Movies

PRODUCT PLACEMENT DALAM FILM ITU NGGAK SALAH KOK ASAL EKSEKUSINYA BENER AJA

Di film “Mencuri Raden Saleh”, banyak penonton yang mengeluhkan soal satu-dua sponsor yang muncul di sana. Emangnya product placement dalam film itu harus gimana sih? Simak tulisan ini.

title

FROYONION.COM - Film Mencuri Raden Saleh yang gue anggap menjadi film genre heist bikinan Indonesia terniat sejauh ini, nggak lepas dari kritik para penonton.

Salah satu kritik yang paling banyak dikeluhkan adalah adanya beberapa iklan yang disisipkan ke dalam film. Banyak yang menganggap, iklan dalam film ini cukup mengganggu dan sebaiknya dihilangkan saja biar film ini nggak mirip sinetron kejar tayang di televisi yang bahkan membuatkan satu scene buat mengiklankan sebuah produk.

Anggapan semacam ini bisa muncul lantaran banyak orang punya kesan buruk soal iklan dalam film yang ditaruh dengan serampangan, sebagaimana yang pernah kita lihat di film Habibie dan Ainun dan film Dilan 1991. Juga, karena mereka berpikir, mereka sudah membayar untuk menonton film itu, maka seharusnya kenikmatan mereka saat menonton nggak terusik oleh iklan. 

Gue sendiri nggak terlalu terganggu dengan iklan di dalam film Mencuri Raden Saleh ini, toh iklan-iklan itu disisipkan dengan mulus tanpa terkesan dipaksakan. Terlebih lagi, mengingat produksi film ini memakan biaya yang sangat besar, sekitar Rp20 miliar, gue rasa menggandeng beberapa sponsor buat mendanai film ini adalah hal yang masuk akal.

Iklan dalam film bukanlah hal yang baru sebetulnya. Bahkan hal ini sudah ada sejak era film hitam-putih.

Sebagai salah satu produk kreatif, film akan menyedot perhatian banyak orang buat menontonnya. Nggak heran jika banyak sponsor melirik film sebagai media promosi kreatif bagi produk mereka.

Cara kerjanya, pihak sponsor menyuntikkan sejumlah dana buat produksi sebuah film. Kemudian di film tersebut harus menampilkan produk dari pihak sponsor.

Gitu doang? Nggak juga sih. Meski kelihatannya sederhana tapi nyatanya menaruh sebuah produk ke dalam film bukanlah suatu hal yang gampang dikerjakan. Perlu dipikirkan bagaimana cara memasukkannya ke dalam adegan film. Kalau eksekusinya buruk, jatuhnya malah norak.

Ada beberapa alasan yang gue pikir bakal bikin iklan di film terkesan norak:

Pertama, karena iklan produk itu keseringan muncul sampai membuat kita muak melihatnya. Terlebih lagi jika iklan tersebut nggak punya peran besar bagi plot cerita dalam film itu, bisa dipastikan kemunculan iklan tersebut malah terkesan norak dan kelihatan banget kalau sponsor itu jadi penyandang dana yang utama dalam film tersebut.

Penampakan iklan yang terlalu sering ini pernah muncul di film sekelas James Bond: Skyfall dengan salah satu merek bir, Heineken, yang bahkan pernah dalam semenit muncul hingga empat kali. Jumlah yang gue rasa kelewat banyak untuk iklan dalam film.

Kedua, karena beda zaman. Hal ini bisa terjadi kalau timeline di film tersebut berada di masa lalu, sedangkan di zaman segitu, produk yang dimasukkan dalam film itu belum ada.

Penampakan iklan yang bikin mata perih ini terlihat di beberapa film Indonesia seperti di film Habibie dan Ainun yang menampilkan iklan e-toll padahal pada timeline di film itu, e-toll belum ada di Indonesia.

Ada juga film Dilan 1991 yang menampilkan iklan dari salah satu provider komunikasi buat ponsel padahal di tahun itu ponsel yang menggunakan SIM card belum masuk ke Indonesia. Ini terlihat betul, bagaimana Dilan dan Milea lebih sering menggunakan telepon umum koin buat teleponan. 

Ketiga, karena nggak nyambung sama filmnya. Menurut gue, sebelum menggandeng sponsor, para produser film harusnya memilih dengan bijak sponsor apa saja yang boleh masuk ke dalam filmnya. Jangan sampai nih kejadian, filmnya mau bahas apa, sponsor yang masuk apaan.

Sebagai misal, jika film itu bercerita soal balapan, menggandeng pemilik jenama (brand) mobil ternama sebagai sponsor bisa jadi pilihan bijak.

Produk makanan dan minuman adalah yang paling mudah dimasukkan sebagai iklan dalam film. Asalkan saja produk itu sesuai dengan timeline di film itu juga ditaruh secara tepat.

Keempat, kelewat di-highlight. Mungkin ini nggak terlalu mengganggu bagi orang lain, tapi bagi gue, penampakan iklan semacam ini kelihatan agak kurang natural.

Di beberapa film, kerap gue jumpai, bagaimana cast di film itu memegang produk yang jadi sponsor dengan cara yang kaku. Seperti, saat meminum produk minuman yang jadi sponsor, sang aktor memegang bagian bawah botol agar tangannya nggak menutupi label merek produk itu.

Lalu bagaimana caranya supaya product placement dalam film nggak terkesan norak dan nggak bikin film itu kelihatan menjilat brand? Dari sekian banyak film yang gue tonton, ada beberapa cara buat memasukkan iklan dalam film. Apa saja?

1. PRODUK ITU PUNYA PERAN BESAR DALAM PLOT

Menurut gue, product placement yang satu ini adalah yang paling recommended. Karena jika sebuah produk jadi bagian dari plot cerita dan memegang peranan penting, mau berapa kali pun muncul, nggak bakal bikin kesal.

Cara yang satu ini gue jumpai misal di film Cellular yang dibintangi sama Chris Evans. Film itu mengisahkan seorang wanita yang jadi korban penculikan dan ingin lolos. Berbekal telepon yang sudah rusak namun diperbaikinya, ia melakukan panggilan secara acak dan kebetulan nyambung ke ponsel yang dibawa Chris Evans.

Dan lo tahu, ponsel apa yang dibawa oleh Chris Evans? Yaitu Nokia yang di zaman itu memang jadi rajanya ponsel.

Karena film ini berkaitan dengan perangkat telekomunikasi, menggandeng produsen ponsel Nokia sebagai sponsor adalah hal yang bijak mengingat di sepanjang film Chris Evans nggak bisa jauh dari ponselnya itu dan secara otomatis brand tersebut bakal sering-sering muncul.

2. FILMNYA MEMANG DIBIKIN BUAT MEMBAHAS SUATU BRAND

Biasanya product placement yang satu ini bisa ditemui di film-film biografi yang menceritakan sosok paling berjasa di balik kejayaan sebuah brand. Secara nggak langsung, bisa dibilang, film itu dibikin untuk menceritakan terbentuknya sebuah brand.

Cara ini gue temui misal di film The Founder yang menceritakan soal sosok di balik kesuksesan restoran cepat saji McDonald. Juga film The Social Network yang menceritakan soal awal terciptanya Facebook temuan Mark Zuckerberg. Dan masih banyak juga yang lainnya, seperti film Ford vs Ferrari dan film House of Gucci.

3. MENGEJEK PRODUK ITU

Product placement yang satu ini mungkin bakal bikin lo bertanya-tanya, "Bukannya kalo mengiklankan suatu brand, harusnya kita mengunggul-unggulkan produk itu ya?"

Meskipun product placement yang satu ini terkesan nyeleneh, nyatanya cara yang satu ini juga pernah dipakai dalam film.

Cara ini bisa lo lihat di film Fight Club yaitu saat sang narator film itu berkata, bahwa kita mengisi kekosongan hidup kita dengan perabotan dari IKEA. Juga saat kedua tokoh utama itu mengejek soal Gucci dan Calvin Klein ketika menemukan iklan produk itu di kereta subway yang mereka naiki.

4. DIBUATKAN SCENE KHUSUS TAPI MASIH MENYATU SAMA PLOT CERITANYA

Product placement yang satu ini bukan kayak product placement di sinetron kejar tayang yang mana lebih kelihatan seperti sebuah spin off dadakan hanya demi meng-highlight suatu brand.

Cara ini adalah dengan membuat satu adegan di film itu yang membutuhkan kontribusi sebuah brand di dalamnya, dan adegan tersebut juga berperan penting dalam alur cerita film.

Product placement yang satu ini gue jumpai misalnya di film 500 Days of Summer yaitu di adegan ketika Tom dan Summer berkencan di showroom milik IKEA. Di sana mereka menjajal perabotan milik IKEA seolah itu rumah mereka sendiri dan mereka adalah pasangan suami istri yang menempatinya.

Adegan itu memang menampilkan produk IKEA. Namun, adegan itu juga punya peran penting dalam alur cerita film tersebut.

5. MENJADIKANNYA LATAR BELAKANG

Product placement yang satu ini menurut gue adalah yang paling banyak dijumpai dalam film. Cara kerjanya yaitu dengan menaruh produk yang diiklankan tersebut di lokasi tempat berlangsungnya sebuah adegan.

Misalnya ketika sang tokoh diceritakan sedang belanja di supermarket, beberapa brand bisa muncul dalam adegan itu dengan menaruhnya di rak supermarket.

Atau bisa juga ketika sang tokoh sedang jalan-jalan di trotoar lalu melewati kedai kopi berlogo putri duyung.

Meski gampang, produk yang ditaruh dalam film harusnya yang masih sesuai dengan timeline film tersebut.

Itulah pendapat gue soal product placement dalam film. Munculnya brand dalam film harusnya bukan jadi sesuatu yang salah selama eksekusinya bener dan nggak norak. Kan sayang, filmnya sudah oke tapi gara-gara hal kecil begini, jadi merusak kenikmatan menontonnya. (*/)

  • whatsapp
  • twitter
  • facebook
  • remix
Penulis

Shofyan Kurniawan

Shofyan Kurniawan. Arek Suroboyo. Penggemar filmnya Quentin Tarantino. Bisa dihubungi di IG: @shofyankurniawan