
3 festival lain boleh diadakan di tanggal yang sama, tapi mengunjungi Bona Fest selama 2 hari berikan pengalaman berbeda. Menghangatkan diri di tenda, bersosialisasi, dan menikmati lineup yang tidak kalah menarik.
FROYONION.COM - Ternyata, memilih menutup weekend bersama Efek Rumah Kaca di sebuah perkemahan di bilangan kabupaten Bogor merupakan keputusan yang sempurna. Setidaknya bagi saya, Minggu sore yang dihantui akan pekerjaan dari Senin pagi seakan sirna.
Satu alasannya hadir dari paparan suara Cholil Mahmud menyanyikan ‘Putih’ di tengah set sekitar jam setengah 5 sore kurang sedikit.
Tapi, mari melanjutkan judul artikel ini terlebih dahulu. Dari sekian banyak festival yang ada di 1 weekend kemarin, dari Yogya, Kemayoran, Ancol, hingga Sukamantri. Penunjukan lokasi Sukamantri hadir dengan ide paling berbeda di antaranya.
Bagaimana tidak? Bona Fest 2024 diadakan di alam terbuka dengan 1001 kegiatan untuk merayakan alam dan kesenian. Sambil berkemah, menikmati musik, panel diskusi, instalasi seni, sampai yoga di pagi hari.
Tentu bukan jadi yang pertama, tapi sepertinya tidak banyak yang seperti ini.
Dan ternyata, tidak sendiri pula saya memilih opsi untuk bikin badan capek melawan semua tanjakan di Sukamantri. Tercatat di jam 6 sore hari Sabtu (10/8), pengunjung sudah menginjak 400 kepala sedangkan close gate masih sampai tengah malam.
Dari keempat festival yang ada ataupun di luar itu, Bona Fest 2024 bisa dibilang sebagai pilihan alternatif. Sebuah anomali yang hadir dari banyaknya opsi festival musik besar di tengah kota.
Festival yang sekiranya sekarang mulai dibutuhkan. Bukan bohong kalau dibilang semenjak selesai pandemi, nama ratusan festival terus berjamuran.
Karena jika dihitung jari, datang ke festival musik besar pasti masih seru, tapi tidak untuk selebihnya. Kebosanan akan line-up dan masalah kecil yang ada pastinya akan mulai mengganggu.
Opsi untuk mendatangi festival alternatif sekiranya adalah pilihan menggoda.
Membahas festival alternatif, Bona Fest 2024 berhasil mengajak ruangrupa, Gerakan Seni Rupa Bogor, Gubuak Kopi, Jatiwangi Art Factory untuk membahasnya di sebuah panel diskusi.
Highlight-nya hadir dari Indra Ameng (ruangrupa) dan Ahmad Sujai (Jatiwangi Art Factory). Mereka menjelaskan kenapa kebutuhan akan festival alternatif akhirnya dibutuhkan.
Untuk beberapa kebutuhan tentunya, karena nggak semua kebutuhan di festival musik besar terbutuhkan oleh hasrat semua orang.
Misalnya, regenerasi ide dan SDM sebagai pelaku utama roda industrinya, atau memang ingin bottom-up aja. Siapa yang tidak ingin inisiasinya tergerakan, capek juga dicekoki terus menerus.
Sebagai gambaran, ruangrupa dan Jatiwangi Art Factory sudah bergerilya untuk pergerakannya selama lebih dari 20 tahun.
Dari panel diskusi itu pula beberapa nama festival alternatif direkomendasikan, yaitu: Rampag Genteng (Jatiwangi), Ngayogya Jazz (Yogya), Daur Subur (Sumatra Barat), dan RRREC Fest (JKT-Sukabumi).
Pergerakan, bentuk kerja, hingga pemilihan line-up, bisa jadi faktor untuk melihat apakah sebuah festival dapat dihubungkan dengan kata alternatif atau tidak.
Menyambungkan beberapa kalimat terakhir dengan kalimat pembuka, jelas itu merupakan hasilnya.
“Set-list Efek Rumah Kaca hari ini, kayaknya nggak akan ada di festival musik di Kota, bray!” - Testimoni seorang teman yang datang ke Bona Fest 2024.
Bagaimana tidak, sedari awal set dibuka dengan ‘Kuning’, bertemu ‘Heroik’. Sampai tepat setelah terpukau dengan beberapa lagu di awal set, beberapa penonton yang sudah sedari awal meminta ‘Putih’ dinyanyikan akhirnya naik haji.
Entah sengaja atau tidak, seperti ditunggu momennya, ‘Putih’ benar-benar dibawakan jam setengah 5 kurang sedikit.
Di bawah langit setengah mendung, di tengah rindangnya pepohonan pinus, di tengah crowd yang sudah tersihir suara Cholil, suara tahlil bergema. Memberikan momen merinding tersendiri, tentunya.
Akhirnya tiba momen Cholil memberikan opsi lagu untuk encore, hujan pun menetes. Dua lagu yang diberikan sebagai opsi ‘Biru’ dan ‘Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa’ terlupakan, petikan gitar ‘Desember’ menyambut. Siapa yang nggak nangis dibuatnya? Siapa?
Sisanya, ditambah 3 lagu lagi dari Efek Rumah Kaca, dari terakhir ‘Desember’ yang dibilangnya sudah menjadi lagu terakhir. Sepertinya itu sihir kata ‘We Want More~’ dari penonton.
Oh iya, setelah dicari ke stage, semua cerita magis dari set ERK kemarin sore sepertinya hadir tanpa set-list. Hal yang kiranya, bisa dibilang hadir dari jam terbang, ya.
Di luar itu, Bona Fest turut menghadirkan banyak sajian musik. Dari musik elektronik semalam suntuk oleh The Nifty Radio dan Indomodular, reggae di alam oleh High Therapy dan Namoy Budaya, unit musik asli domestik Munhajat dan Swellow, hingga musik dan penampilan dari pergerakan komunitas daerah Cilebut, Bogor dan Jatiwangi, Majalengka.
Menutup core memory ini, saya berkeyakinan kedepannya kebutuhan festival alternatif akan semakin dibutuhkan. Gemerlap festival musik besar akan semakin benderang, namun silaunya cahaya membuat penonton menengok hal yang lain.
Tidak selalu menjadi besar, namun gerilya di belakangnya terus berjalan. Terus menerus seru melihat perjalanannya. Mari bertemu di tempat lain, atau mungkin membuat gerakannya sendiri, boleh juga. Kami tunggu!