnya melawan sepasukan robot seperti saat Tony Stark melawan pasukan Ultron.

Pada akhirnya munculnya film-film seperti Mencuri Raden Saleh dan Gundala membawa warna baru bagi industri perfilman Indonesia. Dan sejujurnya, ini patut disyukuri. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan