Movies

DOM 65: SEBUAH ANTITESIS ROMANTISME YOGYAKARTA

Lupakan sejenak romantisme yang ada di lagu “Yogyakarta” milik KLa Project atau “Sesuatu di Jogja” milik Adhitia Sofyan karena setelah berkenalan dengan DOM 65 kamu mungkin memiliki perspektif lain tentang kota ini.

title

FROYONION.COM - Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar nama Kota Yogyakarta? Terbuat dari rindu dan angkringan? Beranggapan bahwa setiap sudut Kota Yogyakarta itu romantis? Atau mulai membayangkan bahwa kota ini adalah kota yang tepat untuk ditinggali ketika pensiun nanti?

Well, saya tidak akan memaksamu untuk berubah pikiran karena memang tidak ada yang salah tapi kali ini saya akan membawamu berkenalan dengan band putra daerah Kota Yogyakarta DOM 65 dan bersama-sama menyelami sisi lain dari Kota Pelajar ini lewat lagu-lagu mereka.

Band yang memproklamirkan diri mereka sendiri sebagai “The Greatest Asshole Street Punk” ini lahir dan besar di Kota Yogyakarta dari tahun 1997. DOM 65 yang beranggotakan Imam Senoaji (Vokal, gitar), Adnan D Kusuma (Bass), dan Kemal Akbar (Drum) ini dengan lantang membawa Oi!/Street Punk sebagai bendera genre yang mereka usung. Jika kamu mendengarkan Cockney Rejects, maka DOM 65 adalah Cockney Rejects versi kearifan lokal dengan medhok ala Jawa. Jawa adalah koentji.

Sedikit bercerita, jika kamu adalah penggemar sepak bola lokal, rasanya pasti pernah sesekali mendengarkan lagu mereka yang berjudul “Fortuna”. Lagu DOM 65 yang ini bercerita tentang klub kebanggaan warga Kota Yogyakarta yaitu PSIM Yogyakarta.

Namun, mari kita kesampingkan tentang dekatnya DOM 65 dengan sepak bola, karena DOM 65 memainkan Street Punk bukan sepak bola.

Mendengarkan DOM 65 mungkin akan terasa sulit jika kamu tidak terbiasa mendengarkan musik dengan genre senada, tapi saya akan memberikan rekomendasi 2 lagu DOM 65 yang ‘easy listening’ dan akan mengaburkan romantisme Kota Yogyakarta dalam pikiranmu.

Lagu yang saya rekomendasikan pertama berjudul “Saraf”. Lagu yang dirilis pada 11 Mei 2020 oleh Dugtrax Records ini mengangkat cerita tentang sesosok orang yang mengalami gangguan kejiwaan karena depresi. Jika kamu beranggapan bahwa lagu ini dibuat berdasarkan imajinasi fiktif, buang jauh-jauh pikiran itu karena lagu ini lahir berlatar belakang data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. 

Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta memiliki survei di tahun yang sama ketika lagu ini dirilis, menunjukkan bahwa sepertiga warga Kota Yogyakarta mengidap depresi. Sebuah fakta yang gelap tentunya untuk kota dengan julukan Kota Pelajar.

Berikut adalah potongan lirik dari “Saraf”, “Aku sebuah sistem//Aku pencipta//Aku tak mengabdi//Dan aku menyangkal//Saraf, sakit saraf, saraf, sakit saraf”. Lirik yang ditulis cukup puitis ini menggambarkan bagaimana orang yang mengaku waras malah berperilaku layaknya orang yang tak berakal sehat.

Memangnya apa alasan dari sepertiga warga Kota Yogyakarta bisa mengalami depresi? Jawabannya adalah keserakahan para elit yang diagungkan di kota ini. Warga Yogyakarta yang seharusnya dapat menikmati hidup nyaman dan aman di kota sendiri, harus berperang melawan sistem yang sama sekali tidak memihak kepada warga lokal.

Entah dikarenakan sistem yang memang sangat keji terhadap warga lokal atau memang tipikal orang Yogyakarta yang terlalu nrimo ing pandum. Entahlah, tapi bagi saya sistem yang paling baik hanyalah sound system.

Bagaimana masih berpikir Kota Yogyakarta romantis? Jika masih, teruskan membaca tulisan ini, Civs!

Lagu kedua berjudul “30 Tahun Pengangguran”. Lagu ini dirilis 17 Agustus 2020 tepat ketika negara ini memperingati Hari Kemerdekaan. Masih dirilis oleh Dugtrax Records, lagu ini juga masih berbicara fakta lain tentang Kota Yogyakarta, yakni banyaknya angka pengangguran di kota ini.

Mungkin Civillions belum banyak yang tahu jika di balik hotel-hotel megah, di balik ramainya Malioboro ketika akhir pekan, dan di balik cantiknya wisata-wisata yang ada di Yogyakarta, terdapat fakta yang sangat ironis.

Berikut adalah potongan lirik dari “30 Tahun Pengangguran”, “Hidup di kota pendidikan, menatap beton perhotelan//Melata gagap di tengah kemacetan, tertunduk resah seorang pengangguran”. Berbeda dengan lagu “Saraf”, “30 Tahun Pengangguran” ditulis dengan gaya yang tidak puitis namun langsung menonjok tepat di muka.

DOM 65 menuliskan realitas sesungguhnya Kota Yogyakarta dalam “30 Tahun Pengangguran” apa adanya. Ibarat menyiapkan hidangan steak, tanpa diproses maupun dibumbui. Mentah.

Sumber: foto pribadi penulis

Tidak ada yang salah dari apa yang digambarkan KLa Project lewat “Yogyakarta” maupun Adhitia Sofyan lewat “Sesuatu di Jogja”, atau lagu-lagu lain yang bertemakan keromantisan Kota Yogyakarta, karena membuat sebuah karya memang sesuai dengan perspektif dari masing-masing penciptanya. DOM 65 sebagai putra daerah Kota Yogyakarta pun menggambarkan secara ‘mentah’ dan gamblang realitas apa saja yang memang terjadi di kota kelahiran mereka ini.

Bagi saya, kedua lagu di atas malah menunjukkan bahwa DOM 65 memang benar-benar mencintai kota tempat kelahiran mereka ini. Jika harus menyadur satu quotes maka quotes yang tepat adalah, “Better to get hurt by the truth, than comforted with a lie”.

Dua lagu di atas adalah sebagian kecil dari eloknya karya-karya dari DOM 65. Kalau kamu ingin berkenalan dengan DOM 65 lebih lanjut, kamu dapat menyambangi Instagram official mereka di https://www.instagram.com/dom65band/ atau mendengarkan lagu-lagu mereka yang tidak kalah ciamik dari “Saraf” dan “30 Tahun Pengangguran” lewat platform streaming musik favorit kamu.

Jika setelah membaca tulisan ini kamu langsung mendengarkan DOM 65, tulis pendapat kamu tentang mereka ya, Civs! Selamat berkenalan dengan DOM 65, merdeka atau nganggur! (*/)

BACA JUGA: SOEGI BORNEAN, BAND YANG BERNUANSA JAWA - KALIMANTAN

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Hibatullah Rashif

Penulis medioker. Suka menghabiskan waktu mencari meme terbaru.